1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Hukum dan Pengadilan

Kebiri Kimia: Jalan Pintas ala Pemerintah

Indria Fernida1 Juni 2016

Hukum kebiri kimia tidak bisa jadi jalan pintas solusi atas masalah kekerasan seksual di Indonesia. Simak alasan dan solusi yang dipaparkan aktivis HAM, Indria Fernida, dalam opini berikut ini.

Pflaumen in der Hand eines eifrigen Pflückers Symbolbild Kastration
Foto: imago/Steinach

Presiden RI baru saja mengesahkan Perppu No. 1/2016 tentang perubahan kedua atas UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak sebagai jawaban atas maraknya kasus-kasus kekerasan seksual, termasuk pemerkosaan terhadap anak-anak akhir-akhir ini.

Berbagai peristiwa tersebut segera memantik kemarahan publik yang mendorong negara untuk mengambil tindakan serius. Para politisi bersuara relatif tunggal, hukuman terhadap para pelaku harus diperberat.

Peraturan ini menerapkan hukuman kebiri kimia sebagai pemberatan atau penambahan hukuman bagi setiap orang yang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan saat memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain yang menimbulkan korban lebih dari satu orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan atau korban meninggal dunia.

Hukuman ini akan dikenakan kepada pelaku setelah terpidana menjalani hukuman pidana pokok paling lama 2 tahun. Para pelaku di bawah umur (yang berusia di bawah 18 tahun) dikecualikan dari hukuman kebiri kimia tersebut. Namun aturan ini juga menerapkan hukuman mati sebagai bentuk penghukuman terhadap kejahatan seksual terhadap anak dalam situasi yang memberatkan. Selain hukuman kebiri kimia, sanksi tambahan lainnya adalah pengumuman identitas ke pubik serta pemasangan alat deteksi eletronik.

Hukuman kebiri adalah pelanggaran HAM

Kekerasan seksual dan pemerkosaan terhadap anak adalah perbuatan keji tak beradab yang menghancurkan kehidupan anak. Pemerintah jelas harus mengambil tindakan yang tepat untuk memberikan penghukuman kepada pelaku, memberikan pemulihan kepada korban secara komprehensif serta mencegah kekerasan seksual kepada anak terus berlanjut.

Meski demikian, kebijakan pencegahan itu harus konsisten dengan prinsip HAM serta mencerminkan praktik yang tepat agar kebijakan tersebut dapat berjalan secara efektif.

Pelanggaran HAM

Hukuman kebiri kimia dan hukuman mati merupakan pelanggaran atas hukum hak asasi manusia internasional sebagai bentuk tindakan penyiksaan, dan perlakuan atau penghukuman lainnya yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia serta pelanggaran hak atas hidup.

Aturan ini adalah langkah mundur pemerintah Indonesia yang telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik pada 2005 dan Konvensi Internasional Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia (1998). Sebagai negara pihak, pemerintah Indonesia harus tunduk pada pelaksanaan kedua instrumen HAM tersebut.

Tak menimbulkan efek jera

Laporan World Rape Statistic tahun 2012 menunjukkan bahwa hukuman mati atau hukuman kebiri bagi pelaku perkosaan di berbagai negara di dunia tidak efektif menimbulkan efek jera. Tidak ada bukti yang menjamin bahwa penggunaan kebiri kimia telah mengurangi jumlah kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Selain itu, Dewan Komite Eropa untuk Pencegahan Penyiksaan dan Hukuman yang Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia (Council of Europe's Committee for the Prevention of Torture and Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, CPT), sebuah komite pakar regional di Eropa yang bertugas melakukan pemantauan atas pelaksanaan konvensi menentang penyiksaan juga memberikan berbagai rekomendasi atas berlakunya hukuman kebiri di negara yang tunduk pada pelaksanaan konvensi tersebut.

Pada tahun 2008, CPT ini dengan tegas menentang salah satu aspek pengobatan pelaku kejahatan seksual melalui penerapan bedah kebiri dan meminta Pemerintah Ceko untuk mengakhiri penerapan bedah kebiri dalam konteks pengobatan seks pelaku, karena ketiadaan persetujuan untuk melakukan kebiri bedah sebagai upaya alternatif untuk penahanan.

Meskipun demikian, pelarangan ini juga berlaku bagi kebiri kimia. Pada tahun 2008, CPT meminta pemerintah Denmark untuk tidak membolehkan hukuman yang menekan tahanan untuk menerima perawatan medis libido penekan. Pada tahun 2014, CPT juga merekomendasikan kepada pemerintah Jerman untuk menghapuskan hukuman kebiri.

Seiring dengan peradaban HAM, kebiri kimia diterapkan hanya sebagai bentuk pengobatan medis yang bersifat sukarela dan harus disetujui pelaku tindakan kekerasan seksual, dimana pelaku bersedia untuk melakukan hal tersebut berdasarkan analisis dan rekomendasi para ahli medis. Hal inilah yang saat ini masih diterapkan di Inggris, Jerman, Australia, Denmark, dan Swedia. Kebiri kimia sebagai penghukuman adalah pelanggaran HAM.

Memenuhi keadilan bagi korban dengan cara yang beradab

Pemberlakukan hukuman kebiri kimia ini tampaknya dianggap sebagai jawaban atas tingginya tuntutan publik atas penghukuman yang berat bagi para pelakunya. Padahal, nyata bahwa aturan hukum yang ada selama ini tidak pernah diberlakukan secara optimal. Banyak pelaku pemerkosaan mendapatkan hukuman yang rendah atau mendapatkan upaya rehablitasi yang minim.

Banyak korban dari kekerasan seksual justru tidak mendapatkan pelayanan yang cukup, baik dalam mengakses proses hukum, menerima pemulihan psikologis serta beradapatasi secara sosial.

Persoalan kekerasan seksual terhadap anak difasilitasi oleh struktur patriarkal yang meresap ke dalam sistem sosial dan pemahaman para aparat penegak hukum yang menempatkan perempuan di tempat yang rendah.

Membuat kebijakan untuk memberikan efek jera kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak tidak bisa menjadi alasan untuk membenarkan hukuman yang tidak manusiawi dan tidak beradab.

Penulis: Indria Fernida, aktivis HAMFoto: privat

Berantas pola pikir patriarkhis

Pendekatan hukum bukanlah satu-satunya cara untuk menghentikan tindakan kekerasan terhadap anak dan perempuan. Mengubah pemahaman publik atas pola pikir patriarki untuk menghormati tubuh anak serta perempuan jauh lebih penting untuk memperbaiki budaya masyarakat.

Kebijakan yang lahir harus didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan sosiologis masyarakat. Upaya komprehensif atas persoalan ini harus mencakup upaya-upaya pembenahan sistem peradilan, memperbaiki cara pandang partriarki serta kebijakan keberpihakan bagi korban berupa pelayanan dan pemulihan yang efektif. Hukum kebiri kimia tentu tidak bisa jadi jalan pintas solusi atas masalah ini.

Sedianya, Presiden harus segera menghentikan upaya-upaya populis sensasional dalam menerapkan kebijakan publik dan harus kembali tunduk pada nilai penghormatan dan kebijakan HAM internasional, dimana Indonesia telah menjadi negara pihak yang harus menjalankan norma-normanya secara konsisten baik di tingkatan legislasi maupun praktik.

Penulis:

Indria Fernida adalah aktivis HAM yang bekerja sebagai Thematic Program Coordinator di Asia Justice and Rights (AJAR), Indonesia.

@indriafernida

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait