1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Gewalt Frauen

25 November 2011

Kekerasan perang secara seksual, khususnya terhadap perempuan dan anak-anak, masih terus menyibukkan Dewan Keamanan PBB. Kini, semakin banyak resolusi dan seorang utusan khusus diharapkan mampu menggerakkan pemerintah.

Foto: AP

"Dari Kongo dan negara dalam situasi perang dan konflik kami mengetahui, bahwa kekerasan seksual adalah senjata yang murah, tidak bersuara dan efektif." Demikian menurut Margot Wallström, utusan khusus PBB dalam perang melawan kekerasan terhadap perempuan. Melalui cara seperti itu, warga di wilayah pedesaan diserang rasa takut dan merasa diteror. Kekerasan seksual biasanya memiliki dampak yang berat dan lama. Juga bagi seluruh masyarakat di negara tersebut.

Berbagai berita tentang pemerkosaan di wilayah perbatasan antara Angola dan Republik Demokratik Kongo membawa Wallström ke Kamako, dekat perbatasan Kongo. Disana, ia bertemu dengan saksi mata dan korban dan melaporkan banyak kasus pemerkosaan terhadap pendatang ilegal dari Kongo yang dilakukan polisi Angola ke pemerintahan di ibukota Luanda. Pada awalnya pemerintah mengelak, dengan mengatakan bahwa ini hanya kasus tunggal. Tetapi kemudian, pemerintah Angola bersedia untuk melakukan sesuatu.

Wallström menjelaskan, "Kami kemudian meninjau struktur komandonya, apakah terorganisir dengan jelas supaya perintah yang diberikan sampai ke pasukan keamanan di sisi Angola. Lagipula kami mendesak, agar dijelaskan dalam rantai komando, bahwa kekerasan dan pemerkosaan dilarang dalam undang-undang Angola, tidak bisa diterima dan tidak boleh terjadi."

Pengadilan militer Kongo yang 'mobil' atau bisa datang ke lokasi kejadian adalah usaha pertama untuk memerangi gelombang kekerasan dan luputnya hukuman bagi pelaku. Usaha yang mulai membuahkan hasil. Hingga kini, 250 vonis telah dijatuhkan. 75 persen adalah kasus pemerkosaan.

Monika Hauser, pendiri organisasi bantuan aktif bagi perempuan 'medica mondial' menganggapnya sebagai langkah penting untuk lebih berfokus pada situasi kehidupan perempuan di kawasan tersebut. "Tidak mungkin untuk menjalankan proses pengadilan di kota, karena saksi mata tidak bisa sampai ke kota. Karena itu jalan yang benar adalah pengadilan yang datang ke mereka. Ke para perempuan di desa yang jauh dari mana-mana."

Namun, tetap saja masih terlalu sedikit pelaku yang dihukum. Konflik senjata di timur Kongo sangat kejam. Para pelaku bahkan disebut sebagai 'biadab' dan 'buas'. Demikian menurut Hauser yang bekerja sama dengan organisasi mitra di Kongo. Dampak bagi kaum perempuan sangat fatal. Pelaku dari 50 persen pemerkosaan adalah tentara. Jika para korban bertahan hidup, maka kondisi mereka tetap mengkhawatirkan.

Berdasarkan penelitian internasional yayasan Thomas Reuter di London, Republik Demokratik Kongo adalah negara kedua paling berbahaya di dunia, diikuti oleh Pakistan, India dan Somalia. Menurut penelitian ini, lokasi yang paling berbahaya bagi kehidupan seorang perempuan adalah di Afghanistan.

Ulrike Mast-Kirchning / Vidi Legowo-Zipperer

Editor : Hendra Pasuhuk

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait