Hampir 1000 Kejahatan Anti Muslim Tahun 2017
3 Maret 2018Kejahatan yang bersifat anti muslim, termasuk serangan fisik, surat-surat ancaman, retorika penuh kebencian, juga pencorengan masjid dengan simbol NAZI banyak ditemukan tahun lalu. Itu tercatat dalam statistik Departemen Dalam Negeri Jerman.
Koran Jerman Neue Osnabrücker Zeitung mengungkap, kementrian sudah mencatat sedikitnya 950 insiden. Sebagian besar dilaksanakan warga ekstrimis kanan. Akibatnya 33 orang cedera.
Mengenal Islam di Jerman
Para intelektual Muslim muda Indonesia mendapat kesempatan menilik lebih dekat kehidupan umat Islam di Jerman. Ada sekitar 4,7 juta warga Muslim yang hidup di negeri itu. Ikuti jejak perjalanan mereka berikut:
"Life of Muslims in Germany"
Ada 14 orang yang mengikuti program wisata belajar yang digagas Goethe-Insitut dan Universitas Paramadina itu. Selama dua pekan, para peserta diajak merasakan seperti apa kehidupan umat Muslim dan mengenal sejarah Jerman lebih dekat. Para peserta memiliki latar belakang yang beragam, mulai dari dunia akademisi, seperti dosen/peneliti, guru pesantren & mahasiswa, dan pekerja industri kreatif.
Menelisik Sejarah Jerman
Perjalanan mereka dimulai di Berlin, dimana para peserta diperkenalkan lebih dahulu dengan sejarah dan politik Jerman. Oki Setiana Dewi (foto) berada di salah satu lokasi tembok yang dulu memisahkan Jerman Barat dan Timur. Bintang film reliji ‘Ketika Cinta Bertasbih" yang juga merupakan kandidat doktor Pendidikan Agama Islam tersebut memperlihatkan seperti apa penampakan Tembok Berlin dulu.
Jejak Islam di Jerman
Museum Seni Islam pada kompleks museum Pergamon Berlin ini menjadi salah satu tempat yang berkesan bagi para peserta. Di tempat ini para peserta turut menikmati koleksi karpet Ottoman dari Persia. Tak hanya seni dari Persia, museum yang didirikan tahun 1904 itu juga menyimpan koleksi peninggalan peradaban kuno dari Suriah dan Arab.
Keliling Jerman
Tak hanya di Berlin, para peserta juga berkesempatan mengunjungi beberapa universitas di Jerman yang memiliki Program Studi Islam. Dengan menggunakan kereta cepat, para peserta berangkat dari Stasiun Kereta Berlin menuju kota Göttingen dan Frankfurt.
Laboratorium Ilmu Islam
Di Univesitas Göttingen, para peserta 'study-tour' mengunjungi Insitut Studi Arab dan Islam. Program studi ini menggali lebih dalam seluk beluk teologi dan filsafat Islam selama periode klasik serta sastra dan budaya Timur Tengah. Para peserta pun dapat langsung bertukar pikiran dengan Professor Fritz Schultze yang merupakan ahli Asia Tenggara, terutama Manuskrip Malay. (ed: ts/rzn)
Dilaporkan juga, sekitar 60 serangan dan langkah pencorengan dilakukan terhadap sejumlah masjid dan institusi Islam. Dalam sejumlah kasus, darah babi juga dicorengkan di dinding bangunan di samping juga grafiti simbol NAZI.
Demonstrasi anti Islam
Sekitar 90 demonstran yang menentang apa yang mereka sebut "Islamisasi" Jerman juga termasuk dalam catatan Kementerian Dalam Negeri Jerman. Jumlah itu dicantumkan dalam laporan yang diserahkan kepada parlemen Bundestag, sesuai permintaan Partai Kiri. Tetapi jumlah itu belum mencakup demonstrasi yang diorganisir kelompok anti imigrasi PEGIDA.
Menyusuri Jejak Islam di Jerman
Beragam masjid dan komunitas Islam, sebagian kecil tempat menarik yang dikunjungi 14 intelektual Muslim Indonesia saat studi trip "Life of Muslims in Germany". Lokasi mana saja yang mereka singgahi? Berikut rangkumannya.
Singgah di Masjid Indonesia
Masjid Al-Falah, nama masjid milik warga Indonesia yang terletak di Berlin. Masjid yang dikelola Indonesische Weisheits und Kulturzentrum (IWKZ) dulunya merupakan pub. Para Intelektual muda yang mengikuti study trip Goethe tersebut tiba tepat Sholat Jumat sehingga bisa menikmati kuliner indonesia yang dijual untuk membiayai operasional masjid. Tiap tahun 4000 Euro harus dikumpulkan secara swadaya.
Mengapa Warga Indonesia Berbeda?
Ketua IWKZ Dimas Abdirama menceritakan bahwa kegiatan di Masjid lebih berfokus sebagai ruang belajar bagi mahasiswa. "Dibandingkan pendatang lainnya, kita mempunya daya pikat kepada pemerintah Jerman yang membutuhkan banyak tenaga ahli," ujar ahli bioteknologi medis itu. Ada sekitar 4000 mahasiswa Indonesia studi di Jerman. Potensi ini menurut Dimas membuat orang Indonesia mudah diterima.
Melihat Toleransi di Neukölln
Lewat program "Life of Muslims in Germany", 14 kaum intelektual muda Indonesia tidak hanya diajak berkenalan dengan Muslim Indonesia. Mereka juga diajak ke Neukölln untuk melihat bagaimana umat Muslim dari beragam aliran dapat hidup berdampingan. Masjid Al-Salam NBS milik aliran Sunni itu menurut Syekh Muhammad Thaha tidak hanya digunakan sebagai tempat keagamaan tapi juga kegiatan kemanusiaan.
Masjid yang Terbuka
Meski mayoritas umatnya adalah Sunni, namun menurut Syekh Thaha, masjid Al-Salam terbuka untuk seluruh jamaah, termasuk Syiah. "Kami tidak memaksakan ajaran tertentu, siapapun bisa datang ke masjid ini,"katanya. Masjid ini juga terbuka bagi seluruh warga Jerman yang ingin mengenal Islam atau warga imigran yang ingin belajar bahasa Arab.
Alevi, Minoritas yang Mudah Diterima
Di Jerman, mayoritas umat Islam adalah Sunni (74%), namun di posisi ke dua ditempati kelompok asal Turki bernama Alevi (13%). Menurut Claudia Dette, pemandu perjalanan kami, Alevi kelompok yang paling mudah berintegrasi setelah Ahmadiyah. Rahasianya menurut Kadin Sahir adalah karena Syariah bagi Alevi adalah tunduk mengikuti konstitusi yang ada di negara di mana mereka berada.
Masjid Dalam Gereja
Ibn-Ruysd Goethe, "Masjid Liberal" yang mengakui imam perempuan di Jerman dan terletak di gereja turut disambangi rombongan. "Masjid ini hadir sebagai bentuk protes atas paham ekstrimis di Jerman. Mereka menyebut diri liberal untuk memahami Islam pada konteks sekarang. Pada titik ini mungkin kita bisa sepakat dalam rangka mengaktualkan Islam," kata Ahmad Muttaqin, salah seorang peserta study trip.
Menangkal Radikalisme Lewat Masjid
Sebanyak 50,6% 2,2 juta umat Islam di Jerman memiliki latar belakang keturunan Turki, itulah sebabnya di salah satu masjid terbesar milik warga Turki di Berlin, masjid Sehitlik, program yang ditawarkan lebih khusus lagi. Para peserta yang disambut Pinar Cetin, pemimpin Bahira menjelaskan organisasinya bertugas untuk melakuan konsultasi demi mencegah anak muda Muslim terhindar dari paham radikal.
Mari Belajar Bersama
Tak melulu mengunjungi masjid. Peserta "Life of Muslims in Germany" juga singgah ke lembaga swadaya Morus14. Sebanyak 100 sukarelawan dari berbagai latar belakang budaya dan kelompok meluangkan waktunya mendampingi dan mengajar anak-anak berlatarbelakang imigran. Program seperti ini bertujuan untuk menanggulangi masalah integrasi yang kerap menjadi pekerjaan besar di Jerman.
Merawat Ingatan
Beberapa museum yang dikunjungi terkait dengan Islam, namun di Museum The Story of Berlin, para peserta berkenalan dengan sejarah Jerman. Kisah Jerman Barat dan Timur serta diskirimasi di era NAZI jadi pengingat bagaimana perbedaan dapat memicu konflik. "Kita kerap melihat sejarah hal yang jauh dari kehidupan. Sementara bagi mereka sejarah hidup bersama kita sekarang," kata Heychael berkomentar.
Mudah dan Nyaman
Selama berkeliling di Berlin, para peserta hilir mudik menggunakan beragam alat transportasi, seperti kereta bawah tanah. Jadwal yang teratur serta tempat yang nyaman menjadi pengalaman berbeda yang didapat bila dibandingkan dengan transportasi di tanah air. Tak sedikit yang terheran-heran ketika mengetahui sebagian besar tahanan di Berlin justru penumpanjg yang tertangkap tidak membeli tiket.
Life of Muslims in Germany
Selama hampir 2 minggu, 14 intelektual muda Muslim Indonesia dari berbagai latar belakang komunitas Islam dan profesi di Indonesia tersebut diajak merasakan seperti apa kehidupan umat Muslim di Jerman. Lewat study trip "Life of Muslims in Germany" yang digagas Goethe Insitut Indonesia, peserta dapat mengenal kebijakan Jerman atas 4,7 juta warga Muslim yang hidup di negeri itu. (ts/rzn) Ed:ap
Perbandingan dengan tahun sebelumnya tidak bisa dibuat, karena badan berwenang belum secara spesifik mencatat kejahatan bersifat anti Islam sebelum tahun 2017.
Pimpinan Dewan Sentral Islam di Jerman, Aiman Mazyek, mengatakan kepada koran itu, ia yakin jumlah kejahatan lebih tinggi lagi. Namun kesadaran belum terbentuk sepenuhnya pada aparat kepolisian dan kejaksaan, tentang pelanggaran bersifat anti Islam.
Penulis: Timothy Jones, dpa (ml/ap)
Islam Jerman di Mata Intelektual Muda
14 orang intelektual muda Muslim Indonesia selama dua minggu menilik kehidupan umat Islam di Jerman. Berikut hal menarik yang mereka temukan lewat program "Life of Muslims in Germany" tersebut.
Nati Sajidah Jalaluddin: Penulis Genre Islamic Motivation dan Konsultan Pendidikan
“Hal yang berubah dari pemahaman saya adalah makna sekular tidak selalu agama dan negara terpisah. Di Jerman maknanya netral karena UU 1949 memberi kebebasan bagi warga untuk beragama atau tidak. Negara memfasilitasi agar warga dapat menjalankan agamanya, bahkan komunitas paling ‘nyeleneh‘ sekalipun. Menurut saya yang dilakukan Jerman justru nilai yang sangat islami, yaitu menjunjung kemanusiaan“
Husni Mubarrak: Dosen Hukum Syariah UIN Ar-Raniry Banda Aceh
"Pentingnya merawat ingatan. Negara ini menjaga sejarahnya dalam berbagai rupa. Semua pengalaman masa silam itu mengantarkan Jerman pada titik kebebasan beragama. Di Indonesia kita tidak memiliki pengalaman serupa. Saya rasa perlu penulisan ulang sejarah di Indonesia, karena banyak kearifan bangsa yang belum kita elaborasi untuk menyikapi perbedaan praktik beragama."
Irma Wahyuni: Pengajar STKIP Muhammadiyah Bogor
“Di Jerman pemerintah memperhatikan pendidikan agama dan menghargai perbedaan. Dalam konteks praktis Jerman memberi kebebasan bagi warga untuk memilih dalam melaksanakan agama dalam bentuk apapun. Itu demokratisasi dalam beragama yang sangat unik di Jerman. Walaupun secara sistem kenegaraan Jerman adalah sekuler, tapi kebebasan beragama sangat dijunjung tinggi."
Saipul Hamdi: Dosen Studi Islam di Politeknik Pertanian Samarinda
"Saya terkesan dengan kebebasan yang diberikan pemerintah Jerman dalam ekspresi keberagaman. Selama tidak melakukan tindak kriminal, masyarakat bebas berbicara dan bereskpresi. Masyarakat Muslim jadinya lebih senang tinggal di negara sekuler daripada negara Islam karena banyak yang mengalami persekusi. Islam di Jerman sangat berkembang, meskipun akhir-akhir ini ada Islamophobia."
Muhammad Heychael: Direktur Remotivi dan Pengajar Etika Media
"Kita belajar bagaimana Jerman menghadapi sejarah kelam mereka (NAZI). Mereka tidak menghindari sejarah kelam tersebut, sebaliknya dengan sangat dewasa menjadikan kesalahan sebagai bahan bakar untuk merawat kemanusiaan. Hal yg berbeda terjadi di tanah air. Kita bukan hanya ingkar pada sejarah 1965, tapi terus merawat fiksi sejarah yang menjustifikasi genosida pada mereka yg dituduh komunis."
Oki Setiana Dewi: Pemain Film Religi
"Program menarik yang ditawarkan beberapa masjid yang kami kunjungi adalah mereka terbuka bagi siapa pun yang ingin mengetahui Islam, termasuk non-Muslim agar bisa hidup damai di masyarakat multikultur. Muslim di Jerman harus terbuka karena ketidakpedulian dan ketidaktahuan kita terhadap sesuatu membuat kita berprasangka buruk terhadap satu sama lain."
Nur Hidayat: Mahasiswa Magister Islamic Studies UIN Surabaya, Penulis Lingkar Pena
"Saya jadi tahu bagaimana Jerman sebagai negara sekuler memberi kebebasan bagi setiap warga untuk beragama ataupun tidak. Meski masih dibatasi bahwa simbol agama tidak diperkenankan di institusi negara. Ini membuat saya semakin cinta Indonesia, meski bukan negara Islam, tapi setiap agama diberi kebebasan merayakan atau memperlihatkan simbol agamanya."
Hazim Hamid: Dosen Sosiologi UMSIDA, Alumni Fisipol UGM
"Sistem negara sekuler Jerman telah membentuk masyarakatnya untuk memiliki prinsip yang sangat rasionalis. Mereka memiliki kebebasan memilih paham atau gerakan sesuai dengan apa yang menjadi perspektifnya. Menariknya, pemerintah juga tetap memberikan ruang dan dukungan untuk penguatan keagamaan, termasuk kepada Islam, baik melalui komunitas agama maupun lembaga pendidikan formal."
Siti Maulia Rizki: Pengajar di MUQ, Penyiar Radio Seulaweut Banda Aceh
"Gambaran saya sebelumnya, orang Eropa atau Jerman sangat individualis, tapi menariknya mereka justru banyak sekali terlibat dalam kegiatan sukarelawan. Mereka individualis, namun tidak egois. Apapun latar belakangnya, menurut saya selama digerakkan oleh alasan kemanusian, relawan menjadi wadah yang tepat juga bagi kaum minoritas untuk lebih cepat berkembang dan diterima di Jerman."
Ari Armadi: Guru Pesantren Raudlatul Mubtadiin, Aktivis NU Cariu-Bogor
"Dari berbagai diskusi dan kunjungan, saya berkesimpulan sudah ada kesadaran baik dari komunitas Muslim, jurnalis atau bahkan pemerintah mengenai bahaya radikalisme, terutama bagi kalangan anak muda. Masjid juga sudah dijadikan sarana deradikalisasi. Contohnya Masjid Turki di Berlin yang menawarkan program konsultasi untuk mengenal Islam sebagai agama yang penuh perdamaian."
Juwita Trisna Rahayu: Jurnalis Antara
"Program ini membuka mata saya bahwa untuk memahami Islam dalam konteks yang lebih luas. Dan menurut saya, toleransi bergama di Jerman perlu dicontoh. Di sisi lain, media masih memegang peranan penting dalam memegang sudut pandang masyarakat. Dan ternyata di Eropa, agama juga masih digunakan sebagai senjata dalam memenangkan pemilu.”
Marella Al Faton: Peneliti Politik Islam UI, aktivis Lazis Muhammadiyah Garut
"Kita yang berada di luar Eropa berpandangan Jerman juga bertindak diskriminatif terhadap Islam, tapi pemerintah Jerman justru mengakomodir kebutuhan umat Muslim lewat pendidikan agama Islam di sekolah. Penekanan ini penting agar kita mengerti Jerman bukannya tak mau mengintergrasikan Islam ke budaya negaranya, tapi prinsip sekular berarti agama adalah hal pribadi & tidak dibawa ke ruang publik."
Ahmad Muttaqin: Alumnus Studi Al-Quran Pascasarjana UIN Yogyakarta
"Hal paling menarik adalah atmosfir akademik sangat kental di Jerman. Di tiga kampus yang kami kunjungi, kajian Islam baik Islamic Studies maupun Islamic Theology lebih terbuka dengan berbagai pendekatan. Ini adalah upaya memahami Islam dalam konteks yg dinamis dalam spektrum yang lebih luas. Di Indonesia, semangat keterbukaan untuk mengkaji Islam dengan berbagai pendekatan perlu diterapkan."
Maycherlita Supandi: Mahasiswa Magister Cultural Studies UNAIR Surabaya
"Saya melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana Muslim di Jerman sangat berhati-hati dalam menafsirkan Al-Quran. Mereka mempertimbangkan segala aspek, mulai dari konteks sosial, kultural, historis bahkan politis. Saya belum pernah menemui salah satu kelompok Islam yang cenderung menyalahkan atau mengafirkan kelompok lain, walaupun menurut saya ada juga yang tafsir kontekstualnya kebablasan."