1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kekerasan Terhadap Perempuan di Timor Leste

Ayu Purwaningsih15 September 2008

Tingginya tindak kekerasan rumah tangga di Timor Leste semakin memprihatinkan. Organisasi bantuan perempuan kerap menghadapi kesulitan untuk mendata pasti, karena masih banyak korban tindak kekerasan takut untuk melapor.

Foto: AP

Direktur Forum Komunikasi untuk Perempuan Lorosae, FOKUPERS, Rosa de Sousa mengungkapkan salah tafsir kebudayaan yang campur aduk menjadi salah satu penyebab tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga dianggap sebagai urusan pribadi, bukan kejahatan. Banyak kasus ketika perempuan sudah jauh-jauh keluar dari desanya untuk mengadu, mereka dikirim pulang kembali untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Juga ketika mereka melaporkannya di luar desa.

Istri dianggap sebagai benda milik mereka karena dianggap telah dibeli lewat pertukaran mahar kawin, misalnya hewan ternak seprti kerbau bagi keluarga pihak perempuan. Sehingga banyak suami berasumsi bahwa mereka bukan memukul istri namun memukul ternak. Demikian diungkapkan Koordinator Bagian Hukum Judicial System Monitoring Programme JSMP Maria Agnes Bere: “Ketika laki-laki memukuli istri mereka bilang bahwa tidak kami hanya memukuli kerbau. Itu masih terjadi hingga kini, baik di pedesaan maupun di ibukota.”

Direktur FOKUPERS, Rosa de Sousa mengatakan, padahal sesungguhnya makna tradisi itu adalah untuk saling menghargai antara keluarga perempuan dengan keluarga laki-laki yang diikat tali pernikahan: “Pihak perempuan juga memberikan mahar kawin, jadi seharusnya nilainya sama. Dalam perkembangannya makna tradisi mahar kawin diselewengkan. Perempuan akhirnya seperti dibeli. Bila laki-laki memberi lebih banyak ternak, padahal bukan untuk keluarga inti si perempuan, ayah atau ibunya. Melainkan untuk ipar pamannya, mertua bibinya, keluarga besar lainnya.

Rosa menceritakan banyak perempuan yang menjadi korban tindak kekerasan dalam rumah tangga tak melanjutkannya ke proses hukum karena beberapa implikasi. Diantaranya ketergantungan ekonomi kepada suami yang menjadi pelaku tindak kekerasan.

Koordinator Bagian Hukum Judicial System Monitoring Programme JSMP Maria Agnes Bere menambahkan kesulitan lainnya adalah proses hukum yang dijalankan kerap tak berpihak pada perempuan. Kurangnya aparat hukum, terutama yang punya perhatian untuk hak-hak perempuan memperburuk situasi. Ia membeberkan salah satu kasus korban tindak kekerasan yang setelah memproses hukum dalam jangka waktu yang cukup panjang, namun hasilnya pun tak menggembirakan. Pelaku kekerasan dibebaskan: “Korban memulai memproses hukum sekitar tahun 2005, tahun 2007 keluar keputusannya bahwa pelakunya dibebaskan. Ini sangat berat. Waktu kami memperingati aksi menentang kekerasan terhadap perempuan dan menggelar diskusi, kami mendampingi korban tersebut dan menanyakan secara langsung pada hakim itu mengapa pelakunya dibebaskan, hakim tersebut mengelak dengan berbohong mengatakan bahwa bukan dia yang saat itu menjadi hakim.”

Di beberapa distrik di Timor Leste, lembaga bantuan perempuan FOKUPERS menyediakan rumah aman dan fasilitas perlindungan bagi korban kekerasan dalam rumah tangga lainnya, hingga pendampingan untuk proses hukum.

FOKUPERS dibentuk tahun 1997. Organisasi ini mengkhususkan diri membantu para perempuan yang mengalami korban kekerasan, terutama kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga.(ap)