1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialEropa

Kekerasan terhadap Laki-laki Masih Dianggap Angin Lalu

Hans Pfeiffer
3 November 2020

Sekitar 20 persen korban KDRT adalah laki-laki dan tidak hanya terjadi di Jerman. Sejauh ini, hampir tidak ada tawaran bantuan bagi mereka. Laki-laki juga masih enggan membicarakan masalah ini.

Foto ilustrasi kekerasan terhadap pria
Foto: picture-alliance/F. May

Awalnya ada pemikiran khas di benak kaum laki-laki bahwa: “Saya adalah pahlawan bagimu!” Demikian pikir Tami Weissenberg (nama samaran) saat bertemu pasangan barunya. Perempuan yang menjadi pasangan Weissenberg itu awalnya bercerita tentang kekerasan yang ia alami sebelum berhubungan dengan Weissenberg. 

Ceritanya tidak jauh dari pemukulan dan berbagai ketidakbahagiaan. Semua itu menyentuhnya. Weissenberg lantas ingin membantunya, menyelamatkan pasangannya. Ia juga ingin menunjukkan bahwa laki-laki juga bisa berbeda. Dia pengertian, penuh perhatian.

"Saya tidak menyadari pada saat itu, bahwa itu semua hanya tipuan untuk bisa memperalat seseorang," ujar Weissenberg. Dia pun terlibat dalam hubungan yang penuh kekerasan selama enam tahun.

Tami Weissenberg adalah seorang laki-laki percaya diri. Dia tinggi, dan enak dilihat. Ketika dia berdiri dan mengobrol dengan Anda, tidak akan terbayangkan bahwa ia telah menjadi korban kekerasan. Tapi itu semua adalah bagian dari gambaran yang telah klise: bahwa korban selayaknya berpotongan tubuh kecil, lembut dan lemah.

Tami Weissenberg, korban kekerasan domestikFoto: Robert Richter/DW

Ketergantungan emosional, andalan pelaku kekerasan

Weissenberg dan perempuan yang waktu itu menjadi pasangannya tersebut telah tinggal bersama. Mereka hidup bersama. Dia mendukung perempuan itu, termasuk dalam hal keuangan. Weissenberg membantunya menjalani kehidupan baru yang baik. Sedikit demi sedikit, kehidupan mereka berkelindan. Mereka punya apartemen bersama, rekening bank bersama, kehidupan sehari-hari bersama.

“Kejadiannya dimulai sewaktu kami pergi ke hotel saat berlibur dan keinginannya tidak terpenuhi,” kata Weissenberg, “dan dia tidak mau membayar. Saya diharuskan membantunya dan memberi tahu pengusaha hotel tentang betapa buruknya tempat itu. Dan saya tidak melakukannya karena saya malu kalau sampai harus merendahkan pengusaha hotel itu. Alih-alih, saya duduk di dalam mobil dan membiarkan dia protes. Dan ketika dia kembali, ada tamparan dan teriakan. Lalu saya berpikir: ‘Fiuh, jangan sekali-sekali berani mengabaikan keinginannya.’”

Tentu saja, pacarnya itu punya pembenaran sendiri atas kelakuannya. Masa kecilnya sulit. Tanpa kasih sayang. Tanpa hubungan yang stabil. Dan ketergantungan emosional kepada Weissenberg terus tumbuh selama bertahun-tahun.

Korban perlahan diasingkan

“Saya merasa seperti seorang pelayan yang selalu harus menyenangkannya. Ini selalu jadi prioritas utama….  Sudah ditentukan sebelumnya, buah mana yang dia inginkan dan bagaimana cara memetiknya, bagaimana penyajiannya. Dan jika itu tidak dilakukan dengan benar, buah itu akan melayang ke kepala Anda.” 

Iklan layanan pengaduan kekerasan terhadap laki-laki di Jerman.Foto: MHKBG NRW/OBprod - stock.adobe.com

Ekspektasi dari pasangannya pun kian meningkat. Seiring juga meningkatnya kekerasan. Tami Weissenberg pernah harus dilarikan ke rumah sakit karena luka-luka dan patah tulang. Namun dia tidak melawan balik. Tidak menyerang balik. Bertahun-tahun dia telah berharap bahwa suatu saat, pasangannya itu akan tahu bahwa yang telah dia lakukan itu salah.

“Saya terus-menerus berada di bawah tekanan selama 24 jam setiap hari.… Saya selalu sibuk. Tidak ada lagi waktu untuk menyendiri, untuk merefleksikan kondisi saya.” Harapan bantuan juga semakin berkurang. Pacarnya mengontrol kontak sosial Weissenberg. Ia menghindari kontak dengan orang-orang yang mungkin memperhatikan terjadinya kekerasan, termasuk keluarga mereka sendiri.

Kurang didengar masyarakat

Di Jerman saja, dalam satu tahun setidaknya ada 26.000 atau lebih pria yang secara resmi tercatat sebagai korban. Tidak banyak orang yang percaya bila ada laki-laki yang berkata “Saya dipukuli oleh istri saya.” Karena itu laki-laki rentan menjadi korban.

Fakta ini didukung oleh penelitian ilmuwan Elizabeth Bates dari Universitas Cumbria di Inggris. “Di televisi dan program komedi, kekerasan terhadap laki-laki adalah bahan humor. Kita bisa menertawakan kekerasan yang dilakukan perempuan terhadap laki-laki, tetapi ini membawa konsekuensi. Ada sejumlah hal yang mencegah para lelaki untuk mencari bantuan. Salah satunya adalah ketakutan bahwa mereka tidak akan dipercaya. Dan cara media melaporkan kekerasan dapat memengaruhi rasa takut itu.” 

Jenis kekerasan yang dialami para lelaki ini juga beragam. Yang paling umum adalah kekerasan ringan: Menurut studi percontohan tahun 2004 oleh Kementerian Federal Jerman untuk Keluarga, satu dari tiap enam laki-laki di Jerman mengaku pernah didorong oleh istrinya. Sepuluh persen pernah ditampar ringan, “ditendang hingga kesakitan”, atau dilemparkan sesuatu yang dapat melukai.

Namun yang paling sering dilaporkan oleh kaum lelaki adalah kekerasan psikologis; pasangan mereka membatasi kontak sosial karena cemburu. Rekan penulis studi tersebut, Ralf Puchert, melaporkan bahwa para perempuan juga mengontrol pasangannya, mempermalukan atau menghinanya.

Para pria ini juga mengatakan bahwa mereka pernah mengalami kekerasan dalam suatu hubungan setidaknya sekali dalam hidup mereka - mulai dari didorong hingga kekerasan parah, ujar Puchert. “Dalam sebuah hubungan, laki-laki lebih jarang mengalami kekerasan parah daripada perempuan, tetapi bukan berarti ini adalah kasus yang jarang terjadi.”

Fenomena global

Angka-angka statistik juga menunjukkan bahwa kaum laki-laki di seluruh dunia punya pengalaman serupa. Menurut laporan resmi di Meksiko, sekitar 25 persen dari korban KDRT adalah laki-laki.

Di Kenya, Nigeria, atau di Ghana, pengangguran dan kemiskinan sering jadi sebab serangan terhadap pasangan. Di kota-kota besar sering ada bantuan konseling bagi para laki-laki, tapi tidak demikian keadaannya bagi mereka yang tinggal di pedesaan.

Namun keadaan ini perlahan berubah. Di Jerman saat ini telah ada layanan bantuan bagi laki-laki yang menjadi kekerasan dalam hubungan domestik. Saluran ini dibiayai oleh dua negara bagian federal terbesar, yakni Bayern dan Nordrhein-Westfalen (NRW).

“Fakta bahwa di sini kami berbicara dengan mereka yang secara langsung menjadi korban adalah hal yang spesial,” ujar Andreas Haase dari pusat layanan pengaduan man-o-mann di kota Bielefeld, NRW.

“Para laki-laki ini mencari tempat di mana mereka dapat didengar dan di mana mereka tidak memiliki perasaan: Saya akan disalahkan lagi.”

Peminat layanan bantuan ini ternyata cukup besar. Setiap minggunya, ada belasan laki-laki yang menelepon dan meminta bantuan. Seperti Tami Weissenberg, para penelepon menemukan diri mereka dalam situasi yang sepertinya tidak ada harapan.

“Banyak pria yang menelepon takut akan adanya perubahan. Dan mereka berpikir: Jika saya pergi sekarang, istri saya benar-benar akan membuat saya tamat.” Seringkali mereka adalah para ayah yang takut kehilangan kontak dengan anak-anak mereka jika mereka keluar dari hubungan yang penuh kekerasan.

Definisikan kembali makna menjadi ‘penolong’

Masyarakat masih menganggap ‘kepahlawanan kaum lelaki’ sebagai elemen penting maskulinitas, ujar analisis kriminolog Inggris Antony Whitehead. Sebagai akibatnya, “pria yang mengalami konflik atau bahaya harus mengatasi ketakutan mereka sendiri guna mencegah anggapan bahwa mereka kurang jantan.”

Para peneliti dan terapis setuju bahwa lelaki harus dibebaskan dari penjara imajiner tradisional tentang maskulinitas, dan bahwa mereka perlu belajar bahwa mereka tidak sendirian. Saluran bantuan bagi laki-laki Bielefeld adalah upaya pertama dan penting yang memungkinkan laki-laki untuk mengakui bahwa mereka telah menjadi korban.

Biasanya, bagi para lelaki, pengakuan itu saja sudah sangat melegakan.

Ed.: ae/gtp 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait