1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Persamaan HakCina

Kebocoran Data dan Alat Pencarian Ungkap Kondisi Kaum Uighur

William Yang
24 Februari 2023

Data yang bocor dan sebuah alat pencarian telah memungkinkan beberapa orang Uighur di luar negeri untuk mendapatkan informasi mengenai anggota keluarga mereka di wilayah Xinjiang, Cina.

Warga Uighur
Sebuah mesin pencarian baru memberikan kesempatan kepada warga Uighur di luar negeri untuk mendapatkan informasi kerabat mereka di Xinjiang, CinaFoto: Yuri Kozyrev/NOOR/laif

Pada Mei 2022, sebuah cache file dan foto yang bocor dari database resmi yang diretas di wilayah Xinjiang, barat laut Cina, memberikan informasi baru tentang pelanggaran hak asasi manusia terhadap kelompok minoritas Uighur.

Foto-foto yang menunjukkan remaja dan perempuan tua di antara mereka yang ditahan di kamp-kamp pengasingan memberikan gambaran mengerikan tentang penganiayaan brutal pemerintah Cina terhadap Uighur dan etnis minoritas lainnya.

File-file tersebut diperoleh dari sumber anonim yang meretas komputer polisi dan membocorkannya kepada Adrian Zenz, Direktur Studi Cina di Yayasan Peringatan Korban Komunisme di Amerika Serikat.

Pada 10 Februari 2023, Zenz dan timnya mengungkapkan isi dari file yang dibocorkan tersebut, yang mencakup informasi dari sekitar 830.000 individu dan ribuan gambar.

Selain pengungkapan baru, Zenz juga telah memperkenalkan alat pencarian baru yang memungkinkan orang-orang Uighur di luar negeri untuk memasukkan identitas, nomor, atau nama anggota keluarga mereka dalam bahasa Mandarin, untuk mencari informasi yang relevan tentang mereka.

"Ini adalah informasi yang ditolak oleh pemerintah Cina untuk dipublikasikan dan sekarang setelah dibocorkan kepada kami, kami membiarkan orang-orang Uighur mencari seolah-olah mereka sedang mencari di komputer polisi Xinjiang," kata Zenz kepada DW. "Ini seperti jendela yang tidak sempurna ke dalam sistem file polisi Xinjiang."

Bocoran file terbesar hingga saat ini

Kumpulan data baru ini merupakan kebocoran file terbesar, kata Zenz, dan memberikan "pandangan dari dekat" yang belum pernah terjadi sebelumnya tentang penahanan massal dan kekejaman lainnya yang telah terjadi di Xinjiang sejak 2016. Sebagian besar data terutama berasal dari Kabupaten Shufu di Kashgar dan Kabupaten Tekes di Ili dan mencakup periode antara tahun 2016 hingga 2018.

Zenz mengatakan kepada DW bahwa dia yakin data tersebut mencakup hampir seluruh populasi dari dua lokasi tersebut dan data itu juga menunjukkan sejumlah besar orang dari tempat-tempat ini berada dalam beberapa bentuk penahanan.

"Bukti-bukti menunjukkan bahwa kampanye penahanan massal benar-benar terjadi," katanya, seraya menambahkan bahwa kumpulan data tersebut memberikan gambaran umum tentang skala penahanan massal. "Ini lebih representatif daripada apa yang kita miliki sebelumnya."

Menurut PBB, sekitar satu juta orang Uighur dan etnis minoritas lainnya di Xinjiang telah ditahan di kamp-kamp interniran yang tak terhitung jumlahnya di seluruh provinsi.

Pada Agustus 2022, Kantor Hak Asasi Manusia PBB merilis Laporan Xinjiang, yang menyatakan bahwa penahanan besar-besaran yang dilakukan oleh Cina terhadap warga Uighur dan etnis minoritas lainnya di Xinjiang dapat dikategorikan sebagai "kejahatan terhadap kemanusiaan."

Namun, Kementerian Luar Negeri Cina membantah penilaian laporan tersebut, dengan mengatakan tambal sulam disinformasi dan alat politik yang melayani kepentingan AS dan negara-negara barat lainnya untuk membungkam Cina melalui topik tersebut.

Rasa bersalah sekaligus lega yang mendalam

Bagi sebagian orang Uighur di luar negeri, alat penelusuran ini memungkinkan mereka untuk mengetahui nasib anggota keluarga mereka, termasuk kapan mereka ditangkap, ke kamp mana mereka dikirim, dan berapa lama mereka dihukum.

"29 anggota keluarga saya terdaftar dalam berkas-berkas tersebut dan dengan berat hati, saya harus memeriksa datanya, karena saya pikir kita harus memberi tahu dunia apa yang sebenarnya terjadi di Xinjiang," kata Mamatjan Juma, Wakil Direktur Layanan Uighur Radio Free Asia.

"Saya mempertanyakan apakah yang saya lakukan ini benar atau salah. Ketika saya melihat anggota keluarga saya dianiaya karena apa yang saya lakukan, itu membuat saya merasa bersalah, tetapi juga menunjukkan betapa brutalnya pemerintah Cina. Mereka menghukum siapa saja yang mereka inginkan dengan asosiasi. Ini adalah perasaan yang sangat rumit, menyakitkan, dan menghantui saya," katanya kepada DW.

Hasil penelusuran Juma menunjukkan bahwa salah satu saudara laki-lakinya dijatuhi hukuman 14 tahun, sementara dua saudara laki-lakinya yang lain ditangkap dan ditahan di kamp-kamp. Yang paling menghantuinya adalah mengetahui tentang kematian ayahnya, yang digambarkan sebagai akibat dari berbagai komplikasi.

(bh/ha)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait