1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Melihat Kehidupan di Wuhan Pasca-Lockdown

William Yang
9 April 2020

Meski rindu akan kehidupan normal, warga Wuhan masih terlalu dini untuk merasa aman dalam beraktivitas di kota yang pernah menjadi episentrum virus corona itu.

Berpamitan di Bandara Internasional Tianhe di Wuhan, Cina
Foto: Reuters/Aly Song

Setelah pemerintah Cina pada Rabu (08/04) mencabut aturan lockdown atau penguncian selama 76 hari di Wuhan, media sosial Cina dengan begitu cepat dipenuhi oleh video-video yang memperlihatkan ramainya lalu lintas di seluruh kota.

Banyak orang menggambarkan kemacetan lalu lintas yang terjadi setelah dua bulan kosong itu sebagai “Wuhan yang sebenarnya”.

“Saya sangat tersentuh oleh pemandangan familiar akan kemacetan ini, membuat saya ingin menangis,” tulis seorang netizen di platform microblogging Weibo yang populer di Cina. “Kami membayar harga yang sangat mahal untuk bisa mengembalikan Wuhan seperti sedia kala.”

Meski begitu, warga setempat mengatakan kepada DW bahwa berakhirnya lockdown bukan berarti bahwa kota langsung kembali ke kehidupan normal.

Banyak wilayah di Wuhan di mana warga masih diminta untuk menunjukkan status kesehatan dan izin resmi untuk kembali bekerja sebelum kemudian diizinkan meninggalkan lingkungan tempat tinggal mereka.

Lockdown belum berakhir untuk semuanya?

“Berakhirnya lockdown artinya mereka yang telah menerima persetujuan pemerintah untuk kembali bekerja sekarang dapat memperoleh kembali kebebasan mereka untuk beraktivitas,” kata seorang wanita bernama Li kepada DW. Namun, sebagian besar kegiatan komersial tetap ditutup. “Sebagian besar bisnis tetap tutup, kecuali supermarket, toko obat, dan toko ponsel,” tambahnya.

Meskipun video kemacetan telah beredar di media sosial sejak pagi, Li memperkirakan bahwa jumlah mobil di jalan mungkin hanya setengah dibandingkan dengan saat sebelum wabah virus corona muncul.

“Karena ini baru hari pertama pasca-lockdown, jadi jalan-jalan dan kereta bawah tanah tetap agak kosong,” kata Li. “Saya rasa ketika orang-orang sudah mulai kembali ke Wuhan untuk bekerja, jumlah orang juga akan ikut meningkat,” tambahnya.

Seorang pria muda bernama Lin mengatakan dia tidak memiliki mobil sehingga harus menggunakan bus dari pinggiran Wuhan untuk berangkat kerja setiap pagi.

Dia mengatakan kepada DW bahwa bus dan kereta bawah tanah masih kosong karena pemerintah Cina hanya mengizinkan orang yang bekerja di industri tertentu untuk kembali bekerja.

Sementara, untuk melindungi diri dari virus corona, banyak para pekerja yang memakai masker,kacamata goggle, dan alat pelindung lainnya.

“Di dalam transportasi umum, orang-orang tidak berbicara satu sama lain, dan selain menggunakan masker, beberapa dari mereka bahkan memakai masker gas, jas hujan, atau sarung tangan untuk melindungi diri,” kata Lin.

Seorang anggota staf medis dari Provinsi Jilin menangis saat upacara, ketika bandara Wuhan dibuka kembali.Foto: AFP/H. Retamal

‘Epidemi belum berakhir’

Sementara orang-orang di seluruh Cina mengungkapkan optimisme mereka akan berakhirnya lockdown di Wuhan, tidak demikian dengan warga Wuhan. Mereka justru mengkhawatirkan adanya gelombang kedua infeksi COVID-19 jika lockdown diakhiri terlalu cepat.

“Orang-orang di luar Wuhan sangat gembira dengan berakhirnya lockdown, tetapi kita yang tinggal di sini benar-benar mati rasa terhadap seluruh situasi ini,” kata Yuan, yang memutuskan untuk tinggal di rumah karena sekolah tempat dia mengajar masih ditutup.

“Siapa pun yang ingin keluar pasti sudah menemukan alasan untuk keluar, tapi mereka yang tetap berada di dalam rumah rasanya sudah terbiasa dengan kehidupan dalam penguncian”, tambahnya.

Lin juga mengatakan bahwa suasana Wuhan saat ini mengingatkannya pada suasana di bulan Januari silam, ketika virus corona mengambil alih kehidupan di seluruh kota.

“Orang-orang yang masih cemas pasti akan tetap waspada, tapi mereka yang sudah tidak cemas akan berpikir kalau akhir dari lockdown ini berarti benar-benar aman untuk meninggalkan rumah,” kata Lin kepada DW. “Satu-satunya perbedaan adalah bahwa pada Januari silam, hanya kurang dari 10% populasi Wuhan yang menggunakan masker, tapi kini sebaliknya, yang tidak memakai masker kurang dari 10% populasi Wuhan”, tambahnya.

Kenangan akan masa-masa traumatis

Karena banyak orang di Wuhan masih dapat dengan jelas mengingat kembali kengerian yang melanda kota itu pada Januari silam, Li percaya bahwa mayoritas warga akan memilih untuk tetap waspada, setidaknya sampai beberapa minggu ke depan.

“Saya sudah punya daftar panjang hal-hal yang ingin saya lakukan, tetapi setelah merenung panjang, saya putuskan untuk mengesampingkan keinginan tersebut,” kata Li. “Lebih baik kita tidak mengambil risiko yang tidak perlu sekarang”.

Aturan lockdown yang sangat ketat di Wuhan tidak hanya mengubah gaya hidup orang secara mendasar, tetapi juga menyebabkan beberapa dari mereka kehilangan mata pencaharian mereka.

Lin biasa bekerja menjual buah di pasar lokal yang jauhnya hanya beberapa blok dari Pasar Makanan Laut Huanan, tempat virus corona diduga pertama kali muncul.

Karena pemerintah berencana menutup pasar makanan laut itu secara permanen, Lin khawatir bahwa pasarnya juga jadi target penutupan oleh pemerintah.

Penduduk setempat membutuhkan waktu untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan pasca-lockdown, kata Li.Foto: Reuters

Meskipun kehidupan akan berangsur-angsur normal di Wuhan, Li merasa bahwa penduduk setempat akan membutuhkan setidaknya beberapa bulan untuk bisa pulih dari pengalaman traumatis mereka selama lockdown.

Dan ketika banyak negara mulai memberlakukan lockdown, Li menyerukan agar semua orang menemukan cara untuk menggunakan waktu ini dengan bijak.

“Tidak peduli di mana Anda tinggal, Anda harus tetap sehat, hindari rasa panik dan cari cara untuk meningkatkan kualitas diri selama periode waktu di mana dunia tampaknya berhenti total,” kata Li. (gtp/rap)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait