1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikPrancis

Kematian Remaja Prancis Picu Perdebatan Isu Kekerasan Polisi

30 Juni 2023

Kerusuhan meluap, setelah seorang remaja ditembak mati saat berhenti di lampu merah. Insiden yang menurut Presiden Macron “tidak dapat dimaafkan” itu, menimbulkan pertanyaan tentang aksi kekerasan polisi di Prancis.

Protes Kekerasan Polisi terhadap Remaja di Prancis
Warga memenuhi jalanan di Nanterre, untuk mengenang kematian Nahel yang berusia 17 tahunFoto: Ibrahim Ezza/NurPhoto/IMAGO

Penembakan fatal terhadap seorang remaja oleh polisi di Paris telah meletuskan kemarahan warga Prancis. Video yang disaksikan oleh para saksi mata itu menunjukkan Nahel, 17 tahun, ditembak oleh seorang petugas polisi dari jarak dekat, saat sedang berhenti di lampu merah.

Menurut Presiden Prancis Emmanuel Macron, insiden ini "tidak dapat dimaafkan" dan seorang perwira polisi telah didakwa melakukan pembunuhan secara sukarela.

Nanterre tengah berduka

Jalanan-jalanan di kampung halaman Nahel di pinggiran kota Paris pun dipenuhi para pengunjuk rasa pada hari Kamis (29/06), di mana banyak dari mereka mengenakan pakaian serba putih.

Para pengunjuk rasa membawa papan bertuliskan "Keadilan untuk Nahel" dalam sebuah pawai di NanterreFoto: Michel Euler/AP Photo/picture alliance

Ketika semua orang datang ke Nanterre untuk memberikan penghormatan terakhir kepada Nahel, suara sirene terus berbunyi membuat suasana menjadi lebih tegang, dengan penjagaan ketat oleh para polisi.

Bentrokan antara pengunjuk rasa dan polisi pun tak terhindarkan. Menteri Dalam Negeri Prancis Gerald Darmanin mengatakan bahwa setidaknya 170 polisi terluka, namun memuji respon tanggap para aparat dengan mengatakan bahwa, "mereka sangat profesional bahkan dalam kondisi sulit sekali pun dan saya ingin menegaskan kembali dukungan dan kepercayaan saya kepada mereka, dengan menyatakan bahwa saya, tentu saja, ada di sisi mereka," tegasnya kepada para wartawan pada hari Kamis (29/06).

"Kami tinggal di negara yang tidak aman. Ketika kami pergi ke luar, kami bisa mati kapan saja," kata seorang pengunjuk rasa kepada tim DW. "Kami tinggal di Prancis yang seharusnya berarti 'kebebasan, kesetaraan, persaudaraan,' tapi itu tidak ada lagi. Kini polisi membuat aturan dengan hanya melakukan apa yang mereka inginkan. Jika mereka memutuskan untuk membunuh seseorang, mereka akan melakukannya," tambahnya.

"Saya turut berduka cita untuk keluarganya," kata seorang warga setempat. "Dia masih sangat muda, baru berusia tujuh belas tahun, di mana seharusnya masa depan ada di depan matanya."

Apakah aksi kekerasan polisi tengah meningkat di Prancis?

Kelompok Jaringan Eropa Melawan Rasisme mengatakan bahwa kematian Nahel, yang diketahui memiliki keturunan asal Afrika Utara, menimbulkan "pertanyaan mendesak tentang penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh lembaga penegak hukum, terutama terhadap kelompok-kelompok rasial”.

Dalam sebuah pernyataan yang dikirim ke tim DW, kelompok kampanye tersebut meminta pemerintah Prancis untuk "mengambil tindakan secepat mungkin dalam mengatasi kekhawatiran yang disampaikan oleh organisasi masyarakat sipil dan kelompok-kelompok hak asasi manusia mengenai impunitas dan kepolisian rasial di Prancis."

Jacques de Maillard adalah seorang profesor ilmu politik di Universitas Versailles-Saint-Quentin dan penulis buku "Comparative Policing" atau "Perbandingan Kepolisian” yang terbit pada tahun 2022. De Maillard mengatakan kepada tim DW bahwa kematian Nahel bukan kasus biasa. Menurutnya, "degradasi hubungan antara polisi dan pemuda kelas pekerja dari latar belakang etnis minoritas merupakan elemen kunci dari situasi di Prancis.”

"Dalam hal menjaga ketertiban umum, tidak dapat disangkal bahwa telah terjadi aksi kekerasan oleh polisi dalam beberapa tahun terakhir," kata de Maillard. Ilmuwan politik itu juga merujuk pada undang-undang tahun 2017 yang melonggarkan kondisi di mana aparat polisi dapat melepaskan tembakan ke arah kendaraan yang mencoba melarikan diri dari tempat perkara kejadian.

Bentrokan antara polisi dan pengunjuk rasa, serta aksi pembakaran, tak terhindari di NanterreFoto: Geoffroy VAN DER HASSELT/AFP

Kasus insiden penembakan polisi justru menurun

Juru bicara kepolisian Prancis, Sonia Fibleuil, justru menepis tuduhan tentang meningkatnya aksi kekerasan oleh polisi di negara tersebut.

"Ada 157 insiden yang melibatkan tembakan ke arah kendaraan yang tengah melaju pada tahun 2021, dan ada 138 inside pada tahun 2022. Jadi, kasus insiden itu sendiri sedikit menurun," terangnya kepada lembaga penyiaran Public Sénat pada hari Rabu (28/06).

Fibleuil menambahkan bahwa penggunaan senjata api oleh aparat polisi itu juga terus menurun, dari sebelumnya pada 2019 ada lebih dari 300 insiden per tahun, turun menjadi 285 pada tahun 2022.

"Ketika sebuah tembakan operasional dilepaskan, itu karena kami berkewajiban untuk melakukannya. Kita tidak boleh lupa bahwa kerangka hukum ... menguraikan proporsionalitas yang ketat dan keharusan mutlak," jelas Fibleuil. Dia bahkan mengakui bahwa rekor jumlah kematian akibat kecelakaan lalu lintas pada tahun 2022, justru lebih "dramatis."

De Maillard mengatakan bahwa ada "perbedaan yang tidak dapat diabaikan" dalam pendekatan terhadap kepolisian di Prancis, dibandingkan dengan Jerman dan Inggris. "Apa yang tampak berbeda bagi saya di kedua negara ini adalah bahwa pertanyaan tentang legitimasi polisi lebih membebani para pembuat kebijakan dan para pemimpin polisi," ujarnya.

Para pegiat menuntut reformasi pelayanan kepolisian PrancisFoto: ZAKARIA ABDELKAF/AFP

Para pegiat menuntut reformasi kepolisian setelah kematian seorang remaja

Kelompok pegiat Jaringan Eropa Melawan Rasisme menuntut dibentuknya badan independen untuk menyelidiki kasus kematian Nahel ini.

"Berakhirnya masa depan seorang anak muda yang begitu cepat akibat aksi kekerasan oleh polisi yang rasis, menuntut keadilan dan reformasi segera," kata kelompok kampanye tersebut pada hari Kamis (29/06).

"Insiden seperti ini hanya memperlebar jurang pemisah antara penegak hukum dan orang-orang yang seharusnya mereka lindungi," tambah para pegiat. "Hanya melalui upaya kolaboratif dan pendefinisian ulang kepolisian, kita dapat berharap untuk membawa perubahan yang berarti dan memastikan bahwa tragedi seperti ini tidak akan terjadi lagi."

Peneliti Jacques de Maillard juga berpendapat bahwa ada sesuatu yang harus diubah. Menurutnya, "bukan berarti institusi kepolisian gagal total, tapi ada tanggung jawab kolektif."

"Di mata saya, institusi ini harus memiliki tugas lebih dalam penerapan sistem perekrutannya, pelatihan dan manajemen yang menekankan pemeriksaan independen terhadap tindakan seorang petugas polisi."

Beberapa pengunjuk rasa membakar mobil dan menyalakan kembang apiFoto: Geoffroy VAN DER HASSELT/AFP

Apa yang menyebabkan kerusuhan di Prancis?

Kerusuhan ini dipicu oleh pembunuhan seorang pengemudi remaja berusia 17 tahun oleh seorang polisi di pinggiran kota Paris, Nanterre, pada hari Selasa (27/06) pagi waktu setempat.

Awalnya, menurut laporan polisi, aparat tersebut melepaskan tembakan karena remaja itu dianggap mengarahkan kendaraannya ke arahnya. Namun sebuah video yang beredar di media sosial, yang diverifikasi oleh kantor berita Reuters dan AFP, menunjukkan ada dua orang polisi berdiri di samping mobil yang tidak bergerak dan salah satunya menodongkan senjata ke arah sang pengemudi.

Aksi protes di Prancis itu pun berlangsung panas selama dua malam berturut-turut, di mana sekitar 150 warga ditangkap dan bangunan sekolah-sekolah, balai kota, hingga kantor polisi pun turut dirusak di seluruh penjuru negeri.

Kementerian Dalam Negeri Prancis juga mengatakan, setidaknya  2.000 polisi telah dikerahkan di seluruh wilayah Paris, dan puluhan di antaranya terluka setelah bentrokan tersebut.

Aparat polisi berusia 38 tahun yang melepaskan tembakan fatal tersebut kini telah ditahan dan tengah diselidiki atas tuduhan pembunuhan tidak disengaja.

(kp/rs)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait