Maskapai penerbangan terbesar Indonesia Lion Air, mengatakan telah meningkatkan protokol keamanan, setelah para penyelidik menyalahkan pilot dalam kasus kecelakaan yang melibatkan pesawat mereka tahun lalu.
Iklan
Sebuah pesawat baru Lion Air Boeing 737-800 melenceng dari landas pacu dan jatuh ke laut di Bali pada 13 April 2013. Seluruh penumpang dan kru yang berjumlah 108 orang selamat, namun beberapa mengalami luka-luka.
Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) dalam laporan akhir atas peristiwa itu mengidentifikasi terjadinya “rangkaian kesalahan“ yang dilakukan oleh kru penerbangan.
Kapten pesawat tidak bisa “secara akurat memahami apa yang sedang terjadi di dalam kokpit dan di luar pesawat,“ ketika badai menghalangi kru untuk melilhat landasan pacu, demikian isi laporan tersebut. (Baca: Lion Air Diminta Latih Pilot)
“Kami telah melakukan evaluasi dan mengambil sejumlah langkah perbaikan sejak insiden tersebut,“ kata direktur Lion Air, Edward Sirait.
Maskapai Indonesia Yang Dilarang di Eropa
Banyak maskapai penerbangan di Indonesia mendapat rapor merah dari Uni Eropa terkait faktor keamanan dan dilarang beroperasi di wilayahnya. Sebagian besar maskapai kecil, lainnya dimiliki konglomerat papan atas.
Foto: Reuters
Sriwijaya Air
Sejumlah insiden minor tercatat dalam sejarah Sriwijaya Air yang baru seumur jagung. Didirikan 11 tahun silam, salah satu pesawat milik maskapai besutan keluarga Lie ini pernah tergelincir 2008 lalu di Bandar Udara Sultan Thaha dan menabrak tiga orang. Insiden diakibatkan kerusakan pada sistem hidraulik rem. 13 orang mengalami luka-luka akibat insiden tersebut.
Foto: ADEK BERRY/AFP/Getty Images
Lion Air
Lion Air mencatat pembelian terbesar dalam sejarah Airbus dan Boeing. Namun ambisi ekspansi maskapai besutan konglomerat Rusdi Kirana ini tidak berbanding lurus dengan faktor keamanan. 2013 lalu salah satu pesawatnya tergelincir di Bandara Ngurah Rai dan tercebur ke laut. Sedikitnya 45 orang mengalami luka-luka. Tercatat sebanyak 24 insiden pernah dialami Lion Air dalam sejarahnya
Foto: Reuters
Merpati Nusantara Airlines
Kendati mengalami kebangkrutan Februari 2014 silam, Merpati tetap masuk dalam daftar hitam Uni Eropa. Maskapai pelat merah ini mencatat berbagai macam insiden yang menelan korban jiwa. 2009 silam pesawat Twin Otter hilang di Papua. Sebanyak 15 penumpang tewas. Mei 2011 pesawat bernomer penerbangan 8968 jatuh di perairan dekat Bandar Udara Utarom, Kaimana, Papua Barat. Seluruh penumpang Tewas.
Foto: picture-alliance/dpa
Citilink
Anak perusahan Garuda Indonesia yang khusus melayani penerbangan murah ini sejatinya belum pernah mengalami insiden serius, kecuali 2011 silam saat penerbangan 087 dibatalkan setelah mengudara lantaran kerusakan pada mesin. Dengan berbekal armada pesawat yang rata-rata berusia 5,7 tahun, Citilink diyakini tidak lama lagi akan keluar dari daftar hitam Uni Eropa.
Foto: Reuters
Batik Air
Serupa dengan Citilink, Batik Air belum pernah mengalami insiden sejak pendiriannya 2013 silam. Larangan beroperasi disematkan pada maskapai murah ini karena kedekatannya dengan perusahaan induk Lion Air dalam hal pemeliharaan pesawat. Lion Air saat ini banyak dikritik karena terlalu banyak berhemat di bidang Maintenance, yang mengakibatkan pesawat sering mengalami kerusakan.
Foto: ADEK BERRY/AFP/Getty Images
Riau Airlines
Maskapai Riau Airlines didirikan pada tanggal 12 Maret 2002 dan mulai beroperasi pada Desember 2002. Maskapai ini adalah satu-satunya maskapai Indonesia yang berkantor pusat di luar Jakarta dan sepenuhnya dimiliki oleh pemerintah daerah. Sempat jatuh bangkrut, Riau Airlines kembali beroperasi dengan Boeing 737-500 dan beberapa pesawat kecil yang melayani rute penerbangan lokal.
6 foto1 | 6
“Kami telah meningkatkan pelatihan simulasi untuk skenario cuaca yang berbeda-beda di sekitar bandara dan mengikuti rekomendasi lain yang dibuat oleh regulator,“ kata dia. Komite keselamatan itu telah mengeluarkan laporan awal dan membuat sejumlah rekomendasi sebulan setelah kecelakaan.
Ia juga mengatakan bahwa masakapai itu tidak lagi menggunakan jasa kedua pilot itu sejak kecelakaan terjadi.
Pilot berumur 48 tahun dengan pengalaman 15.000 jam terbang menjadi kapten, dan seorang berkewarganegaraan India berumur 24 tahun dengan pengalaman hanya 1.200 jam terbang merupakan co-pilot, dalam penerbangan itu, menurut KNKT.
“Pilot yang bertanggungjawab (Pilot-in-Command) mungkin tidak menyadari karakteristik badai, khususnya dampak sifat alamiah dari cumulonimbus," demikian pernyataan komite. ”Kondisi diatas bisa disimpulkan sebagai tidak adanya kesadaran situasional,“ kata KNKT.
Laporan itu menyebut bahwa kru memutuskan untuk mengambil jalan memutar dan mencoba pendekatan lain, ketika pesawat berada dalam posisi terlalu rendah untuk melakukan manuver seperti itu.
Pilot tidak mendapat update yang akurat pada saat dibutuhkan mengenai perubahan cuaca yang cepat, kata komite.
Indonesia menghadapi kekurangan pilot komersil seiring bertambahnya lalu lintas udara sekitar 20 persen per tahun dan maskapai baru bermunculan menyusul liberalisasi industri penerbangan pada awal tahun 2000an. Penerbangan Indonesia melayani sekitar 70 juta penumpang tahun lalu.