1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Kedai Indonesia di Jerman ini Manfaatkan Bahan Makanan Sisa

4 Juli 2020

Tiap tahun, berton-ton sayur dan buah-buahan di Eropa terbuang percuma karena penampilannya dianggap ‘tidak cantik‘. Di Köln, Jerman, seorang pengusaha asal Indonesia ‘menyulapnya‘ jadi hidangan di rumah makan miliknya.

menu masakan
Salah satu menu di kedai makanan upcyclingFoto: C. Sukmana

Cassie Sukmana, pengusaha asal Indonesia yang berbisnis rumah makan di Köln, Jerman adalah pecinta lingkungan. Ia tidak rela jika sayur-sayuran atau buah-buahan yang dianggap tidak memenuhi standar estetika untuk dipasarkan di supermarket atau yang istilahnya 'tidak cantik', mendarat di tong sampah.

“Di Jerman terkadang, buah atau sayuran di supermarket-supermarket ini harus memenuhi standar, misalkan sebuah tomat harus besarnya minimal 10 sentimeter. Dan kalau misalkan kurang dari standar itu maka mereka dibuang. Atau tomat bentuknya tidak bulat atau kentang bentuknya hati, sayang jika terbuang, jadi bahan makanan itu tetap kami olah untuk menu di restoran kami. Rasa dan nilai gizinya, kan sama. Kita masak dengan memakai sayuran dan buah-buahan yang kurang cantik itu, dan kita ubah menjadi makanan yang enak dan cantik di atas piring,“ ujar Cassie, lulusan jurusan ekonomi dari sebuah universitas di Jerman.

Lulus kuliah, perempuan asal Indonesia yang bermukim di Jerman ini memilih mengembangkan pengetahuan yang diperolehnya di Jerman untuk membuka usaha gastronomi, yang memperhatikan aspek lingkungan lewat konsep upcycling. Situs cleanomic.com menyebutkan, upcycling adalah proses transformasi barang yang sudah tidak terpakai menjadi sesuatu yang lebih berguna dan seringkali bersifat lebih bagus daripada awalnya. 

Pemilik restoran Cassie Sukmana bersama pasangan.Foto: Privat

Konsumen di supermarket kerap cenderung memilih sayur dan buah yang bentuknya standar ketimbang yang bentuknya agak ‘nyeleneh‘. Tapi bukan hanya masalah estetika saja yang menyebabkan mentimun, terong dan sejenisnya yang dianggap bentuknya aneh terpaksa mendarat di tempat pembuangan, melainkan produk yang tidak berbentuk seragam kerap dianggap mempersulit penyimpanannya atau diangkut. Ketimbang dibuang, Cassie berusaha untuk membuatnya jadisajian makanan untuk disuguhkan kepada pengunjung kedai makanannya yang baru ia rintis bulan Maret 2020.

Gado-gado jadi favorit pengunjung

Cassie bercerita, sejauh ini menu restorannya bisa diterima dengan baik oleh pengunjung. “Bagi mereka, makanan-makanan Asia di sini lain dari restoran-restoran lainnya yang biasa mereka temui di Köln. Yang pasti kita sangat terkejut kalau ternyata orang-orang Jerman yang ekstra ke mari untuk mencari makanan Indonesia.“ 

Tiap pekan, menunya berganti-ganti sesuai ketersediaan produk bahan makanan. "Karena kami orang Indonesia, kita buat masakannya yang lebih Indonesia dan dicampur dengan masakan negara-negara Asia lainnya. Contohnya minggu ini, kami ada menu gado-gado, soto, dan kwetiau goreng. Sisanya dicampur masakan Cina atau Thailand, misalnya tahu dicampur dengan sayuran.”

Vera Weber, warga Köln, salah seorang pengunjung tetap restoran itu, tidak bosan makan sepekan sekali di kedai makan milik Cassie. “Menu mereka tiap pekan ganti-ganti. Jadi tidak bosan. Tapi yang jelas, saya selalu menanti gado-gado, saya suka.” Weber tidak suka makan daging. Menurutnya banyak masakan Indonesia yang pas dengan gaya hidupnya yang vegetaris.

Baru buka sehari langsung 'lockdwon'

Sehari setelah membuka restorannya di bulan Maret 2020, Jerman mengumumkan pembatasan keluar rumah gara-gara merebaknya wabah COVID-19. ”Berat buat kita semua. Tidak hanya buat kami tapi juga buat orang lain. Jadi, kita sudah rencana buka bulan Maret dan akhirnya kita bisa buka bulan Maret sesuai rencana, tapi sehari kemudian kita harus tutup lagi karena lockdown. Akhirnya kita tutup dan istirahat di rumah satu bulan dan buka lagi untuk take away.”

Kini setelah pelonggaran pembatasan, restorannya bisa kembali buka, namun dengan mengikuti protokol kesehatan yang diwajibkan pemerintah. Para pengunjung pun sudah kembali memenuhi rumah makannya.

Interior dan dekorasi dari barang bekas

Selain menjajakan makanan, ada juga berbagai produk seperti kerajinan tangan dan lain sebagainya yang dijual di rumah makan ini. Semuanya dibuat dari bahan bekas.”Kita menjual barang-barang upcycled. Dengan upycling concept store kita memproduksi barang-barang yang tadinya tak berharga atau kurang bermanfaat dan akhirnya proses menjadi barang baru, yang punya fungsi baru.”

Interior restoran berkonsep upcycling di JermanFoto: C. Sukmana

Interior dan dekorasi toko-rumah makan itu juga memakai produk bekas yang kemudian dikreasikan menjadi barang yang lebih berguna dan indah.”Ya, kami punya banyak papan potong bekas, lalu kami jadikan rak, untuk menjual barang-barang upcycled-nya. Jadi bisa dilihat kalau misalkan ada barang lama, bisa jadi barang baru yang lebih bermanfaat. Yang tadinya mau dibuang, bisa menjadi barang yang lebih baik.“

Menurut Cassie, dalamberbisnis sangat perlu memperhatikan aspek keberlanjutan. Ia pun meyakini konsep restoran-toko daur ulang yang dikelolanya akan terus berkembang, mengingat gaya hidup yang ramah lingkungan dari hari ke hari semakin menjadi tren yang dianut oleh banyak kaum muda di Jerman.

 

(*Sumber tambahan informasi: DW dan Cleanomic.com)