1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KesehatanAsia

Filipina: Kelompok HAM Khawatir Kemunduran Hak Aborsi

Ana P. Santos (Manila)
13 Agustus 2022

Dengan dibatalkannya hak aborsi di AS, banyak orang Filipina khawatir hal itu akan berdampak pada perolehan hak perawatan kesehatan mereka. Kebijakan aborsi di Filipina adalah salah satu yang paling ketat di dunia.

Ilustrasi simbol janin dalam genggaman tangan
Di Filipina, melakukan aborsi dapat dihukum dengan hukuman penjara, baik untuk orang yang hamil maupun penyedia layanan kesehatanFoto: Christian Ohde/chromorange/picture alliance

Pendukung hak-hak perempuan di Filipina khawatir bahwa pembatalan hak aborsi atau yang dikenal sebagai Roe v. Wade di Amerika Serikat (AS) juga dapat membalikkan situasi dalam hak-hak kesehatan reproduksi dan seksual di negara Asia Tenggara. Keputusan AS, yang dibuat pada tahun 1973 dan dibatalkan pada bulan Juni, sebelumnya menjamin hak konstitusional untuk aborsi.

Kebijakan aborsi di Filipina yang mayoritas warganya beragama Katolik, termasuk yang paling ketat di dunia. Awalnya berasal dari hukum pidana di bawah pemerintahan kolonial Spanyol. Tidak ada pengecualian yang jelas bahkan dalam kasus pemerkosaan, inses atau untuk menyelamatkan nyawa orang yang hamil.

Sementara itu, melakukan aborsi diancam dengan hukuman penjara, baik untuk orang yang hamil maupun penyedia layanan kesehatan.

"Tidak ada yang lebih buruk dari kebijakan aborsi kami. Mereka yang menentang dekriminalisasi aborsi akan berani menggunakan pembatalan Roe v. Wade untuk mempengaruhi opini publik,” kata Marevic Parcon, Direktur Eksekutif Jaringan Global untuk Hak Reproduksi Perempuan, WGNRR kepada DW.

WGNRR, bersama dengan Jaringan Advokasi Aborsi Aman Filipina (PINSAN), sebuah koalisi organisasi non-pemerintah, telah mengadvokasi dekriminalisasi aborsi serta diakhirinya denda dan hukuman penjara bagi orang hamil yang membutuhkan aborsi, dan penyedia layanan kesehatan yang melakukan prosedur aborsi.

Sebuah laporan berita di situs web pemerintah mengutip Uskup Crispin Varquez, kepala Konferensi Waligereja Filipina (CBCP) yang menyambut baik pembatalan hak aborsi AS sebagai "berita baik dan yang dicerahkan oleh Roh Kudus. " 

Pada tahun 2011, orang-orang di Filipina turun ke jalan untuk menyerukan RUU perawatan kesehatan reproduksi, tetapi pembatasan aborsi di negara itu tetap kerasFoto: AP

Kelompok HAM khawatirkan tingginya aborsi ilegal

Shebana Alqaseer, salah satu pendiri Young Feminist Collective, mengingat kengerian yang dia rasakan ketika Mahkamah Agung AS mengumumkan keputusannya untuk membatalkan keputusan tahun 1973, yang memberikan hak konstitusional untuk aborsi di seluruh AS.

"Jika sebuah negara sebebas AS terus kembali ke hukum kuno, harapan apa yang tersisa bagi kami? Melarang aborsi tidak akan menghentikan hal itu terjadi. Efeknya adalah membuat aborsi tidak aman, membahayakan nyawa orang hanya karena mencoba mengakses perawatan yang mereka butuhkan," kata Alqaseer kepada DW.

Data yang dikumpulkan oleh Center for Reproductive Rights (CRC) menunjukkan bahwa aborsi ilegal dan tidak aman di Filipina meningkat dari 560.000 pada 2008 menjadi 610.000 pada 2012. Sementara itu, PINSAN memperkirakan tiga perempuan hamil meninggal setiap hari akibat komplikasi terkait aborsi tidak aman.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia WHO, di bawah pedoman perawatan kesehatan yang tepat dan bila dilakukan oleh petugas kesehatan yang terampil, aborsi adalah "prosedur yang sederhana dan sangat aman."

"Mampu mendapatkan aborsi yang aman adalah bagian penting dari perawatan kesehatan," kata Craig Lissner, Direktur Pelaksana WHO untuk Kesehatan dan Penelitian Seksual dan Reproduksi. Diperkirakan 25 juta aborsi tidak aman terjadi secara global setiap tahun. 

Perbedaan pendapat tentang aborsi di Filipina

April, seorang perempuan berusia 48 tahun dari Manila, menentang aborsi tetapi tidak akan menghakimi perempuan yang membutuhkan akses ke aborsi. "Saya mengerti mengapa perempuan mungkin membutuhkan aborsi, tetapi sebagai seseorang yang benar-benar mencoba aborsi ketika saya masih muda, saya senang upaya saya gagal," katanya kepada DW.

April, yang meminta agar hanya nama depannya yang digunakan untuk alasan privasi, mengatakan bahwa alih-alih aborsi, layanan perawatan kesehatan reproduksi dan pengendalian kelahiran harus lebih tersedia bagi perempuan. "Misalnya, saya meminta dokter saya untuk melakukan ligasi tuba pada saya, tetapi dia menolak karena alasan agama." Ligasi tuba mencegah perempuan hamil dengan menutup saluran tuba wanita.

Rom Dongeto, Ketua Komite Kependudukan dan Pembangunan Legislator Filipina PLCPD mengatakan kepada DW bahwa dengan siapnya AS meninjau undang-undang lain yang terkait dengan pengendalian kelahiran dan pernikahan sesama jenis, para pendukung hak-hak gender perlu merencanakan strategi kontra.

PLCPD juga bertujuan untuk meliberalisasi akses remaja ke alat kontrasepsi melalui RUU Pencegahan Kehamilan Remaja. Di bawah undang-undang saat ini, anak di bawah umur tidak dapat mengakses alat kontrasepsi di klinik pemerintah tanpa persetujuan orang tua, bahkan ketika remaja itu menolak kehamilan.

"Ini akan menjadi pertempuran yang lebih sulit mulai dari sekarang. Kami harus menguatkan diri kami sendiri," tambahnya. (pkp/hp)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait