Gereja Makam Suci dibangun di lokasi di mana orang Kristen percaya bahwa Yesus disalibkan. Gereja itu dikelola enam golongan Kristen, namun kunci gereja dipegang keluarga Muslim – berabad-abad lamanya.
Iklan
Nusseibeh adalah keluarga Muslim Yerusalem kuno -- yang turun-temurun dari zaman Nabi Muhammad. Mereka memegang kunci Gereja Makam Suci di Yerusalem. Dua jam setelah matahari terbenam, mereka mengunci gereja dan membukanya sebelum fajar setiap pagi – sebuah tradisi sejak zaman nenek moyang mereka selama ratusan tahun.
Wajih Nusseibeh adalah penjaga pintu saat ini. Ia mengisahkan: "Itu pekerjaan yang diwariskan dari ayah ke anak, sejak zaman penaklukan Muslim pertama atas Yerusalem pada abad ketujuh," katanya kepada Deutsche Welle. "Kami telah melakukannya selama 1.300 tahun, meskipun ada satu celah selama 88 tahun, ketika Tentara Salib Kristen memerintah Yerusalem pada abad ke-12."
Sebelum mengambil peran sebagi penjaga gereja, Nusseibeh memiliki bisnis di bidang elektronik. Putranya yang akan mewarisi pekerjaan ini adalah seorang penata rambut. Pekerjaan ini membutuhkan komitmen , karena mereka tinggal di luar Kota Tua, di mana gereja itu terletak, dan harus berada di sini tiap pukul 04.00 pagi untuk membuka gereja: "Kadang-kadang bahkan lebih awal dari pukul 03:30, " kata Nusseibeh , "Tapi itulah kehidupan. Kita melihat orang-orang bahagia dan jadi kami puas. Dan tentu saja Yesus bukan hanya bagi orang Kristen, ia milik semua orang.
Gereja dibangun di dekat makam dimana Yesus diyakini bangkit. Para biarawan dari ordo Fransiskus melakukan prosesi setiap pagi di dekatnya. Pastur Fergus Clarke adalah imam Fransiskan yang hidup di dalam gereja lebih dari lima tahun. Ia menerangkan mengapa ia percaya kunci gereja sampai ada di tangan keluarga muslim: "Saat itu, muslim ingin menunjukkan superioritas Islam terhadap Kristen, sehingga mereka memberi kunci kepada sebuah keluarga muslim, menutup semua pintu kecuali satu, dan mereka dapat mengontrol satu-satunya pintu ke gereja terpenting dalam agama Kristen,” papar Clarke.
Yerusalem dan Masakannya Yang Menyatukan
Timur Tengah kerap didera bentrokan, tetapi warga Yerusalem berasal dari berbagai kebudayaan dan sudah lama hidup berdampingan. Jika mengintip ke dapurnya, tampak paduan dua kebudayaan yang berbaur bersama.
Foto: Daniella Cheslow
Mengaduk Panci
Baik Palestina maupun Israel klaim Yerusalem ibukotanya. Kota itu selalu diwarnai ketegangan. Namun, di dapur-dapurnya berbagai tradisi bertemu. Di restoran Azura di pasar utama Yerusalem Barat, manager Moshe Shrefler mengecek sup kacang di dapurnya yang mungil. Azura adalah tujuan populer pengunjung di bagian pasar yang banyak dikunjungi orang Irak.
Foto: Daniella Cheslow
Makanan Yang Menenangkan
Sajian istimewa restoran Azura adalah sup buntut. Dagingnya dimasak dua hari dalam kuah yang mengandung banyak bumbu dan lada merah. Sup itu hanya dihidangkan tiap Selasa, dan warga Israel membanjiri restoran sebelum sup itu habis.
Foto: Daniella Cheslow
Memasak dengan Lamban
Sup buntut dimasak dua hari di panci besar dari alumunium, sebelum dihidangkan bagi langganan. Menurut manager Azura, Moshe Shrefler restorannya tidak hanya menyajikan makanan asal Irak yang dimasak lezat, melainkan juga bisa membanggakan sajian makanan tradisional Yahudi, yang sama enaknya.
Foto: Daniella Cheslow
Kompor Spesial
Kompor yang berbahanbakar kerosin ini disebut 'ptiliyot' dalam bahasa Ibrani. Ini jadi ciri utama restoran Yahudi tradisional. Di restoran Azura, koki mengatakan, kompor tua itu membuat makanan tambah lezat.
Foto: Daniella Cheslow
Menjunjung Tradisi
Di restoran Kosta di kota tua Yerusalem, pemiliknya Fareed Harroubi menghidangkan daging merpati, yang diisi nasi campur biji pala. Ini spesialitas Palestina, dihidangkan dengan selada merah serta hijau, saus tahini dan hummus.
Foto: Daniella Cheslow
Nama Besar, Dapur Kecil
Fareed Harroubi mengatakan, ia belajar cara mengisi merpati dari seorang koki Yunani. Ia membuat makanan spesialnya, juga daging yang diasap dan dibumbu, dalam dapur kecilnya ini, di restoran di kota tua Yerusalem.
Foto: Daniella Cheslow
Dapur Terbuka
Asaf Granit adalah salah seorang dari tiga koki di restoran Machneyuda. Ia bercerita, ia merencanakan restoran dengan dapur terbuka, jadi pelanggan bisa melihat bagaimana koki memasak. Restoran ini sudah jadi 'tredsetter' di Yerusalem Barat, dan merupakan salah satu yang menghidangkan makanan tidak halal.
Foto: Daniella Cheslow
Segar dari Pasar
Di restoran Machneyuda, yang diberi nama seperti pasar bersejarah di Yerusalem Barat para koki membeli bahan dan dapat inspirasi dari pasar yang berlokasi di dekatnya. Restoran itu dengan bangga menyebut masakannya interpretasi modern atas masakan tradisional. Tampak di sini Ceviche, selada dengan ikan mentah dan strawberry.
Foto: Daniella Cheslow
Gilingan Sehari-Hari
Di restoran Idkedik di kota tua Yerusalem, koki Wafa Ishad Idkedik Walaa menggiling kacang arab dengan tangan untuk membuat hummus. Ia bertutur, ini membuat rasa elbih enak dan harga yang lebih murah. Menurutnya, warga Israel biasanya menggunakan penggiling elektronik.
Foto: Daniella Cheslow
Gerobak Besar, Jalan Sempit
Pasar sayur utama Yerusalem penuh dengan orang yang berbelanja, yang melalui gang-gang sempit, dan pedagang yang meneriakkan harga. Sementara itu, semua orang lewat di dekat gerobak tanpa menyentuh tumpukan kotak sayur kosong yang diangkutnya. Ini juga tempat para koki menemukan bahan masakan setiap pagi.
Foto: Daniella Cheslow
Diperas Segar
Di kota tua Yerusalem, kuliner yang ditawarkan mulai dari makan malam, di mana orang duduk pada meja yang dipenuhi selada, sampai sari delima yang diperas segar, dan disajikan sebagai minuman cepat seperti pada kios makanan kecil Palestina ini.
Foto: Daniella Cheslow
Hidup Bertetangga dari Berbagai Bangsa
Di depan restoran Azura di pasar Machane Yehuda, pria berusia lanjut duduk-duduk di kawasan Irak dan bermain domino serta backgammon, sambil minum kopi hitam kental.
Foto: Daniella Cheslow
12 foto1 | 12
Enam golongan
Gereja ini dibangun di situs yang dipercaya merupakan lokasi Yesus disalibkan dan dibangkitkan. Gereja ini terbagi dalam enam denominasi Kristen - Ortodoks Yunani, Armenia, Katolik, Koptik, Suriah dan Ethiopia.
Keenam golongan itu merasa sulit untuk bersepakat dalam banyak hal praktis, seperti memperbaiki dan bahkan membersihkan gereja. Ada kekhawatiran bahwa jika salah satu dari mereka memegang kunci , mereka mungkin mengunci orang lain sehingga tak bisa keluar. "Setiap kelompok percaya bahwa mereka adalah pemilik gereja, dan jika Anda adalah pemilik, Anda dapat melakukan apa yang Anda inginkan, jadi sulit, sangat sulit ," kata Wajih Nusseibeh.
Para biarawan melakukan bentuk-bentuk ibadah tradisional, termasuk prosesi sehari-hari di sekitar makam di pusat gereja. Layanan ibadah dari berbagai kelompok sering tumpang tindih .
Pastor Fergus Clarke yang tinggal di gereja ini mengakui hal itu: "Kami punya enam kelompok Kristen, atau mungkin bisa disebut sebagai enam keluarga, yang berbagi gereja, itu adalah tanda yang luar biasa dari kesatuan," katanya. Biarawan dari gereja Armenia memulai prosesi di sekitar makam, sementara para biarawan Katolik berjarak tak jauh di depan mereka. Ibarat dua opera digelar bersebelahan, atau kompetisi bagi telinga Tuhan."Sekarang jika Anda bisa membayangkan menempatkan enam keluarga di dapur yang sama, Anda akan memerlukan pedoman dan batas-batas, dan jika mereka semua memiliki perayaan pada waktu yang sama atau pada hari yang sama, tentu akan ada beberapa perbedaan pendapat," ujar Pastor Clarke.
Kekerasan terjadi
Terkadang, perbedaan pendapat itu jatuh ke dalam kekerasan, seperti pada perayaan Paskah beberapa tahun silam. Biarawan ortodoks Yunani dan Armenia saling pukul. Seperti kebanyakan konflik di sini, kejadian itu merupakan sengketa wilayah. Yang satu takut yang lain mencoba melanggar batas wilayah yang bukan miliknya.
Pastor Fergus Clarke menjabarkan: "Tidak diragukan lagi, hal-hal seperti ini dapat terjadi dari waktu ke waktu. Dan kami semua merasa malu jika itu terjadi. Bayangkan, bahwa untuk 360 hari dalam setahun, ada kolaborasi di sini. Mengingat adanya perbedaan bahasa, budaya, dan pendekatan iman, itu benar-benar sebuah keajaiban."
Banyak peziarah mengunjungi gereja ini. Di sini, mereka terinspirasi oleh pesan perdamaian dan cinta kasih.
Satu Rumah Tiga Agama
Sebuah proyek di Berlin ingin menyatukan tiga agama Samawi dalam satu atap. Nantinya umat Muslim, Kristen dan Yahudi saling berbagi ruang saat beribadah. The House of One bakal dibiayai murni lewat Crowdfunding.
Foto: Lia Darjes
Berkumpul di Bawah Satu Atap
Tidak lama lagi ibukota Jerman, Berlin, bakal menyambut sebuah rumah ibadah unik, yang menyatukan tiga agama Ibrahim, yakni Islam, Kristen dan Yahudi. Rencananya The House of One akan memiliki ruang terpisah untuk ketiga agama, dan beberapa ruang umum untuk para pemeluk buat saling bersosialiasi.
Foto: KuehnMalvezzi
Tiga Penggagas
Ide membangun The House of One diusung oleh tiga pemuka agama, yakni Pendeta Gregor Hohberg, Rabi Tovia Ben-Chorin dan seorang imam Muslim, Kadir Sanci. "Ketiga agama ini mengambil rute yang berbeda dalam perjalanannya, tapi tujuannya tetap sama," ujar Kadir Sanci. Menurutnya The House of One merupakan kesempatan baik buat ketiga agama untuk menjalin hubungan dalam kerangka kemanusiaan
Foto: Lia Darjes
Berpondasi Sejarah
Di atas lahan yang digunakan The House of One dulunya berdiri gereja St. Petri yang dihancurkan pada era Perang Dingin. Arsitek Kuehn Malvezzi memutuskan menggunakan pondasi gereja St. Petri untuk membangun The House of One. Sang arsitek mengakomodir permintaan masing-masing rumah ibadah, seperti Masjid dan Sinagoga yang harus mengadap ke arah timur.
Foto: Michel Koczy
Cerca dan Curiga
Awalnya tidak ada komunitas Muslim yang ingin terlibat dalam proyek tersebut. Namun, FID, sebuah kelompok minoritas Islam moderat yang anggotanya kebanyakan berdarah Turki mengamini. Kelompok tersebut harus menghadapi cercaan dari saudara seimannya lantaran dianggap menkhianati aqidah Islam. Namun menurut Sanci, perdamaian adalah rahmat semua agama.
Foto: KuehnMalvezzi
Dikritik Seperti Makam Firaun
Tidak jarang proyek di Berlin ini mengundang kritik tajam. Salah seorang tokoh agama Katholik Jerman, Martin Mosebach, misalnya menilai desain arsitektur The House of One tidak mencerminkan sebuah bangunan suci. Bentuk di beberapa bagiannya malah tampak serupa seperti makan Firaun. Tapi ketiga pemuka agama yang terlibat memilih acuh dan melanjutkan dialog terbuka untuk menggalang dukungan publik
Foto: Lia Darjes
Sumbangan Massa
Penggagas proyek The House of One menyadari betul pentingnya peran publik dalam pembangunan. Sebab itu mereka sepenuhnya mengandalkan pendanaan massa alias crowdfunding. Setiap orang bisa menyumbang uang buat membeli satu batu bata. Sebanyak 4,350.000 batu bata dibutuhkan buat menyempurnakan bangunan. Sejauh ini dana yang terkumpul sebesar 1 juta Euro dari 43 juta yang dibutuhkan
Foto: KuehnMalvezzi
Merajut Damai
Manajamen proyek berharap rumah baru ini bakal menjadi pusat pertukaran budaya antara ketiga pemeluk agama untuk saling menengenal dan saling menghargai. "Adalah hal baik buat mengenal lebih dekat jiran kita," ujar Imam Kadir Sanci.