Musim kemarau berkepanjangan mulai menyebabkan kelangkaan air bersih di sejumlah daerah. Akibatnya pasokan air untuk pertanian dan penduduk tersendat. Namun pemerintah optimis, volume air yang ada mencukupi.
Iklan
Kemarau panjang di Indonesia diyakini bakal menghasilkan kelangkaan air bersih dan gagal panen. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memperkirakan musim kemarau akan berlangsung hingga September.
Di Jawa Tengah saja sekitar 1.235 desa sudah mengalami kelangkaan air. Debit air di setidaknya tiga waduk di provinsi tersebut saat ini sudah berada di level paling rendah. Akibatnya pasokan air untuk sistem irigasi dan kebutuhan warga ikut tersendat.
"Debit air menyusut drastis di enam waduk di Kembangan dan Brambang di Sragen, Krisak di Wonogiri, Cacaban di Tegal, Gunungrowo di Pati dan Lodan di Rembang," kata Prasetyo Budhie Yuwono, Kepala Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) Jawa Tengah kepada Jakarta Post.
Namun demikian Kementerian Pertanian membantah isu musim kemarau melumpuhkan sektor pertanian. Direktur Perlindungan Tanaman Pangan, Yanuardi, mengklaim lahan pertanian yang mengalami kekeringan hanya seluas 5.379 ha. "Jumlah ini hanya 0,11% dari total keseluruhan areal tanam pada periode yang sama 4.869.051 ha," katanya seperti dilaporkan Warta Kota.
Air di Bumi Berasal dari Asteroid
Data yang dikirim wahana peneliti Rosetta dari komet Churyumov-Gerasimenko mengindikasikan, air di Bumi kemungkinan besar berasal dari asteroid. Bukan dari komet seperti dugaan selama ini.
Foto: DLR
Asteroid Pembawa Air ke Bumi
Air di Bumi diduga keras berasal dari asteroid yang jatuh ke permukaan Bumi sekitar 4 milyar tahun lalu. Peneliti Eropa menyatakan, dugaan semula bahwa air di bumi berasal dari komet terbukti salah. Air dari komet umurnya jauh lebih tua dan lebih berat ketimbang air yang eksis saat ini. Sementara kandungan isotop hidrogen pada air di asteroid mirip dengan levelnya pada air bumi saat ini.
Foto: picture alliance/dpa
Data dari Philae dan Rosetta
Indikasi bahwa air di Bumi berasal dari asteroid bukannya dari komet dikirimkan wahana peneliti antariksa Rosetta dan robot pendarat Philae yang berhasil didaratkan di permukaan komet Churyumov-Gerasimenko. Komet terbentuk di awal kelahiran tata surya, sementara asteroid terbentuk jauh setelah itu. Air di bumi diketahui berasal dari zaman yang lebih muda dari umur tata surya.
Foto: ESA via Getty Images
Air Purba Masih Tersembunyi
Para pakar astrofisika Eropa memperkirakan, volume air yang dibawa asteroid saat menghujani bumi yang masih muda, jauh lebih banyak ketimbang volume air yang kasat mata saat ini. Diduga, sebagian air purba itu masih tersedimen di dalam lapisan batuan atau di es abadi kedua kutub bumi.
Foto: picture-alliance/dpa
Elang Laut Memburu Air di Asteoid
Untuk makin menegaskan indikasi, bahwa asteroid adalah pembawa air yang memicu kehidupan di Bumi, badan antariksa Jepang meluncurkan wahana penelitian Hayabusa2 atau Elang Laut yang dilengkapi pendarat asteroid MASCOT (Mobile Asteroid Surface Scout) tanggal 30 November 2014 dari Tanegashima Space Centre. Program penerbangan ke asteroid bernama 1999 JU3 akan memakan waktu hingga 4 tahun.
Foto: Akihiro Ikeshita
Kapsul Riset Permukaan Asteroid
Kapsul pendarat MASCOT dilengkapi empat instrumen untuk meneliti permukaan asteroid. Robot pendarat akan mengukur temperatur dan medan magnet asteroid, menganalisa komposisi material serta melacak kandungan mineral dan komponen lain yang terkandung di permukaan asteroid. Sebuah kamera khusus akan mengambil gambar kontur dan bentuk permukaan benda langit itu.
Foto: DLR
Instrumen Riset Presisi Tinggi
Para insinyur dan peneliti di pusat antariksa Jerman-DLR mengecek tahap akhir semua perlengkapan MASCOT berupa instrumen penelitian canggih dengan presisi tinggi menjelang peluncuran ke asteroid. Sebuah kapsul lain akan membawa sampel batuan dari asteroid kembali ke bumi.
Foto: DLR
Asteroid Yang Mengandung Air
Sejumlah asteroid menunjukkan indikasi adanya air. Seperti ilustrasi asteroid 24 Themis yang terbentuk akibat tabrakan dua benda langit sekitar dua milyar tahun lalu. Kebanyakan asteroid bersifat statis tapi sejumlah lainnya memiliki ekor seperti komet yang berasal dari sublimasi air dalam bentuk es pada permukaaannya.
Foto: picture-alliance/dpa
Asteroid Dekat Bumi
Kelompok asteroid dekat bumi termasuk 1999 JU3 yang akan diteliti Hayabusa2 terbentuk sekitar empat milyar tahun lalu dari debu dan gas di dalam tata surya. Obyek kosmis ini terjebak diantara orbit Yupiter dan Mars dan kemudian membentuk sabuk asteroid di wilayah langit tersebut. Dengan meneliti asteroid diharapkan bisa dilacak asal-usul air dan kehidupan di bumi.
Foto: NASA/JPL/JHUAPL
Komet Bisa Memicu Kehidupan
Walau diduga air di bumi berasal dari asteroid, komet yang merupakan benda langit purba seumur tata surya, diduga juga memiliki kontribusi besar bagi munculnya kehidupan di bumi. Komet kaya kandungan unsur karbon yang bersama hidrogen dan oksigen bisa membentuk senyawa organik yang esensial bagi munculnya kehidupan.
Foto: picture-alliance/AP Photo
9 foto1 | 9
Hal serupa diungkapkan pemerintah provinsi Jawa Tengah. Menurut Kepala Bidang Budidaya Tanaman Pangan, Dinas Pertanian Jawa Tengah, Nuswantoro SP, kondisi volume air saat ini masih lebih tinggi ketimbang yang diperkirakan pemerintah. Pemprov Jateng awalnya meramalkan volume air di 41 waduk akan berada di kisaran 1 milyar kubik meter. Namun saat ini volume air masih sebesar 1,2 milyar kubik meter.
Meski demikian kelangkaan air bersih dilaporkan bukan cuma dari Jawa Tengah, tetapi juga Karawang, Cianjur, Sukabumi, Bantul dan Bima di Nusa Tenggara Barat.
Musim kemarau juga ditengarai berdampak buruk pada budidaya ikan tawar. Di Cililin, Bandung, saja peternak melaporkan sebanyak 30 ton ikan tawar mati lantaran pasokan air yang tidak maksimal.
Laut Aral Bangkit Dari Kematian
Dulu ombak setinggi tujuh meter pernah bergemuruh di Laut Aral. Kini danau raksasa di jantung Asia Tengah itu meranggas dan menjelma menjadi gurun pasir. Tapi belakangan air kembali menggenang dan membawa serta kehidupan
Foto: Reuters/S.Zhumatov
Matinya Danau Raksasa
Hingga beberapa dekade silam Laut Aral masih tercatat sebagai danau terbesar ke empat di dunia. Namun sejak 1960-an kawasan itu meranggas dan perlahan berubah menjadi gurun. Kematian danau yang luasnya mencapai dua kali lipat wilayah Jawa Tengah itu dianggap sebagai salah satu bencana lingkungan paling parah dalam sejarah manusia.
Foto: Reuters/S.Zhumatov
Bangkit dari Kubur
Namun kini Laut Aral bangkit dari kematiannya. Air mulai membasahi sebagian kawasan dan ikan kembali meramaikan ekosistem lokal. Bibir pantai yang tadinya berada 100 kilometer dari kota pelabuhan Aral, kini hanya berharak 20-25 kilometer bergantung pada kondisi cuaca. Sejumlah desa nelayan juga kembali bermunculan di sekitar danau.
Foto: ESA/Copernicus Sentinel data 2014/2015
Bermandi Air, Memanen Ikan
Kembalinya air dan ikan ke Laut Aral turut memicu kebangkitan industri perikanan lokal. Populasi ikan mengalami lonjakan pesat terutama sejak kadar garam pada air mulai jauh berkurang. Situasi tersebut juga meringankan beban perekonomian. Kini kota Aral dipenuhi pabrik pengolahan ikan. Sebagian kecil penduduk juga mulai berdagang perlengkapan perikanan seperti suku cadang mesin perahu.
Foto: Reuters/S.Zhumatov
Kejahatan Lingkungan Era Sovyet
Kisahnya berbeda pada beberapa dekade silam. Saat itu laju penyusutan Laut Aral mencapai level tertinggi. Danau raksasa itu hancur oleh program perekonomian Uni Sovyet yang sejak 1940an mengalihkan air dari dua sungai yang menopang Laut Aral untuk keperluan industri kapas dan irigasi pertanian. Hasilnya sejak 1960an permukaan Laut Aral menyusut tiga meter setiap tahun.
Foto: Reuters/S.Zhumatov
Bendungan Penyelamat
Situasinya mulai berubah sejak runtuhnya Uni Sovyet. Dengan bantuan Bank Dunia, pemerintah Kazakhstan membangun bendungan Kokaral untuk memisahkan kawasan selatan yang meranggas dengan utara yang masih diairi sungai Syr Darya. Dalam dua tahun permukaan air meningkat sebanyak empat meter dan Kokaral dianggap sebagai salah satu keajaiban dunia.
Foto: picture alliance/dpa/S.Ponomarev
Hidup Setelah Kematian
Namun begitu Laut Aral belum sepenuhnya pulih. Industri perikanan lokal yang muncul saat ini masih tergolong kecil dibandingkan beberapa dekade silam. "Aral belum jadi laut sungguhan," kata Sagnai Zhurimbetov, seorang nelayan lokal. "Laut yang lama punya ombak setinggi hingga tujuh meter," tuturnya.
Foto: Reuters/S.Zhumatov
Fenomena Sesaat?
Celakanya kebangkitan Laut Aral dikhawatirkan hanya bakal menjadi fenomena sesaat. Pasalnya sistem irigasi yang dibangun Uni Sovyet di dua sungai, Syr Darya dan Amu Darya, berfungsi sedemikian efektif sehingga sampai saat ini pun masih menghambat pemulihan air danau. Terlebih pemerintah Uzbekistan kini berniat melakukan eksplorasi minyak bumi di sejumlah kawasan bekas dasar danau.