Regulasi Dinilai Tak Cukup Redam Kekerasan Seksual di Kampus
17 November 2021Kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkunga perguruan tinggi kian mencuat. Satu demi satu terungkap kasus yang terjadi di beberapa perguruan tinggi di Indonesia.
Salah satunya, Bunga (28), bukan nama sebenarnya, bercerita 10 tahun lalu pernah dilecehkan oleh salah satu dekan di universitas tempat ia kuliah. Seorang dekan pernah menegurnya di depan ratusan mahasiswa hanya karena ia memakai jeans dan kaos saat ke kampus.
"Hei Mba, yang pakai baju ketat, nanti bisa diperkosa lho di angkot," ujar Bunga menirukan dekan tersebut.
Kala itu, Bunga merasa sangat marah karena baginya itu merupakan hal yang tidak etis dikatakan seorang dekan. Namun ia hanya bisa berpikir maklum. Mungkin karena ia berkuliah di salah satu perguruan tinggi negeri Islam, sehingga ada aturan berbusana ke kampus.
"Bagi saya itu sudah merupakan salah satu pelecehan seksual. Dia menilai seseorang layak dan tidak layak diperkosa hanya kerena pakaian. Menurut saya itu tidak etis," kata Bunga kesal.
Ia juga menyaksikan seorang teman didiskriminasi oleh seorang dosen. Melati, teman Bunga itu terpaksa mendapatkan nilai jelek hanya karena menolak ajakan dosen tersebut untuk berjalan-jalan.
Rawan terjadi di 'tempat aman'
Profesor Studi Islam dan Gender dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Jati Bandung, Nina Nurmila, mengatakan kekerasan seksual merupakan tindakan merendahkan derajat manusia yang berakibat kesengsaraan atau menyebabkan penderitaan korban secara fisik, seksual, dan psikologis.
Ia mengakui kekerasan seksual banyak terjadi justru di lingkungan kehidupan sehari-sehari seperti misalnya dalam rumah tangga, komunitas, maupun lembaga pendidikan, termasuk perguruan tinggi.
"Tempat yang seharusnya menjadi tempat teraman dan mendapatkan perlindungan justru paling rawan terjadi. Pelaku bisa siapa saja termasuk orang tua, atasan, dosen, atau mahasiswa," kata Profesor Nina Nurmila kepada DW Indonesia.
Fenomena gunung es
Berdasarkan data Komnas Perempuan, jumlah pelaporan kekerasan seksual terhadap perempuan sangat tinggi. Pada 2020 terdapat 2.945 laporan yang tercatat. Sementara selama 9 tahun terakhir, Komnas Perempuan mencatatkan setidaknya ada 45.069 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan.
"Banyak kasus kekerasan seksual terjadi di kampus namun disembunyikan atas nama baik kampus. Fenomena ini seperti gunung es karena angka tersebut bisa saja lebih besar dari yang terlaporkan, banyak yang tidak berani melapor," ujar Profesor Nina.
Kasus kekerasan seksual kembali menjadi sorotan baru-baru ini lantaran seorang mahasiswi Universitas Riau mengaku mengalami pelecehan seksual oleh dosen pembimbing skripsinya. Ia dicium pipi dan keningnya oleh sang dosen saat bimbingan skripsi. Korban juga mengaku dipegang pundaknya oleh dosen tersebut.
Tak terima dituduh, dosen itu melaporkan balik sang mahasiswi dan menuntutnya Rp10 miliar karena mencemarkan nama baik. Saat ini, kasus tersebut masih dalam tahap penyelidikan oleh Kepolisian Riau.
Profesor Nina Nurmila menyayangkan, selama ini perguruan tinggi cenderung menutup diri dan berpihak pada pelaku dengan meredam atau menyembunyikan terjadinya kasus demi menjaga nama baik kampus. Padahal, ujarnya, meredam laporan korban seolah justru semakin memberikan lampu hijau kepada pelaku untuk terus melakukan kekerasan seksual.
"Dampak kekerasan seksual bagi korban sangat banyak mulai dari kesehatan fisik, psikis, dan relasi sosial. Belum lagi, ujar dia, jika korban memiliki impian besar, maka dampak kekerasan seksual terhadap korban adalah menghancurkan hidup seseorang," kata dia.
Kekhawatiran terbesar mahasiswa dan dosen perempuan
Guru Besar Kajian Gender UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Profesor Alimatul Qibtiyah Ph.D., mengatakan masyarakat Indonesia hampir 70% gemar menyangkal dan cenderung menyalahkan korban.
"Masyarakat Indonesia mayoritas masih menyalahkan perempuan yang diperkosa adalah karena memakai pakaian yang terbuka, atau karena keluar malam sendiri. Faktanya adalah, pelaku kekerasan seksual tidak mengenal model pakaian yang dikenakan korban," katanya.
Berdasarkan penelitian, dosen pria dan mahasiswa pria tidak menyebut kekerasan seksual sebagai masalah di kampus. Sementara banyak mahasiswi dan dosen perempuan yang justru menyatakan kekhawatiran terbesar mereka adalah kekerasan seksual di kampus. Mereka menganggap pelecehan seksual merupakan pelanggaran etika yang paling buruk.
"Dari perspektif agama pun, perempuan itu bukan objek seksual, kenapa tidak dilihat dia perempuan sebagai profesor, pendaki, koki, penceramah, bukan hanya dari segi seksualnya saja. Cara berpikir masyarakat Indonesia itu perlu dipertanyakan," ujar Profesor Alimatul Qibtiyah.
Hal senada disampaikan Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani. Menurutnya, korban yang kerap disalahkan oleh masyarakat sering menghadapi pengucilan bahkan sampai pengusiran dari tempat tinggal karena dianggap menodai komunitas masyarakat itu.
"Hambatan korban biasanya takut disalahkan, takut tidak dipercayai, atau takut dilaporkan balik dan tidak mendapat dukungan," ungkap Andy.
"Kalau situasi di kampus biasanya korban disalahkan, disudutkan, diminta damai, atau ditantang melapor ke polisi jika berani. Sementara kondisi korban tidak yakin bahwa yang dialaminya adalah kekerasan seksual, menyalahkan diri sendiri, dan merasa takut," ujarnya.
Menurut data Komnas Perempuan, setiap 2 jam, ada 3 perempuan di Indonesia yang mengalami kekerasan seksual. Selain itu, ujar dia rata-rata 30% kasus yang dilaporkan adalah kekerasan seksual.
Pengaduan langsung ke Komnas Perempuan juga terus meningkat tiap tahunnya. Sebanyak 40% dari 1.419 kasus yang dilaporkan tahun 2019 merupakan kekerasan seksual. Sedangkan tahun 2020 meningkat menjadi 53% dari 2.389 kasus.
Bahkan menurutnya, dalam penelitian terbaru terdapat 1.011 kasus kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi Islam. Lebih dari 70% masyarakat kampus mengetahui hal tersebut namun tidak bisa menemukan jalan penyelesaian.
Permendikbud Ristek nomor 30 tahun 2021 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual resmi diterbitkan pada 31 Agustus 2021. Beleid ini disebut bertujuan memenuhi hak warga negara atas pendidikan tinggi yang aman. Namun sayang, peraturan ini mendapatkan tentangan dari golongan tertentu yang justru menganggap aturan tersebut melegalkan seks bebas.
Regulasi tidak cukup
Managing Director Center for Women and Gender Studies, Khaerul Umam Noer mengatakan regulasi saja tidak cukup tanpa mengkaji kondisi realitas yang terjadi di lapangan.
Ia pun khawatir tanggung jawab akan dibebankan ke suatu kelompok/institusi untuk menyelesaikan masalah ini. Padahal ini adalah tanggung jawab bersama untuk menjaga marwah kampus agar terhindar dari segala kasus kekerasan seksual.
"Yang paling penting itu bagaimana diaplikasikan di kampus. Jadi regulasi saja tidak cukup harus mereposisi kampus," kata Khaerul Umam Noer yang juga dosen di Program Studi Gender SKSG UI.
Menurut dia, kekerasan dalam bentuk apa pun bukan semata soal fisik dan psikis tapi ketimpangan relasi kuasa. Misalnya, penguasa cenderung lekat dengan budaya kekerasan, atau senioritas di kampus.
"Karena pelaku dekat dengan dekan atau rektor misalnya atau pelaku merupakan dosen senior di kampus, membuat korban tidak bisa melakukan complaint," ujarnya.
Ia menyarankan agar tiap kampus membuat komunitas antikekerasan seksual tempat korban bisa melapor tiap kasus ke sana. Komunitas tersebut, ujar dia, harus mendapat perlindungan dari kampus.
"Yang dilindungi bukan hanya korban, tapi juga saksi dan pelapornya. Ini salah satu cara mendidik civitas kampus, yang ketika tahu ada kasus mereka punya rasa tanggung jawab moral untuk beri tahu hal tersebut. Apakah dia dosen, tenaga pendidik, atau mahasiswa punya tanggung jawab bersama menjaga kampus dari kekerasan seksual, bukan hanya menjaga nama baik kampus," tegas Khaerul Umam Noer. (ae)