Dari taman di Versailles hingga pinggiran kota Amerika, mengapa halaman rumput yang terawat menjadi bagian penting dari identitas budaya kita?
Iklan
Bagi sebagian orang, rumput mungkin menjadi bagian halaman yang menjengkelkan karena perlu rutin dipotong agar halaman rumah tetap rapih. Namun, rumput bisa terasa seperi oase kecil yang kita miliki. Sepanjang sejarah, rumput menjadi simbol kuat yang mengartikan keteraturan dan kekayaan.
Ketika Raja Prancis Louis XIV yang juga dikenal sebagai "Raja Matahari” pindah ke Istana Versailles pada tahun 1661, ia menugaskan arsitek lanskap Prancis yang terkenal, yakni Andre Le Notre untuk mendesain taman-taman di istana tersebut.
Le Notre memahami bahwa taman-taman yang memiliki halaman rumput yang rapi ini memiliki makna politis: Inilah cara raja mengomunikasikan bahwa semua berjalan dengan baik dan terkendali.
Enggak hanya itu, Le Notre juga secara khusus menciptakan "tapis vert” atau "karpet hijau”, ini adalah halaman rumput yang menghubungkan istana dan taman. Namun, rumput tersebut bukan untuk berjalan di atasnya atau untuk piknik, tetapi hanya untuk hiasan, simbol status, simbol kekuasaan dan penaklukan.
Gagasan tentang hubungan manusia dengan alam berubah pada abad ke-17 di Eropa. Seorang filsuf asal Prancis, Rene Descartes berpendapat bahwa alam yang merepresentasikan tubuh manusia terpisah dari pikiran serta akal budi manusia. Oleh karena itu, halaman rumput menjadi simbol dari pikiran rasional yang menjajah tubuh yang tidak rasional. Dan gagasan tersebut bertahan selama berabad-abad.
Taman Seperti Lukisan
Taman Dessau-Wörlitz di negara bagian Sachsen-Anhalt adalah contoh penataan taman besar cara Inggris di Jerman. Taman itu dibuat seorang bangsawan dan pionir pertamanan.
Foto: picture-alliance/dpa
Bangsawan dan Tamannya
Di lahan seluas 142 km persegi, bangsawan Leopold Franz dari Anhalt-Dessau menciptakan taman indah yang ketika itu belum ada bandingannya di Jerman. Ia membuatnya selama 40 tahun. Taman yang terletak di tepi sungai Elbe memadukan elemen alam, arsitektur dan seni rupa. Hasilnya: karya seni yang mempesona sampai sekarang.
Foto: picture-alliance/dpa
Alam dan Kebebasan
Dalam perjalanan pendidikan, bangsawan itu mengenal taman-taman Inggris, yang luas dan didesain dekat dengan alam. Seperti itulah taman yang diinginkannya, karena pengertian akan alam dan manusia cocok dengan pandangan hidupnya. Ia pendukung paham Aufklärung (pencerahan). Penghargaan bagi individu juga tampak dalam penataan tamannya. Ini taman tanpa pagar, terbuka bagi semua bawahannya.
Foto: picture-alliance/dpa
Prinsip Toleransi "Hijau"
Seberapa seriusnya ia menanggapi paham Pencerahan terutama terlihat di sini. Sudut pandang ini menyatukan gereja di sebelah kanan serta sinagoge di kiri, dan melambangkan toleransi keagamaan. Sejak 2002, taman ini masuk warisan budaya dunia UNESCO. Antara lain karena penerapan prinsip humanistik pada desain taman.
Foto: KsDW Bildarchiv/Heinz Fräßdorf
Pemandangan dari Sungai
Bangsawan Leopold Franz menata tamannya dari sungai Elbe. Ia menggunakan anak sungai yang mati, danau dan kanal penghubung sebagai elemen desain. Dulu dan sekarang, naik perahu di sungai adalah cara romantis menikmati taman. Sebuah perjalanan dengan perahu lamanya 45 menit dan menawarkan pemandangan istimewa.
Foto: picture-alliance/dpa
Jembatan sebagai Karya Seni
Di taman Wörlitz terbentang 19 jembatan. Masing-masing punya desain tersendiri dan jadi gambaran sejarah dan seni pembuatan jembatan. Contohnya, ada jembatan dari besi, jembatan dari rantai yang meniru gaya Asia, dan Weisse Brücke atau jembatan putih (foto). Ini adalah tiruan jembatan di Kew Gardens dekat London.
Foto: picture-alliance/dpa
"Jantung" Taman
Istana Wörlitz jadi bangunan pertama di taman, dibuat berdasarkan rancangan arsitek Friedrich Wilhelm von Erdmannsdorff. Istana dibuat di jaman Barok yang penuh hiasan dan kemewahan. Sehingga istana tersebut, yang dibuat dengan gaya rumah desa, dianggap sangat sederhana. Sekarang istana Wörlitz dianggap penanda awal masa arsitektur Klasik.
Foto: picture-alliance/dpa
'Bella Italia' di Wörlitz
Pulau Stein dengan miniatur gunung Vesuvius serta vila Hamilton adalah pencerminan kesenangan atas Italia. Pulau dengan gua-gua dan jalan beratap melengkung ini adalah tiruan Villa Adriana di Tivoli, dekat Roma. Tetapi vila Hamilton diperuntukkan bagi Duta Besar Inggris dan peneliti Vesuvius, Sir Hamilton, dan mencontoh pemukiman musim panasnya di teluk Napoli.
Foto: picture-alliance/dpa
Sekarangpun Masih Jadi Atraksi
Pengunjung bahkan bisa menikmati atraksi meletusnya gunung berapi Vesuvius. Ini atraksi yang sekarangpun masih mengikuti cara pembuatan seperti pada abad ke-18. Atraksi biasanya dimulai pada malam musim panas dengan berperahu di sungai Elbe, kemudian mencapai puncaknya dengan pertunjukan kembang api. Atraksi ini dipertunjukkan terakhir kali tahun 2012.
Foto: picture-alliance/dpa
"Dua Luise"
Rumah bergaya Gotik ini adalah tempat tinggal pribadi bangsawan Leopold Franz, yang ikut merancang. Tapi di sini ia tidak tinggal dengan istrinya Henriette Wilhelmine Luise, melainkan dengan anak tukang kebunnya, Luise Schoch, beserta tiga anak mereka. Ketika menikah, ia berdiri di sebelah kiri Leopold Franz, sehingga menjadi "istri keduanya" dan diterima masyarakat pada zaman itu.
Foto: picture-alliance/dpa
Alam Tanpa Batas
Perpaduan tanah pertanian dan pengembangbiakan hewan di taman sesuai dengan contoh dari Inggris. Taman menyatu dengan alam di sekelilingnya. Tidak ada pagar. Keinginan bangsawan untuk memadukan yang berguna dan yang cantik terwujud dengan sempurna, dan banyak ditiru di Jerman dan Eropa.
Foto: picture-alliance/dpa
Taman untuk Semua
Taman bangsawan ini adalah hobi yang mahal, tapi akhirnya berperan penting bagi pengembangan seni pembuatan taman di Jerman. Biaya perawatan juga besar. Tapi seperti dulu, untuk memasuki taman tidak perlu bayar, dan orang bisa masuk kapan saja. Seperti keinginan bangsawan Leopold Franz, 200 tahun setelah dibuat, taman terbuka bagi semua orang.
Foto: picture-alliance/dpa
11 foto1 | 11
Rumput Tanaman yang Paling Banyak Ditanam di Amerika
Di Amerika Serikat, rumput di halaman rumah menjadi sangat populer hingga mesin pemotong rumput pertama yang ditarik oleh kuda dipatenkan pada tahun 1830.
Oase rumput kecil ini awalnya hanya terbatas pada halaman belakang, namun seiring berjalannya waktu, hamparan rumput yang terawat dengan baik juga ditampilkan dengan bangga di halaman depan rumah-rumah di Amerika Serikat, seperti layaknya taman-taman terdahulu milik bangsawan Prancis dan Inggris pada abad ke-20.
Halaman depan rumah tersebut menjadi semacam ruang pameran, sebuah simbol kekuasaan terhadap alam yang harus tetap rapi dan alami.
Saat Generasi Muda Ibu Kota Rindukan Ruang Hijau
Bagi sebagian penduduk Jakarta, taman kota jadi alternatif untuk melepas lelah dan menikmati ruang terbuka. Bagi yang lain, mereka bertekad untuk sukses bertani di ibu kota.
Foto: Indradona N./DW
Paru-paru kota
Tumbuhan dan tanaman hijau bisa menyerap kadar karbondioksida, menambah oksigen, menurunkan suhu, dan menjadi area resapan air. Karenanya Jakarta masih butuh banyak taman kota untuk perbaiki kualitas udara. Situs IQAir pada Juli 2022 melaporkan Jakarta berada pada peringkat satu kota dengan kualitas udara terburuk di dunia.
Foto: Indradona N./DW
Jakarta minim ruang terbuka Hhijau
Menurut situs Informasi Ruang Terbuka Hijau (RTH) Provinsi DKI Jakarta, luas RTH Jakarta mencapai 33,3 km2, ini baru mencapai 5,1% dari total luas wilayah Jakarta yakni 661,5 km2. Namun UU Tentang Penataan Ruang mengatur proporsi RTH pada wilayah kota paling sedikit 30% dari luar wilayah kota. UU tersebut mengatur lebih detil dan menyatakan proporsi RTH publik di wilayah kota minimal 20%.
Foto: Indradona N./DW
Bercengkerama di taman
Taman Suropati dan Taman Situ Lembang menjadi salah satu rujukan warga DKI Jakarta untuk menikmati waktu di sore hari. Warga memanfaatkan taman-taman publik ini untuk bertukar cerita dengan orang yang dikasihi sembari menikmati semilir angin dan suasana di taman.
Foto: Indradona N./DW
Jadi petani urban
Selain menikmati taman, cara untuk lebih dekat dengan alam adalah menjadi petani urban. Setiap orang bisa menjadi petani urban. Sekarang sudah banyak anak muda yang menjadi petani urban bahkan memilih tinggal di desa dan melakukan praktik permakultur. Pemerintah perlu berinovasi agar generasi muda lebih banyak lagi yang tertarik menjadi petani muda.
Foto: Indradona N./DW
Mitos 'tangan panas'
Orang yang gagal berkebun kerap dicap 'tangan panas' karena tanaman yang dirawat tidak tumbuh atau mati. Bagi Adam Yanuar dari Kelompok Tani Hutan Kumbang hal itu hanyalah mitos. Asal paham teknik berkebun yang benar, tanaman tidak akan mati, ujarnya.
Foto: Indradona N./DW
Masih ada yang ingat apa itu okulasi?
Teknik meningkatkan kualitas tanaman dengan menempelkan mata tunas pucuk tanaman pada irisan batang bawah tanaman yang lain. Menurut Adam, teknik ini dapat menciptakan varietas tanaman baru 21 hari setelah proses penempelan. Okulasi sangat tergantung pada cuaca, kecukupan air, dan pucuk tanaman yang segar. Dari 100 usaha, tingkat gagal sekitar 20%.
Foto: Indradona N./DW
Buat pupuk kompos sendiri
KTH Kumbang menerima sampah daun dan ranting kecil untuk diolah menjadi pupuk kompos. Setelah dedaunan dan ranting dicacah, langkah selanjutnya adalah mencampur kotoran sapi dan difermentasikan selama 30 hari. Kemudian olahan tersebut diayak untuk memisahkan pupuk dari bahan lainnya.
Foto: Indradona N./DW
Peduli lingkungan bukan hanya cari untung
Bagi Adam, bertani sangat penting di Jakarta. Paling tidak bisa menahan laju dampak perubahan iklim. Ia menilai bahwa masih perlu edukasi yang meluas ke masyarakan untuk bisa bersama-sama memperbaiki kualitas udara dan air di Jakarta. (ae)