Anda setuju euthanasia? Kematian, seperti halnya asal mula semesta, adalah sebuah pertanyaan yang akan selalu hadir tanpa jawaban dengan jaminan kebenaran.
Iklan
Jerika Bolen, gadis berusia 14 tahun asal Wisconsin, Amerika Serikat, memutuskan mengakhiri hidupnya. Dengan seizin ibunya dan konsultasi intens dengan tim medis, ia memilih jalan euthanasia setelah 38 kali menjalani operasi akibat penyakit spinal muscular atrophy (SMA) yang ia derita sejak bayi.
Penyakit yang tak bisa disembuhkan ini menimbulkan sakit yang tak terperikan. Jerika hanya bisa hidup dengan bantuan ventilator setidaknya 12 jam sehari. Selama hidupnya, Jerika menahan sakit yang berkepanjangan dan menghabiskan sebagian besar waktunya di tempat tidur. Beberapa bulan setelah ulang tahunnya yang ke-14, ia pun memutuskan untuk berhenti menggunakan ventilator dan membiarkan dirinya mati dengan didampingi ibu dan dua ekor anjingnya.
Sebagai pengidap penyakit spinal muscular, tanpa mengakhiri nyawa pun, secara medis Erika dipastikan mati dengan kondisi yang semakin memburuk. Ia akan kehilangan kemampuan mengontrol tangannya dan kemampuan bicara, dibarengi dengan rasa sakit yang luar biasa dan ia pun harus menjalani sejumlah operasi lagi. Jerika memilih untuk tidak menunggu kematian. Ia memutuskan menjemput kematian dengan prosedur euthanasia. Sebuah pilihan rasional.
Kematian adalah misteri. Dalam Kitab Wahyu, kaum Nasrani diyakinkan bahwa kematian datang seperti pencuri yang mengendap-endap di malam hari untuk mencuri barang yang paling berharga. Lebih jauh lagi dalam Kitab Pengkhotbah bab 9 ayat 12, kematian digambarkan seperti binatang yang tiba-tiba terjerat. "Karena manusia tidak mengetahui waktunya. Seperti ikan yang tertangkap dalam jala yang mencelakakan, dan seperti burung yang tertangkap dalam jerat, begitulah anak-anak manusia terjerat pada waktu yang malang, kalau hal itu menimpa mereka secara tiba-tiba.”
Merencanakan ajal
Ajal memang tak bisa ditebak, dan sepenuhnya kuasa Ilahi. Tapi bagi sebagian orang ternyata ajal bisa direncanakan, entah lewat bunuh diri atau lewat prosedur euthanasia yang melalui proses konsultasi dengan tim medis, termasuk psikolog dan psikiater. Dan Jerika tak sendiri. Ada banyak kasus euthanasia dilakukan dengan beragam alasan. Menurut survei Gallup, 7 dari 10 warga Amerika Serikat mendukung euthanasia pada pasien yang hidup dengan sakit berkepanjangan dan tak bisa lagi disembuhkan. Baru-baru ini, Casey Kasem, bintang radio legendaris Amerika Serikat, memilih mati pada usia 82 tahun dengan dikelilingi anak keluarga dan teman-temannya. Casey menderita penyakit Parkinson.
Bagi sebagian orang, Euthanasia menjadi sebuah kebutuhan, demikian pula assisted suicide (aksi dilakukan oleh pasien sendiri, dengan obat yang diberikan dokter). Meskipun kontroversial, euthanasia legal dilakukan di Belanda, Belgia, Kolombia, Luksemburg. Sementara, assisted suicide dilindungi undang-undang di Swis, Jerman, Jepang, Kanada, dan di beberapa negara bagian Amerika Serikat seperti Washington, Oregon, Vermont, Montana, dan Kalifornia.
Kematian sebagai sebuah pilihan, apapun alasannya, mungkin tak pernah melintas di kepala kebanyakan orang. Kenyataannya di luar urusan euthanasia dan assisted suicide yang masih memiliki pembenaran, bunuh diri tanpa alasan medis pun banyak terjadi. Penyebabnya hampir mirip: keengganan melanjutkan hidup yang pedih tak terperi. Di Indonesia, kepedihan menjalani hidup mungkin bukan lewat penyakit spinal muscular atrophy seperti yang diderita Jerika, tapi lewat kemiskinan. Di Kupang, seorang siswa kelas 5 SD menggantung diri di pohon jambu air karena tak kuat menghadapi kemiskinan. Mayat bocah berusia 11 tahun ini ditemukan sang kakak yang hendak mencari kayu bakar. Di Cina, seorang anak berusia 10 tahun memilih mati dengan cara menabrakkan dirinya ke kendaraan yang ramai melintas di jalan raya. Ia tak kuat menghadapi tekanan sang ibu yang tak putus-putusnya memaksa ia belajar. Di negara-negara Barat, kasus bully sering menjadi alasan remaja bunuh diri.
Patah Hati Bisa Membunuhmu
Hati remuk karena ditinggal orang yang dicintai? Patah hati bisa berujung pada kematian. Penelitian menunjukkan, seseorang yang ditinggal pasangan bisa mengalami gangguan atrial fibrilasi (AF) ataupun sindrom Takotsubo.
Foto: picture-alliance/dpa/V. Bonn-Meuser/
Risiko stroke dan kematian
Dalam dua dekade terakhir, atrial fibrilasi (AF) atau denyut jantung tidak teratur, menjadi penyebab peningkatan risiko stroke dan kematian. Di Amerika Serikat, prevalensi AF diprediksi meningkat dari 5.2 juta pasien pada tahun 2010 menjadi 12.1 juta kasus pada tahun 2030.
Foto: Fotolia/Dmytro Tolokonov
Faktor lain yang memicu
Dalam sebuah penelitian yang dipublikasikan jurnal online Open Heart, tim peneliti Denmark berbasis di Aarhus University melaporkan temuan hubungan kematian pasangan dengan peningkatan resiko atrial fibrilasi. Pemicu lainnya, bisa saja dari penyakit lain, kelelahan, alkohol, kafein dan stres emosional.
Foto: Fotolia/lassedesignen
Satu bulan setelah berkabung
Penelitian ini menyelidiki catatan rumah sakit di Denmark, antara tahun 1995.-2014, ditemukan lebih dari 80 ribu pasien mengidap sindrom ini. Hasil penelitian menunjukkan, mulai dari 1 hingga 30 hari setelah kematian pasangan, risiko terkena AF bisa meningkat hingga 41% lebih tinggi dari rata-rata. Risiko tertinggi muncul 8-14 hari setelah pasangan pergi (90% lebih tinggi dari rata-rata).
Foto: Fotolia/Doreen Salcher
Lebih beresiko pada usia bawah 60 tahun
Risiko ini lebih tinggi di antara orang-orang di bawah usia 60 dan di antara mereka yang pasangannya meninggal tak terduga. Dalam penelitian ini, gangguan jantung atau hormon stres pasien dipantau sejak pasien masuk rumah sakit.
Foto: Fotolia/Kitty
Mendukung temuan di Jepang
Temuan ilmiah selama 25 tahun terakhir ini tampaknya mendukung penelitian “broken heart syndrome" sebelumnya, yang juga dikenal sebagai kardiomiopati akibat stres atau Takotsubo cardiomyopathy. Pertama kali gejala ini diteliti tahun 1990 di Jepang dan baru-baru ini secara global diakui sebagai kondisi medis yang nyata.
Foto: Fotolia/ lassedesignen
Gejala sindrom patah hati
Takotsubo cardiomyopathy terjadi tiba-tiba dan tak terduga, bahkan bisa menimpa orang yang tadinya sehat). Gejalanya termasuk nyeri dada dan sesak napas. Gejala ini menyerupai serangan jantung tetapi tidak terjadi pemblokiran pembuluh darah jantung. Sindrom Takotsubo menyumbang sekitar 2-5% dari kasus serangan jantung.
Foto: Fotolia
Perempuan di atas 50 tahun lebih beresiko
Jumlah penderita Takotsubo cardiomyopathy lebih tinggi menimpa perempuan di atas usia 50 tahun. Takotsubo cardiomyopathy biasanya dipicu oleh peristiwa stres emosional atau fisik seperti berkabung atau bencana besar seperti gempa bumi.
Foto: picture-alliance/dpa
Melemahkan fungsi jantung
Mekanisme yang tepat mengarah ke Takotsubo cardiomyopathy tidak diketahui tetapi beberapa bukti menunjukkan pelepasan berlebihan hormon stres, seperti adrenalin, bertindak sebagai pemicu awal yang menyebabkan melemahnya otot jantung. Gangguan jantung bisa berakibat sangat berbahaya.
Foto: Fotolia
8 foto1 | 8
Kepedihan bagi yang ditinggalkan
Kematian memiliki beragam tafsir. Agama—dengan versinya masing-masing—meyakini adanya kehidupan setelah mati. Dalam konsep beragama, tak ada ruang yang membenarkan euthanasia, assisted suicide, atau bunuh diri. Perbuatan mengakhiri hidup sendiri menjauhkan manusia dari surga yang menjadi tujuan akhir. Sementara Ateis merasionalisasi bahwa semua bentuk kehidupan berakhir dengan kematian, dan elemen yang membentuk tubuh akan kembali ke alam semesta lantas tumbuh menjadi organisme baru. Tanpa adanya konsep kehidupan setelah mati, tak ada persoalan bagi kaum Ateis dalam memilih cara kematian, baik secara alamiah atau dengan keinginan sendiri.
Tafsir-tafsir tentang kematian berusaha menjawab rasa penasaran manusia akan misteri kematian. Sayangnya kematian, seperti halnya asal mula semesta, adalah sebuah pertanyaan yang akan selalu hadir tanpa jawaban dengan jaminan kebenaran. Yang pasti, bagi mereka yang ditinggalkan, kematian adalah kejadian menyesakkan yang menciptakan kesedihan mendalam. Meski bagi yang menjalaninya, kematian mungkin justru tak menakutkan. Seperti yang diungkap Oscar Wilde dalam The Canterville Ghost: Death must be so beautiful. To lie in the soft brown earth, with the grasses waving above one's head, and listen to silence. To have no yesterday, and no to-morrow. To forget time, to forget life, to be at peace.
Penulis: Uly Siregar (ap/vlz)
Uly Siregar bekerja sebagai wartawan media cetak dan televisi sebelum pindah ke Arizona, Amerika Serikat. Sampai sekarang ia masih aktif menulis, dan tulisan-tulisannya dipublikasikan di berbagai media massa Indonesia.
@sheknowshoney
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Ritual Duka di Kalangan Binatang
Menggiriskan jika melihat bagaimana binatang berduka jika salah satu dari anggota kelompoknya mati. Apa yang dilakukan binatang untuk mengatasi rasa sedihnya?
Foto: picture-alliance/dpa/F. Gentsch
Tidak Bisa Dipisahkan
Ibu gorila bernama Gana di kebun binatang Münster Jerman, tidak bisa menerima bahwa anaknya, Claudio sudah mati.Selama beberapa hari ia menggendong jasad Claudio, dan melindunginya dari pekerja kebun binatang. Ini bukan hal aneh bagi semua jenis monyet, demikian peneliti. Beberapa induk bahkan menggendong bayinya, yang sudah jadi mumi, selama berminggu-minggu.
Foto: picture-alliance/dpa/F. Gentsch
Penguburan di Laut
Mamalia laut, seperti paus pembunuh, lumba-lumba juga membawa anaknya yang mati untuk sementara waktu, walaupun ini bukan pekerjaan mudah di dalam air. Peneliti mencatat bagaimana ibu lumba-buma berusaha mendorong jasad anaknya dengan moncongnya. Jika jasad tenggelam, si ibu berenang mengejarnya. Jika lumba-lumba dewasa mati, rekan-rekannya juga menjaga jasadnya selama berhari-hari.
Foto: Public Domain
Berduka Sangat Lama
Gajah terkenal dengan ingatannya yang sangat baik. Jadi tak heran, jika hewan ini berduka sangat intensif dan lama untuk rekan yang mati. Jika seekor gajah mati, yang lainnya menjaga jasadnya. Gajah-gajah dari kelompok lain juga datang menengok yang mati. Gajah juga kadang berkunjung ke kerangka gajah lain dan menyentuh tengkorak dengan belalainya.
Foto: picture alliance/WILDLIFE/M. Harvey
Perawatan Kulit Sebagai Cara Menghibur
Monyet Babun menunjukkan tanda stres sangat jelas jika anggota kelompoknya mati. Hormon stres di darah mereka jelas meningkat, demikian peneliti. Untuk mengatasi rasa duka, babun mencari teman-temannya. Hewan ini kemudian mengadakan perawatan kulit bersama, karena itu membantu menurunkan hormon stres.
Foto: picture alliance/chromorange
Memanggil untuk Mengucapkan Selamat Tinggal
Jika seekor burung gagak mati, gagak lain mengumpulkan anggota kelompok, dan bersama-sama berkumpul dekat jasad gagak yang mati. Mereka juga berpuasa setelah ada yang mati. Dampak duka sangat nyata pada burung yang hidup dengan satu pasangan saja, misalnya angsa dan burung-burung penyanyi. Kadang pasangannya berhenti makan sampai akhirnya mati juga.
Ikan tiba-tiba menjadi sangat pendiam setelah ikan lain yang hidup di akuarium yang sama mati. Peneliti menduga, sikap ini diakibatkan hormon stres yang dilepas ke air oleh ikan yang hampir mati. Beberapa penelitian berusaha mengungkap apakah ikan berduka. Tapi indikasinya bisa dilihat, terutama pada ikan yang hidup dengan satu pasangan.
Duka juga bisa dirasakan binatang bagi teman dari spesies lain. Itu ditunjukkan kucing Muschi kepada beruang Mäuschen di kebun binatang Berlin. Keduanya berteman. Ketika Mäuschen mati, Muschi tidak bersedia meninggalkan sarang beruang, dan tidak berhenti mengeong dengan sedih.
Foto: picture-alliance/dpa/A. Rüsche
Menjaga di Kuburan
Orang yang anjing peliharaannya mati, selalu menunjukkan perasaan sangat sedih. Demikian halnya jika anjing kehilangan tuannya. Anjing gembala Capitan menjaga selama bertahun-tahun makam tuannya di kuburan Villa Carlos Paz di Argentina.