1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikYaman

Kebuntuan Konflik Paksa AS Sesuaikan Strategi di Yaman

2 Februari 2022

Serangan terhadap Uni Emirat Arab menegaskan ancaman pemberontak Houthi untuk menyeret AS dan koalisi negara Teluk ke dalam perang abadi. Gedung Putih kini menyiapkan sanksi untuk menyeret Houthi ke meja negosasi.

Pemberontak Houthi di Sanaa, Yaman
Pemberontak Houthi di Sanaa, YamanFoto: imago images/Xinhua

Untuk kedua kalinya sejak 2017, kapal perang AS, USS Cole, akan kembali diterjunkan menangkal ancaman pemberontak Houthi di Yaman. Tapi jika dulu kapal perusak berpeluru kendali itu bertugas mengamankan armada laut Arab Saudi, kini giliran Uni Emirat Arab (UEA) yang mendapat perlindungan.

Pengiriman USS Cole, beserta sejumlah jet tempur F-35, disepakati untuk "membantu menangkal ancaman terbaru,” menyusul pembicaraan telepon antara Menteri Pertahanan AS, Lloyd Austin, dan pewaris tahta Abu Dhabi, Pangeran Mohammed bin Zayed al-Nahyan, lapor Kedutaan AS di UEA, Rabu (2/2).

Bantuan militer AS juga termasuk "menyediakan peringatan dini berbasis informasi intelijen.” 

Ancaman bagi sekutu utama AS di kawasan Teluk itu, datang dari pemberontak Houthi pro Iran yang sejak pertengahan Januari sudah tiga kali menyerang UEA dengan peluru kendali balistik. Hari Senin (31/1) di tengah kunjungan Presiden Israel, Isaac Herzog di Abu Dhabi, pasukan AS yang ditempatkan di UAE menggunakan rudal Patriot untuk menangkal dan memusnahkan serangan rudal kelompok Houthi.

Pembagian wilayah teritorial antara pemberontak Houthi, pemerintah Yaman dan kelompok teror, Al-Qaeda

"Amerika akan selalu melindungi sekutu di kawasan” kata Presiden AS, Joe Biden, seusai pasukannya menangkal serangan rudal dari Yaman Senin silam.

Eskalasi konflik di Yaman memecah perhatian Washington di tengah konflik dengan Cina dan Rusia. Biden sebelumnya sudah berjanji akan memusatkan kekuatan militer dan diplomasi untuk menghadapi tantangan terbesar bagi AS, dan sebabnya menarik mundur pasukan dari Afganistan. 

Simpang buntu diplomasi

Namun, setelah kegagalan upaya diplomasi untuk membujuk pemberontak Houthi mendukung perundingan damai, dan operasi militer koalisi Arab Saudi yang tidak juga mampu mendamaikan Yaman setelah jatuhnya ribuan korban jiwa, tidak seorangpun tahu bagaimana cara menghentikan lingkaran kekerasan di Yaman.

"Apa yang saya harapkan adalah bahwa pemerintahan Biden akan mau mengakui bahwa strategi yang ditetapkan sejak Februari 2021 tidak ampuh, dan bahwa mereka harus mengubah pendekatannya,” kata Gerald Feierstein, bekas duta besar AS untuk Yaman.

Biden menjaga jarak dari Perang Yaman menyusul maraknya tuduhan kejahatan kemanusiaan oleh kedua pihak yang bertikai. Dia membatalkan kebijakan Presiden Donald Trump dan mencabut kelompok Houthi dari daftar teroris, meski ditentang UEA dan Arab Saudi.

Saat itu AS berdalih, status teroris bagi Houthi akan melibatkan sanksi ekonomi yang semakin memperparah bencana kemanusiaan di Yaman.

Tapi menurut Fatima Abo Alasrar, analis keamanan Yaman di Middle East Institut AS, para pemberontak Syiah itu justru melihat pendekatan baru oleh Gedung Putih sebagai bentuk keengganan Biden untuk mengobarkan perang di Teluk Aden.

"Jadi, mereka merasa bisa bebas melakukan apapun yang mereka mau sekarang,” kata dia kepada Associated Press. "Karena akan menjadi bencana bagi AS dan negara-negara lain di kawasan jika melakukan intervensi secara militer", imbuhnya.

AS kini mempertimbangkan sanksi individual bagi pemuka-pemuka Houthi untuk memaksa mereka menyetujui perundingan damai. Fatima Abo Alasrar meyakini, sanksi perorangan akan menempatkan para pemimpin pemberontak di teropong bidik sebuah negara adidaya. 

"Nah, itu baru menakutkan. Hal itu akan sangat menakutkan bagi mereka,” kata dia. "Dan baru saat itulah ancamannya akan menjadi sangat nyata.”

rzn/as (ap,afp)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait