1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

300911 Libyen Waffen

Agus Setiawan30 September 2011

Warga Tripoli semakin jengkel dengan banyaknya kelompok bersenjata di ibukota Libya tsb. Dewan Transisi Nasional harus segera menuntaskan masalahnya.

.
Milisi revolusioner Libya di ibukota Tripoli.Foto: picture alliance / dpa

Sejak pecahnya perang saudara di Libya awal tahun 2011, diperkirakan beredar lebih dari 15 juta senjata api ringan, terutama Kalashnikov buatan Rusia. Sekarang, semakin banyak warga Libya merayakan kemenangannya atas rezim Muammar al Gaddafi dengan melontarkan tembakan salvo ke udara. Ini ungkapan kebahagiaan yang berbahaya.  Dokter Walid Tersin menceritakan kisah memilukan seorang anak perempuan korban tembakan salvo semacam itu. “Anak perempuan berusia 7 tahun itu sedang bermain di dekat rumah orang tuanya. Tiba-tiba ia terkapar, dari hidungnya mengalir darah. Orang tuanya segera membawanya ke bagian gawat darurat. Di sana diketahui, sebuah peluru menembus otaknya. Ia sudah meninggal. Hal semacam itu terjadi setiap hari di Libya“, paparnya.

Semua Warga Miliki Senjata Api

Realitanya hampir setiap orang di Libya memiliki sedikitnya satu pucuk senjata api. Pasalnya, rezim Gaddafi di akhir kekuasaannya membagikan senjata kepada semua warga. Dengan harapan, warga bertempur membela rezim dan tidak menentang aparat kekuasaan Gaddafi. Masalah ini akan segera dituntaskan, demikian keyakinan warga Libya. Dewan Transisi Nasional disebutkan akan membeli kembali senjata ringan tsb atau menerbitkan surat izin pemilikan senjata. Sebuah optimisme di tengah eforia revolusi.

Kini pertanyaannya adalah, apa yang harus dilakukan dengan senjata berat, seperti senapan mesin dan pelontar granat? Tema ini didiskusikan amat sengit di warung-warung kopi, media cetak dan juga lewat televisi.

Integrasi Ex-Milisi ke Dalam Militer

Kelompok revolusioner yang terdiri dari berbagai grup yang beraneka ragam, semua menyatakan berkontribusi menggulingkan rezim Gaddafi. Kini mereka berkumpul di ibukota Tripoli atau di kota-kota besar lainnya dan mulai meresahkan warga. Tapi kelompok revolusioner yang de facto adalah kelompok milisi bersenjata mengajukan argumen, mereka berkewajiban menjaga ketertiban, karena petugas resmi banyak yang bersembunyi. Jika Gaddafi berhasil ditangkap, barulah kelompok milisi ini tidak diperlukan lagi. Pasukan keamanan baru harus dibentuk, dimana mantan milisi dapat diintegrasikan ke dalamnya. Jurubicara Dewan Transisi Nasional, Ahmed Bani menegaskan : “Jika ingin tetap menyandang senjata, mereka harus bergabung dalam militer, tidak ada pilihan lain.

Warga mendesak, agar kelompok milisi itu ditampung dalam tangsi militer di luar kota. Ratusan warga Tripoli menyatakan akan menggelar aksi protes hari Jumat (30/9) menuntut pelarangan masuknya milisi bersenjata ke ibukota. Diragukan, apakah Dewan Transisi memiliki otoritas, untuk mengendalikan kelompok milisi yang beraneka ragam itu? Sebab pada dasarnya, kelompok milisi inilah yang mengorbitkan Dewan Transisi ke puncak kekuasaan di Libya. Jurubicara Dewan Transisi, Ahmed Bani meredam keraguan, dengan mengatakan, jika ketua Dewan Transisi, Mustafa Abdel Jalil mengimbau milisi, diyakini mereka akan menurut. Namun warga Libya, terutama di ibukota Tripoli tetap menyatakan pesimismenya.

Björn Blaschke/Agus Setiawan

Editor : Dyan Kostermans