1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Matinya Whistleblower Virus Corona 'Momen Kebangkitan' Cina

William Yang
15 Februari 2020

Aktivis pendukung kebebasan berekspresi di Cina menuntut lebih banyak transparansi setelah kematian seorang dokter 'whistleblower' virus corona jenis baru atau COVID-19.

Memorial untuk dr. Li Wenliang
Foto: KW

Dokter Li Wenliang, orang yang pertama kali mengungkap virus corona meninggal dunia pada Jumat (07/02) di rumah sakit tempatnya bekerja. DW berbincang dengan pengacara hak asasi manusia (HAM) Wang Yu tentang bagaimana kasus ini mengubah wacana publik tentang wabah tersebut.

DW: Sekelompok intelektual menerbitkan pernyataan publik yang menyerukan kepada pemerintah Cina untuk menetapkan hari "kebebasan berekspresi". Seperti apa pengaruh kematian Li Wenliang dalam menginspirasi lebih banyak seruan kebebasan berekspresi di Cina?

Wang Yu: Setelah Li Wenliang meninggal secara tiba-tiba, orang-orang menyadari bahwa pemerintah Cina takut kepada mereka yang berbicara mengungkap kebenaran.

Hampir pada waktu yang sama ketika Li meninggal, dua jurnalis warga yang meliput epidemi virus corona dari Wuhan juga menghilang.

Pihak berwenang telah berusaha menyembunyikan tingkat epidemi virus corona, dan berusaha menyembunyikan keadaan terkait kematian Li dari masyarakat umum.

Pemerintah Cina menyensor konten di media sosial dengan menghapus posting atau menangguhkan akun secara sementara. Rezim sensor ini adalah penyebab sebenarnya dari epidemi yang tidak terkendali. Setelah kematian Li, ada banyak informasi di media sosial Cina yang diposting oleh masyarakat sipil. Namun, pemerintah dengan cepat mengontrolnya.

Kebebasan berekspresi adalah dasar dari keterbukaan dan transparansi. Itulah sebabnya cendekiawan aktivis HAM, Zhang Li-fan dari Universitas Peking memimpin seruan kepada pemerintah Cina untuk menetapkan hari kebebasan berekspresi.

Saya ingin mengatakan bahwa kematian Li adalah momen kebangkitan bagi banyak orang di Cina. 

Seorang lelaki di Hong Kong meletakkan bunga di depan foto dr. Li Wenliang yang meninggal akibat virus corona jenis baru.Foto: picture-alliance/dpa/AP/Kin Cheung

Sebagai pengacara hak asasi manusia di Cina, bagaimana Anda menilai Beijing dalam menangani epidemi ini dan mengapa pihak berwenang menyensor informasi secara online?

Sejak awal Beijing mencoba menyembunyikan epidemi virus corona sepenuhnya dari publik Cina. Tanpa adanya perlindungan yang tepat, staf medis garis depan bisa terpapar virus yang sangat mudah menular. Keadaan ini semakin meningkatkan risiko staf medis untuk tertular penyakit ini.

Setelah epidemi berkembang tanpa terkendali, pemerintah memberlakukan karantina di seluruh Cina. Namun, saya ragu bahwa langkah ini bisa menghentikan penyebaran virus. Karena alasan politik, mereka mencegah para pakar Barat untuk masuk ke Cina guna membantu memerangi epidemi.

Pihak berwenang menyensor informasi tentang virus di media sosial karena mereka takut publik Cina mengetahui kebenaran tentang betapa tidak kompetennya mereka.

Pemerintah Cina mengontrol kekuasaan dengan memaksa masyarakat untuk mengadopsi narasi tunggal, yaitu apa pun yang dikatakan Beijing. Mereka melindungi kepentingan sendiri, bukannya kepentingan kesehatan publik.

Apakah kematian dokter Li telah menantang narasi pihak berwenang?

Kematian Li menghancurkan klaim pemerintah Cina bahwa hak asasi manusia seperti kebebasan berbicara tidak ada kaitannya dengan apa yang disebut "hak untuk bertahan hidup."

Setelah kematian Li, netizen di Cina menyadari bahwa akses bebas terhadap informasi adalah hak yang penting untuk kelangsungan hidup dan keselamatan selama epidemi ini.

Pengalaman Li Wenliang adalah mikrokosmos kehidupan masyarakat Cina. Di negara ini, siapa pun bisa mengalami apa yang dialami Li Wenliang. Kematiannya menggetarkan banyak orang dan saya percaya itu sangat penting.

Karenanya, kami menuntut agar para pemimpin Cina menjamin hak asasi manusia sebelum berbicara mengenai bagaimana memastikan kelangsungan hidup semua orang.

Bagaimana keadaan advokasi HAM saat ini di Cina?

Inisiatif yang dimulai oleh para intelektual ini sangat penting karena hak asasi manusia dan supremasi hukum di Cina telah memburuk dalam beberapa tahun terakhir.

Sejak peristiwa "709" yaitu penumpasan terhadap aktivis hak asasi manusia pada tahun 2015, pemerintah Cina telah menahan sejumlah besar jurnalis dan kaum intelektual. Tetapi Cina membutuhkan kaum intelektual untuk membantu memimpin negara. Di masa lalu, kebijakan-kebijakan yang menekan dan menghukum para intelektual telah membuat Cina berada di ambang bencana.

Wang Yu adalah seorang pengacara hak asasi manusia asal Cina yang berbasis di Beijing.

Wawancara ini dilakukan oleh William Yang dari kantor DW Taipei.

(ae/ha)