Kemampuan Suku Bajau Bantu Ciptakan Terobosan Sains
20 April 2018
Penelitian terhadap suku Bajau membuktikan tubuh manusia bisa beradaptasi terhadap kondisi ekstrim di laut dalam. Suku yang hidup di Sulawesi itu terbiasa menyelam di kedalaman 70 meter tanpa bantuan alat pernafasan.
Iklan
Ilmuwan memastikan tubuh manusia mampu beradaptasi dengan kondisi ekstrim di laut dalam berkat penelitian terhadap suku Bajau. Kaum nomaden laut yang hidup di FIlipina dan Indonesia itu ditengarai memiliki limpa yang lebih besar ketimbang manusia normal dan sebabnya mampu menyelam ke laut dalam tanpa bantuan alat pernafasan.
Suku Bajau sejak lama dikenal sebagai penyelam tangguh. Mereka terbiasa berburu ikan dengan tombak hingga di kedalaman 70 meter dengan hanya berbekal kacamata yang terbuat dari batok kelapa. Penyelam suku Bajau terbiasa menghabiskan 60% waktu kerjanya di dalam laut. Sebagian bahkan mampu menahan nafas selama 13 menit, tulis ilmuwan dalam jurnal ilmiah Biologi, Cell.
Kemampuan unik tersebut diyakini oleh ilmuwan Centre for GeoGenetics di Universitas Kopenhagen, Melissa Ilardo, berasal dari kemampuan tubuh manusia beradaptasi secara genetika dengan gaya hidup Suku Bajau. Untuk merampungkan penelitiannya, Melissa menghabiskan beberapa bulan di Jaya Bakti, Sulawesi Tengah untuk mengenal Suku Bajau dan suku lain di sana yang tidak menyelam, Saluan.
Toraja: Yang Mati dan Tidak Pernah Pergi
Buat suku Toraja kematian bukan penghabisan. Mereka yang telah tutup usia tidak benar-benar meninggalkan keluarga dan ikut menemani kehidupan sehari-hari mereka. Simak ritual kematian unik lewat galeri foto berikut:
Foto: Reuters/S. Whiteside
Bertukar Pakaian di Alam Baka
Kematian menemani kehidupan. Begitulah anggapan suku Toraja yang kaya dengan ritual kematian. Di sana jenzah keluarga yang telah dimakamkan, diangkat kembali untuk ditukar pakaiannya. Tradisi bernama Ma'nene itu digelar untuk menghormati leluhur yang telah tutup usia.
Foto: Reuters/S. Whiteside
Berduka Dengan Waktu
Suku Toraja tidak mengusir kematian, melainkan menganggapnya bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Kelompok adat yang hidup di jantung Sulawesi itu meyakini kematian tidak memutus ikatan keintiman. Maka tidak heran jika sebuah keluarga menyimpan jenazah selama berpekan-pekan di rumah sendiri dan diperlakukan layaknya seseorang yang masih hidup.
Foto: Reuters/S. Whiteside
Rambu Solo yang Mahal
Adalah upacara pemakaman Rambu Solo' yang membuat Toraja dikenal dunia. Ritual yang penting dan berbiaya mahal tersebut bisa berlangsung selama berhari-hari. Karena ongkosnya yang tidak murah, Rambu Solo kadang baru bisa digelar setelah berminggu-minggu atau bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan.
Foto: Reuters/S. Whiteside
Menunggu Penutupan
Selama itu pula keluarga harus bisa mengumpulkan biaya pemakaman agar bisa menguburkan anggota keluarga yang meninggal dunia. Jika belum dikebumikan, jenazah biasanya dibalut kain dan di simpan di bawah rumah adat alias Tongkonan. Arwah yang meninggal dunia diyakini belum pergi selama upacara pemakaman belum dirampungkan.
Foto: Reuters/S. Whiteside
Kemewahan di Balik Kematian
Kemegahan upacara Rambu Solo ditentukan oleh jumlah kerbau yang dikorbankan. Setiap elemen upacara pemakaman dibuat secara hirarkis untuk menegaskan status sosial keluarga yang ditinggalkan. Tidak jarang Rambu Solo berlangsung selama berhari-hari sebelum jenazah dibawa ke tempat peristirahatan terakhir.
Foto: Reuters/S. Whiteside
Buat Kaum Kaya
Tapi uang pula yang membebani tradisi kuno ini. Seringkali keluarga harus berutang agar bisa membiayai Rambu Solo'. Tidak heran jika sejak awal upacara mewah ini hanya boleh dilakukan oleh kaum bangsawan yang menduduki kasta tertinggi dalam struktur sosial suku Toraja.
Foto: Reuters/S. Whiteside
Sejarah Panjang Tradisi Toraja
Tidak ada yang tahu pasti kapan ritual kematian di Toraja mulai dipraktikkan. Namun penanggalan radiokarbon terhadap sebuah potongan peti mati yang dilakukan arkeolog Indonesia dan Malaysia mengindikasikan praktik pemakaman unik ini telah berlangsung sejak 800 SM. Suku Toraja mulai dikenal dunia setelah disambangi oleh penjelajah Belanda pada abad 19.
Foto: Reuters/S. Whiteside
7 foto1 | 7
"Saya menggunakan kunjungan pertama di Jaya Bakti untuk memperkenalkan diri, mengenalkan proyek dan penelitian ilmiah yang akan kami lakukan," ujarnya kepada AFP. "Saya ingin memastikan mereka mengerti apa yang saya tanyakan agar mereka bisa membantu mengarahkan proyeknya agar merefleksikan kepentingan mereka. Mereka sangat gembira dan penuh rasa ingin tahu."
Melissa tidak hanya mengambil sampel DNA, tetapi juga melakukan pemindaian Ultrasonik. Hasilnya anggota suku Bajau memiliki ukuran limpa yang 50% lebih besar ketimbang suku Saluan.
Limpa berfungsi vital saat menyelam. Organ tersebut melepaskan oksigen dalam jumlah besar ketika tubuh mengalami stress atau ketika manusia menahan nafas di dalam air. Limpa pada anggota suku Bajau rata-rata lebih besar, meski tidak semua merupakan penyelam.
Temuan tersebut dapat membantu peneliti memahami bagaimana tubuh bereaksi pada saat kekurangan oksigen dalam berbagai kondisi, mulai dari saat menyelam, memanjat gunung tinggi atau saat dioperasi. "Ini menunjukkan betapa pentingnya suku pedalaman di seluruh dunia yang memiliki gaya hidup ekstrim," kata salah satu penulis, Eske Willerslev, Professor di Universitas Kopenhagen.
"Suku Bajau dan kaum nomaden laut lainnya sangat luar biasa dan saya ingin membuktikannya kepada dunia," kata Melissa lagi.
Realita Getir di Balik Gelombang Islamisasi Suku Anak Dalam
Ratusan anggota Suku Anak Dalam ramai-ramai meninggalkan keyakinan leluhur dan memeluk agama Islam. Tapi bukan iman yang menggerakkan mereka, melainkan demi KTP dan harapan akan kehidupan yang lebih baik.
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
Nomaden Sumatera Pindah Agama
Indonesia saat ini memiliki sekitar 70 juta anggota suku pedalaman, mulai dari Dayak di Kalimantan hingga suku Mentawai di Sumatera. Namun dari semua, Suku Anak Dalam adalah salah satu yang paling unik karena gaya hidupnya yang berpindah-pindah alias nomaden. Belakangan banyak anggota suku asli Jambi dan Sumatera Selatan itu yang memeluk agama Islam.
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
Digusur Manusia, Berpaling ke Tuhan
Baru-baru ini sebanyak 200 dari 3.500 anggota Suku Anak Dalam menanggalkan kepercayaan Animisme setelah menerima ajakan sebuah LSM Islam yang difasilitasi oleh Kementerian Sosial. Banyak yang terdorong oleh harapan kemakmuran, menyusul kehancuran ruang hidup akibat terdesak oleh perkebunan kelapa sawit dan tambang batu bara.
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
Demi Kemakmuran
"Syukurlah pemerintah sekarang memperhatikan kami. Sebelum pindah agama mereka tidak peduli", kata Muhammad Yusuf, seorang anggota Suku Anak Dalam yang berganti nama setelah memeluk Islam melalui program pemerintah. Ia meyakini dengan pindah agama kehidupannya akan menjadi lebih baik.
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
Solusi Sesat Komersialisasi Hutan
Pemerintah menilai Islamisasi suku pedalaman merupakan langkah baik. Program Kementerian Sosial antara lain mengajak anggota suku untuk tinggal menetap dengan menyediakan rumah dan infrastruktur pendidikan dan kesehatan. Namun aktivis menilai fenomena tersebut didorong oleh rasa frustasi karena gaya hidup mereka terancam oleh komersialisasi hutan.
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
Agama, KTP dan Kesejahteraan
Yusuf mengakui alasan pindah agama karena masalah ketahanan pangan yang terancam lantaran pemilik lahan membatasi area berburu bagi Suku Anak Dalam. Pria yang punya 10 anak itu mengaku ingin mendapat KTP agar bisa mengakses layanan kesehatan dan pendidikan gratis yang disediakan pemerintah. Memeluk Islam dan hidup menetap mempermudah hal tersebut.
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
Setia Pada Tradisi
Meski begitu masih banyak anggota Suku Anak Dalam yang tetap setia pada ajaran leluhurnya. Sebagian besar masih menjaga tradisi berburu dan hidup berpindah tiga kali sebulan untuk mencari ladang berburu baru atau ketika salah seorang anggota suku meninggal dunia.
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
Panggilan Leluhur
Kondisi kehidupan Suku Anak Dalam tergolong berat. Sebagian besar terlihat kurus dan terkesan mengalami malnutrisi lantaran hanya memakan hasil berburu. "Menurut tradisi kami, pindah agama dilarang," kata Mail, salah seorang ketua Suku Anak Dalam. "Kalau melanggar, kami takut dimakan harimau," imbuhnya kepada AFP.
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
Pilihan Akhir Kaum Terbuang
Aktivis HAM menilai suku pedalaman sering tidak punya pilihan selain pindah agama untuk mendapat kehidupan yang lebih layak. "Mereka harus meminta bantuan ulama atau gereja buat mencari perlindungan," di tengah laju kerusakan hutan dan komerisalisasi lahan, kata Rukka Sombolinggi, Sekjend Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Sumber: AFP, Reuters, Antara