1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Kematian Anak Akibat Campak dan Malnutrisi di Papua Meluas

22 Januari 2018

Tragedi kematian bayi dan balita di Asmat, Papua meluas ke wilayah-wilayah lain. Sekitar 100 orang meninggal dunia akibat campak dan malnutrisi.

Indonesien Rund hundert Masern-Tote in Papua  befürchtet
Foto: Getty Images/AFP/M. Aidi

Lebih dari dua puluh orang meninggal dunia di kabupaten Pegunungan Bintang, Papua, akibat penyakit campak dan kekurangan gizi.Sebelumnya di Kabupaten Asmat, setidaknya sudah hampir 70 orang, kebanyakan balita terenggut nyawanya. Kementerian sosial telah menetapkan insiden ini sebagai kejadian luar biasa.

Dirjen Perlindungan dan Jaminan Sosial Kementerian Sosial Harry Hikmat, menyebutkan sejauh ini pemerintah telah melakukan respon cepat. Meninggalnya pasien campak tersebut menurutnya terkait dengan masalah malnutrisi. "Ada komplikasi kesehatan di sini. Komplikasi kesehatan berisiko mengganggu kelangsungan hidup. Secara medis, merujuk pada kementerian kesehatan, kondisi gizi buruk mempengaruhi daya tubuh seseorang."

Harry Hikmat menambahkan pemerintah telah mengirimkan bantuan berupa tiga ton beras dan makanan siap saji dengan protein dan karbohidrat tinggi yang bisa dikonsumsi untuk memasak. Biasanya makanan sejenis itu disediakan bagi tentarayang tengah berlatih perang. "Kemensos sudah punya paket makanan empat jenis, ikan, daging, telur, bisa dimakan langsung. Ada 8000 paket didistribusikan termasuk ke keluarga yang tidak terkena gizi buruk. Makanan tambahan, biskuit, gula dan makanan ringan kita coba distribusikan dan sudah sampai ke posko terpadu penangangan di ibukota kabupaten Asmat. Bantuan juga berdatangan dari NGO dan kita bisa menditribusikan bantuan secara lebih efektif. Dan yang sekarang juga kita coba kirim 6000  sembako lengkap." Dia menambahkan Presiden Joko Widodo berencana untuk datang langsung ke sana melihat kondisi di lapangan.

Wilayah bencana meluas dari pesisir ke pedalaman

Dirjen Perlindungan dan Jaminan Sosial Kementerian Sosial mengakui: "Asmat merupakan daerah yang infrastrukturnya terbatas, terisolasir, sehingga jangkauan kesehatan juga terbatas. Fasilitas yang tersedia hanya di ibukota kecamatan, yakni sudah ada Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD). Di beberapa distrik ada puskesmas, tapi yang terkendala adalah tenaga kesehatan di puskesmas yang terbatas."

Diakuinya pula bahwa situasi ini sudah terindentifikasi sejak September 2015. Jika awalnya wabah campak dan gizi buruk yang berujung pada kematian hanya terjadi di wilayah pesisir, kini makin meluas ke daerah pedalaman. "Pada kejadian sebelumya, wabah banyak terjadi di wilayah pantai dan sungai, sekarang bergeser ke pedalaman di pegunungan,"

Dampak dari pemekaran wilayah

Mantan Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Natalius Pigai mengingatkan pemerintah bahwa tragedi kemanusiaan di Papua, sudah berlangsung dari beberapa tahun terakhir. "Menurut saya kematian anak di Papua merupakan peristiwa serius dalam tragedi kemanusiaan. Dari banyaknya laporan, sebelum tiga tahun terakhir ini jarang terjadi. Sebab mereka biasa hidup dari alam, mereka punya relasi yang kuat dengan alam. Daya tahan tubuhnya sudah terbiasa dalam kehidupan sehari-hari dan tinggal di alam. Namun peristiwa yang terjadi sekarang ini karena faktor non alam atau non- natural. Misalnya konsumsi barang yang didatangkan ke Papua, namun kadang tanggal kadaluarsanya sudah lewat, begitu juga obat-obatan. "

Ditekankan aktivis HAM itu, salah satu penyebab yang paling berpengaruh dalam insiden ini adalah pemekaran wilayah yang mendorong masyarakat agraria beralih ke masyarakat konsumeristik. "Ketika terjadi pemekaran kabupaten yang begitu besar, masyarakat beralih dari dunia pertanian untuk mencoba hal yang lain. Beberapa tahun lalu di Yahukimo juga terjadi bencana kelaparan luar biasa dan menyebabkan banyak orang mati. Semua orang yang penasaran dengan pemekaran wilayah, mecoba peruntungan dengan pergi ke kota-kota. Padahal perjalanan ke sanapun memakan waktu berhari-hari, sementara pekerjaan di ladang jadi terbaikan. Lapangan kerjanya pun di kota yang dituju tak melulu tersedia. Namun masyarakat tetap penasaran ke kota, sehingga pertanian terlantar."

Baca juga:

6, 2 juta Kasus Kematian Akibat Kelaparan

Setiap Tahun 6 Juta Anak Meninggal Akibat Kelaparan

Negara tidak hadir

Terlambatnya penangan bencana kemanusiaan ini menurut Pigai menunjukkan bahwa negara tidak hadir ketika bencana kemanusiaan terjadi, "pemerintah bertanggung jawab atas kesehatan rakyat kecil, mereka tidak langsung turun lapangan? Padahal ini kondisi darurat.”

Koordinasi yang buruk dalam pelayanan kesehatan juga menjadi sorotan Pigai. Dimana menurutnya baik pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten kerap berjalan sendiri-sendiri dalam memberikan layanan kesehatan kepada masyarakat. "Kabupaten itu diberi beban yang luar biasa, tapi dokternya paling hanya dua orang, paramedik cuma 10 orang, lalu tak ada sarana yang bagus, tidak punya peralatan medis yang baik dan obat-obatan juga terbatas, namun mereka dibiarkan dengan anggaran yang ada.”

Ayu Purwaningsih (vlz)