1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

060511 Afghanistan 9/11 Spurensuche

Karte Seh yang terletak di sebelah barat Kabul adalah kawasan yang menunjukkan perkembangan aktual Kabul. Berbagai organisasi bantuan dan juga gedung parlemen terdapat di kawasan ini.

Saat Taliban dijatuhkan tahun 2001, penduduk Kabul berjumlah sekitar 600.000 jiwa. Saat ini diperkirakan terdapat sekitar empat sampai lima juta orang yang tinggal di ibukota Afghanistan itu.Pukulan palu dan gesekan gergaji terdengar di kawasan Karte Seh. Seluruh kawasan sedang sibuk membangun. Bagi Kabul ini merupakan pertanda baik. Ada pembangunan, ada investasi.

Warga Kaya dan Miskin

Kawasan Karte SehFoto: dw

Karte Seh dulu merupakan kawasan huni golongan menengah Kabul. Area dengan bungalow-bungalow yang cantik maupun yang bersahaja.  Kemudian bermunculan bangunan sederhana dari tanah liat. Dampak dari perang dan mengalirnya masyarakat pedesaan ke ibukota. Dan sekarang terlihat vila-vila baru dengan gaya Pakistan.  Mencolok, dilengkapi pilar-pilar dan tampak depan dihiasi warna perak dan emas.

Di dekat Pol-e-sorkh, atau jembatan merah, dua bagian bertemu. Karte Seh yang miskin dan yang kaya.  Di sini terdapat berbagai suku, tetapi perempuan yang mengenakan burka merupakan pengecualian. Banyak jalan yang masih belum diaspal.

Hanya Menginginkan Uang

Berbagai jenis buah-buahan ditawarkan di pasar. Setiap penjual punya cerita sendiri dari masa Taliban. Misalnya Haji Murad Ali, pemilik sebuah toko roti spesial yang menjual baghlawa, kue-kue kecil dan penganan manis lainnya. Ia mengaku pernah disiksa Taliban 32 kali.

Haji Murad AliFoto: dw

"Taliban datang hanya karena kamu mengenakan pakaian baru. Mereka kemudian mengatakan, kamu adalah komandan kaya. Lalu mereka mencabuk kamu dengan kabel. Mereka menyiksa orang sambil bercanda, lalu menyiraminya dengan air dingin. Yang mereka inginkan adalah uang," dikatakan Murad Ali.

Haji Murad Ali kemudian mengeluarkan sebuah kunci yang rusak, lalu memperlihatkannya. "Dua minggu lalu saya dirampok. Polisi datang. Tetapi mereka bukannya menolong, melainkan meminta uang. Mereka mengatakan: Lupakan saja maling itu. Lalu kartu telpon dan barang-barang dari toko saya dicuri. Kalau bertengkar dengan mereka, kamu akan ditangkap. Jadi saya tutup mulut, kalau tidak saya dipenjara di sel gelap."

Memperkaya Diri

Pasangan campuran juga dapat ditemui di Karte Seh. Sonia orang Rusia, suaminya Sanjar orang Afghanistan. Mereka berkenalan di Polandia, ketika Sanjar menerima beasiswa untuk kuliah di negeri itu. Mereka tinggal di dekat gedung parlemen. "Tetangga kami anggota parlemen. Dia mendadak kaya sekali, meskipun ia berasal dari desa. Menjadi pertanyaan, dari mana ia mendapatkan uang, padahal ia hanya pegawai pemerintah."

Bagi Sanjar, parlamen dan perang saudara pada awal tahun 90-an adalah satu hal dengan dua sisi, "Parlemen ini penuh dengan pembunuh. Orang-orang itu dulu menghancurkan kawasan ini. Mereka bertanggung jawab atas tewasnya 60.000 orang. Ketika kami saat itu membawa sekarung tepung dari A ke B dengan sepeda, mereka melepaskan tembakan dengan senapan mesin ke arah kami. Sekarang mereka duduk di parlemen. Diplomat Barat mengelu-elukan mereka sebagai simbol demokrasi baru. Demokrasi yang mana? Orang-orang ini sebenarnya harus diadili."

Haus akan Pendidikan

Hanya sedikit yang beruntung mendapat beasiswa luar negeri seperti yang pernah diterima Sanjar. Hausnya terhadap pendidikan tercermin pada poster yang tingginya meteran dan memperlihatkan akademisi perempuan dengan topi wisuda doktor yang tersenyum. Ini adalah iklan universitas swasta. Perguruan tinggi pemerintah sudah sejak lama tidak dapat lagi menampung serbuan lulusan SMA di kota ini.

Suasana perkuliahan di Ibn Sina InstitutFoto: dw

Ibn Sina adalah lembaga swasta dengan sekitar 300 mahasiswa. Ali Amiri yang termasuk dalam dewan pemimpin, menulis disertasinya tentang filsuf Austria, Ludwig Wittgenstein. Ia mengatakan, Institut Ibn Sina mengutamakan perubahan, "Minoritas Hazara cukup lama terabaikan. Misalnya, mereka tidak boleh menjadi perwira atau kuliah di Fakultas Hukum atau Politik. Larangan itu kini telah dicabut. Dan kini banyak mahasiswa yang memilih kedua jurusan tersebut."

Lebih Banyak Kesempatan bagi Perempuan di Kabul

Dan perempuan bahkan mendapat keringanan dalam pembayaran uang kuliah. Setengah ruang kuliah dipenuhi mahasiswi. Mahasiswa duduk terpisah di bagian belakang. Mahasiswi memakai jilbab dan beberapa mengenakan make-up:

"Apa yang Anda lihat ini, hanya terdapat di Kabul. Hanya di sini perempuan dapat mengenakan jilbab seperti yang diinginkannya, dan kuliah serta berkembang. Di daerah, seorang perempuan tidak bisa keluar rumah sendiri atau kuliah. Dan bila boleh, harus mengenakan burka. Di daerah, pekerjaan perempuan mencuci dan membersihkan rumah. Di sana mereka adalah mesin untuk melahirkan anak bagi kaum pria. Ada perempuan di sana yang punya 18 anak," dikatakan seorang mahasiswi.

Martin Gerner/Christa Saloh Foerster

Editor: Vidi Legowo-Zipperer