1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikAsia

Kejahatan Myanmar dan Laut Cina Selatan Dominasi KTT ASEAN

11 Juli 2023

Rusia, Cina, dan AS menghadiri KTT ASEAN, di mana isu berkepanjangan di Myanmar dan memanasnya Laut Cina Selatan mendominasi agenda pembahasan.

KTT ASEAN 2023 di Jakarta, Indonesia
Jelang KTT ASEAN, isu Myanmar dan ketegangan Laut Cina Selatan dominasi agenda pemimpin Asia TenggaraFoto: Achmad Ibrahim/AP Photo/picture alliance

Perselisihan sipil yang berkepanjangan di Myanmar dan ketegangan di Laut Cina Selatan, diperkirakan akan mendominasi agenda pertemuan para menteri luar negeri Asia Tenggara pekan ini di Jakarta.

Invasi Rusia ke Ukraina serta hubungan diplomatik Amerika Serikat (AS) dan Cina yang semakin memburuk juga tak luput jadi sorotan utama, di mana Menlu AS Antony Blinken, Menlu Rusia Sergey Lavrov, dan Menlu Cina Qin Gang, akan turut hadir sebagai mitra dialog ASEAN.

Para diplomat tertinggi ASEAN, yang meliputi negara Brunei, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam, terlebih dahulu akan bertemu pada hari Selasa (11/07) dan Rabu (12/07), sebelum akhirnya bergabung dengan rekan Asia dan Barat dalam pertemuan pada hari Kamis (13/07) dan Jumat (14/07).

Indonesia terus fokus mengedepankan dialog dalam menengahi persoalan di MyanmarFoto: Achmad Ibrahim/AP Photo/picture alliance

ASEAN di bawah kepemimpinan Indonesia

Sejak mengambil alih keketuaan bergilir ASEAN, Indonesia telah menyelenggarakan sekitar 110 pertemuan dengan berbagai kelompok di Myanmar, serta turut memberikan bantuan kemanusiaan untuk terus membangun kepercayaan antarnegara, ungkap Menlu Indonesia Retno Marsudi.

"ASEAN begitu prihatin dengan meningkatnya aksi kekejaman di Myanmar yang telah mengakibatkan banyaknya korban sipil dan hancurnya fasilitas umum," kata Retno dalam konferensi pers pada hari Jumat (07/07). "Ini harus segera dihentikan," tegasnya.

Dua bulan lalu, sebuah konvoi bantuan yang membawa perwakilan kedutaan besar Indonesia dan Singapura dalam misi bantuan ASEAN kepada para pengungsi Myanmar, ditembaki oleh para penyerang tak dikenal. Beruntungnya, tidak ada seorang pun yang terluka dalam insiden tersebut, demikian laporan televisi pemerintah MRTV.

Pemerintah militer Myanmar sebelumnya telah mengabaikan "rencana lima poin” yang disepakati para kepala negara ASEAN di Jakarta. Rencana lima butir ketika itu diumumkan langsung oleh Presiden Joko Widodo, mencakup penghentian kekerasan dan dialog di antara semua pihak yang bertikai, tetapi hingga kini tidak ditanggapi hambar oleh rezim di Myanmar, dengan alasan ASEAN tidak berhak mencampuri urusan dalam negeri.

ASEAN terdesak, Myanmar hanya menambah konflik

ASEAN tengah berada di bawah tekanan internasional untukmengatasi krisis di Myanmar. Sedangkan, para anggota ASEAN tampaknya terpecah-belah.

Dewi Fortuna Anwar, direktur lembaga think tank yang berbasis di Jakarta, mengatakan bahwa situasi di Myanmar dapat menjadi masalah jangka panjang, karena terbatasnya kapasitas keterlibatan ASEAN di dalamnya.

"Mereka (Myanmar) bandel. Tekad mereka untuk mempertahankan kekuasaan itu tidak akan berlanjut, karena hanya akan memicu konflik," kata Dewi kepada kantor media AP.

Sebelumnya, Myanmar direncanakan turut mengambil peran untuk mengkoordinasikan keterlibatan ASEAN-Uni Eropa tahun depan. Namun, rencana itu harus batal setelah Uni Eropa menjatuhkan sanksi terhadap pemerintah militer Myanmar tersebut. Berbeda dengan Uni Eropa, sejauh ini ASEAN tidak punya kapasitas menjatuhkan sanksi.

Polemik sengketa Laut Cina Selatan

Brunei, Malaysia, Filipina, dan Vietnam telah lama terlibat dalam konflik teritorial dengan Cina dan Taiwan selama beberapa dekade terakhir.

ASEAN dan Cina telah merundingkan "pakta non-agresi”, yang bertujuan untuk mencegah meningkatnya perselisihan antarnegara, tetapi perundingan tersebut mengalami penundaan selama bertahun-tahun.

Washington juga telah menantang klaim teritorial Beijing, yang secara teratur mengerahkan kapal perang dan jet tempur patrolinya. Aksi tersebut membuat Cina semakin agresif dan mengancam beberapa negara tetangga.

"Kami menyatakan keprihatinan kami mengenai perlombaan senjata dan proyeksi kekuatan angkatan laut yang terus meningkat di kawasan ini, yang dapat menyebabkan salah perhitungan, meningkatkan ketegangan, dan dapat merusak perdamaian, keamanan, serta stabilitas regional," kata para menteri luar negeri ASEAN, tanpa menjelaskan lebih lanjut rancangan komunike yang disebutkan.

Sedangkan, Dewi Fortuna Anwar berpendapat bahwa ASEAN tidak memiliki solusi yang mampu meredakan sengketa Laut Cina Selatan, dan hanya dapat mengambil beberapa langkah pengendalian untuk mencegah konflik yang lebih besar.

kp/hp (AP)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait