060611 China Dürre
17 Juni 2011Biasanya, orang-orang yang tinggal di sepanjang sungai Yangtse di Cina bagian tengah khawatir akan banjir yang menghancurkan segalanya, jika sungai itu meluap. Tetapi belakangan ini situasi berbeda. Para petani putus asa. Tanaman-tanaman padi di sawah-sawah mereka sudah menguning.
Kekurangan Air
Tidak terdapat cukup air bagi peternakan ikan. Sebagian besar ikan mati. Bagian tengah dan Cina Selatan saat ini dilanda kekeringan yang paling buruk dalam 50 tahun terakhir. Bahkan warga berusia lanjut di daerah-daerah tersebut belum pernah mengalami periode kekeringan separah itu.
35 juta orang yang tinggal di bagian tengah dan hilir sungai Yangtse kini menderita akibat kurangnya air. Empat juta orang terancam hidupnya karena kekurangan air minum.
Ma Jun, penulis buku berjudul Krisis Air di Cina, yang banyak mendapat perhatian, mengatakan, penyebab utama kekeringan adalah kurangnya hujan belakangan ini. Namun demikian, sejumlah besar tindakan manusia terhadap alam juga menyebabkan rusaknya simpanan air yang alami. Ditambahkannya, "Di sekitar danau-danau sekarang ada lebih banyak ladang. Semua itu tambah parah setelah tanah-tanah kosong di gunakan sebagai lahan untuk bangunan dan daerah industri."
Penyebab Kekeringan
Perusakan alam yang berdampak paling besar di bagian tengah Cina, tidak bisa diragukan, adalah pendirian Bendungan Tiga Ngarai. Sejak tahun 2008, dam raksasa itu membendung air sungai Yangtse.
Sebenarnya Bendungan Tiga Ngarai seharusnya menahan kekuatan air di sungai terbesar Cina. Jika jumlah air banyak, danau buatan sepanjang 600 km di belakang bendungan menampung air yang berlebihan. Jika musim kering datang, air dari danau itu dialirkan di bagian tengah dan hilir Yangtse.
Tetapi menurut Ma Jun, Bendungan Tiga Ngarai semakin memperburuk kekeringan. Pasir dan batu-batu, yang dibawa air sungai, tersangkut di dinding bendungan. Karena sedimen-sedimen ini tidak ada di bawah dam, dasar sungai di situ menjadi lebih dalam. Oleh karenanya, tinggi air berkurang. Danau-danau, yang sebelumnya mendapat air dari sungai, kini airnya jadi mengalir ke Yangtse, demikian dijelaskan Ma Jun.
Bukan Keuntungan tapi Masalah
Sekarang, bahkan pemerintah Cina telah mengakui, bahwa Bendungan Tiga Ngarai menyebabkan banyak masalah besar. Dalam sebuah laporan kantor berita Cina, Xinhua dikatakan, "Beberapa masalah yang ditimbulkan dam sudah nampak saat rencana baru dibuat. Pencarian solusi diundur hingga bendungan mulai berfungsi."
Pemerintah di Beijing mengharapkan sangat banyak keuntungan dari bendungan tersebut. Pembangkit listrik tenaga air di Bendungan Tiga Ngarai menghasilkan energi seperti tenaga yang dihasilkan 10 instalasi nuklir. Lewat danau dari sungai yang dibendung, bahkan kapal-kapal yang biasanya berlayar di laut dapat masuk ke daerah-daerah pelosok Cina.
Tetapi ongkos bendungan itu lama-kelamaan melampaui manfaatnya. Itulah kritik yang dilontarkan insinyur dan tenaga ahli pada Bendungan Tiga Ngarai, Wang Weiluo. "Itu menunjukkan, penjelasan yang tertera dalam ijin yang diberikan bagi proyek tersebut, bahwa bendungan itu lebih berguna daripada merugikan, ternyata salah. Jika kita menilik ongkos yang dikeluarkan dari sekarang hingga tahun 2020, bagi proyek-proyek yang menjadi konsekuensi kesalahan itu, jumlahnya lebih dari 10 Milyar Euro."
Perlu Waktu Lama untuk Pulih
Kekeringan yang sedang dialami sekarang saja telah menyebabkan kerugian ekonomi lebih dari 150 juta Euro. Menurut laporan media Cina, peternakan ikan di daerah itu menderita kerugian paling besar, sekitar 90% nya. Seorang pegawai pemerintah di kota Honghu, yang dilanda kekeringan mengatakan dalam wawancara dengan kantor berita Inggris, Reuters, waktu selama sedikitnya 10 tahun diperlukan, hingga daerah itu pulih kembali dari kerusakan ekologis yang diakibatkan kekeringan.
Akibat kekeringan, pemerintah menetapkan bahwa aliran air dari Bendungan Tiga Ngarai ditingkatkan 20%. Tetapi ini mengakibatkan jumlah listrik yang dihasilkan sangat berkurang. Padahal tahun 2011 ini, Cina berjuang melawan krisis energi terbesar dalam beberapa tahun terakhir.
Christoph Ricking/Marjory Linardy
Editor: Yuniman Farid