Pada 23 November 1945, sebuah pesawat Dakota yang membawa 20 tentara Inggris resimen Kumaon (India) kecelakaan dan mendarat darurat di Rawa Gatel, Bekasi. Semua penumpangnya selamat, tapi tak lama masyarakat setempat menangkapi dan membunuhi mereka. Ada yang bilang mereka terhasut emosi akibat perlakuan para tentara yang tidak bersahabat, lainnya mengatakan eksekusi tersebut memang telah direncanakan gerilyawan/laskar setempat yang menganggap setiap tentara asing adalah musuh. Inggris merespons keras, menurunkan tentaranya untuk menghukum Bekasi. Kampung-kampung dibakar, ribuan rakyatnya terpaksa mengungsi.
Peristiwa Rawa Gatel hanyalah contoh kecil dari peristiwa-peristiwa serupa yang terjadi saat Indonesia mempertahankan kemerdekaannya. Amukan rakyat terhadap orang-orang bukan pribumi tanpa pandang bulu, bertolak belakang dengan instruksi pemerintah pusat, kerap terjadi. Proses kemerdekaan memang tidak selalu elegan, namun bukan berarti kekerasan terlewat batas dapat dibenarkan. Terlebih, ketika kekerasan tersebut berbalas dengan kekerasan yang lebih parah. Lingkaran setan yang membuat revolusi Indonesia berdarah-darah; panggung tempat kemanusiaan absen bagi mereka yang ingin merdeka maupun yang menolaknya.
Di Belanda, topik sejarah kekerasan di Indonesia terus menjadi pembicaraan publik. Mereka menganggap orang-orang Indonesia, khususnya pro-Republik, bersalah karena bertindak ekstrim ketika Sekutu membutuhkan kedamaian di bekas-bekas wilayah kekuasaan pihak Jepang yang dikalahkannya. Dalihnya, kekuasaan Jepang di Indonesia sesungguhnya tidak pernah diterima dan tatanan kolonialisme Belanda akan kembali. Padahal yang kini dihadapi Belanda adalah masyarakat yang telah sadar dan marah besar terhadap semua orang asing yang sudah menjajah, membawa perang, dan dengan arogannya berusaha kembali berkuasa, di tanah air mereka.
Perbedaan perspektif ini tergambar dalam film De Oost yang tayang di Indonesia pada pertengahan 2021 lalu. Tokoh utamanya, Johan, dan kawan-kawannya adalah sekumpulan tentara muda Belanda yang dikirim ke Indonesia pasca Perang Dunia II usai. Dengan bermodalkan doktrin bahwa ia ditempatkan di Indonesia untuk membantu rakyat Indonesia, dan pertemuan dengan Westerling yang terkenal akan kekejamannya, perlahan-lahan penonton dibawa untuk merasakan kecanggungan dan konflik batin Johan saat ia sadar bahwa konflik Belanda-Indonesia bukanlah sekedar masalah hitam atau putih.
De Oost dan Pencitraan Kekerasan
Sebuah desa diserbu sepasukan berbaju hitam. Rumah-rumah dibakar, lalu orang-orangnya dikumpulkan. Komandan pasukan tersebut, Westerling, lalu menggelar meja. Ia menyebutkan nama-nama orang yang dicurigai sebagai pejuang Republik, meminta orangnya menghadap, sekali lagi mengklarifikasi nama orang tersebut, lalu akhirnya menembaknya sampai mati. Ia menjadi hakim, juri, dan eksekutor. Johan awalnya hanya merasa tersentak, namun ketika desa-desa lain diserbu dan pemandangan serupa terulang, ia pun mulai teralienasi. Johan mencoba desersi dari kesatuan jagalnya tersebut. Dan kembali ke Belanda dengan depresi.
Hampir semua orang Indonesia mengenal nama Westerling dan sejarah petualangan berdarahnya di Sulawesi Selatan pada 1946-1947. Diperkirakan sekitar 40.000 jiwa melayang di bawah komando pasukan mautnya. De Oost berhasil menggambarkan sosok Westerling sebagai karakter penjajah Belanda yang selama ini terpatri dalam bayangan orang-orang Indonesia: dingin, bengis, dan haus darah. Kekejamannya tidak hanya membuat gelisah orang-orang Indonesia, namun juga orang-orang seperti Johan, yang dalam film ini merepresentasikan sisa-sisa kegelisahan orang-orang Belanda kontemporer terhadap dosa bangsanya di Indonesia pada masa lalu.
Pemahaman tersebutlah yang coba disampaikan sang sutradara, Jim Taihuttu. De Oost bukan film epik. Ia menekankan studi karakter dan transformasi psikologis Johan dengan perang di Indonesia sebagai latarnya. Meski ceritanya klise, orang-orang Belanda maupun Indonesia merasakan sensasi eksklusif ketika menontonnya. Nyatanya kekejaman Westerling seperti yang digambarkan De Oost adalah sebuah penyesalan sejarah bagi orang-orang Belanda. Di Indonesia, ia kian meningkatkan kegeraman terhadap penjajahan. Namun, narasi kekerasan dalam film ini jangan ditafsirkan hanya sampai di situ saja.
Belanda masih kesulitan melontarkan maaf ke Indonesia terkait sejarah dan aksi-kasi kekerasannya di Indonesia. Ia merupakan aib yang pantang diakui, apalagi jika menempatkan mereka dalam posisi lebih rendah dan harus bertanggung jawab memberikan sekian kompensasi. Hasilnya, mereka mencitrakan sejarahnya sendiri dengan narasi simpatik. Karakter Johan contohnya, yang muak dengan pembantaian Westerling dan bersimpati terhadap penderitaan orang-orang Indonesia, kemudian ditampilkan sebagai pahlawan moral dengan mengkhianati orang-orangnya sendiri. Pesan akhir yang ingin disampaikan De Oost adalah: tidak semua orang Belanda kejam.
Ini adalah pesan yang wajar untuk disampaikan, namun menjadi bermasalah karena Belanda belum menyelesaikan masalah utamanya, yakni pengakuan bahwa mereka melakukan kekerasan sistematis untuk menjalankan (kembali) kolonialismenya. Tanpa itu, seorang Indonesia yang memiliki kepekaan sejarah, menonton De Oost hanya akan terasa seperti sedang digurui. Jika De Oost adalah ekspresi permintaan maaf, ia masih jauh dari mencukupi untuk ditanggapi karena penjajahan adalah hal amat sensitif dan traumatis bagi orang-orang Indonesia, yang pengaruhnya masih dapat dirasakan hingga saat ini.
Dengan begitu, apakah Indonesia lantas terbebas dari dosanya sendiri? Tentu tidak. Apa yang dilakukan Belanda tidak mengeliminasi, misalnya, Peristiwa Rawa Gatel yang disebutkan di awal, atau kekerasan-kekerasan serupa yang dilakukan pihak Indonesia. Banyak pembunuhan, perampokan, dan tindakan kriminal biadab lain, di luar konteks perang, yang juga dilakukan oleh orang-orang Indonesia atas nama revolusi, bukan hanya terhadap orang-orang asing, bahkan sesamanya. Banyak gerombolan bersenjata yang mengaku memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, namun kerap bertindak seenaknya dan lalu merugikan posisi Indonesia itu sendiri.
De Oost menggambarkannya dengan menampilkan sebuah kepala terpenggal. Kepala itu adalah milik seorang kepala desa yang di adegan sebelumnya menjamu kompi Johan yang tengah patroli. Malamnya, desanya didatangi orang-orang Republik. Mungkin karena dianggap pengkhianat, ia kemudian dieksekusi. Pembunuhan orang-orang sipil akibat label pengkhianat Indonesia yang serampangan ini tidak berhenti ketika Belanda menyingkir. Ia terus berlanjut dalam setiap konflik bertajuk Indonesia-bukan Indonesia, misalnya pada pembantaian orang-orang terduga komunis pasca Peristiwa 1965.
Berhati-hati Menafsirkan Kepahlawanan
Batasan antara heroisme dan terorisme itu tipis, apalagi ketika kekerasan menjadi instrumen pertunjukannya. Pihak Indonesia dan Belanda sama-sama melakukan hal yang melewati batas sepanjang tahun 1945-1949. Tidak ada perang yang berakhir baik tanpa ada yang akhirnya terluka karenanya. Keengganan pemerintah kedua pihak untuk saling mengakui kesalahan masing-masing secara terbuka membuat hubungan kedua negara canggung, dan masyarakatnya yang telah disuapi sejarah versi masing-masing, yang isinya tentu saling mengantagoniskan kubu masing-masing pula, akhirnya saling mudah berselisih paham ketika membicarakan masa lalu bersamanya.
Belanda bertindak lebih dewasa dengan mensponsori tiga lembaga penelitiannya (KITLV, NIMH, dan NIOD) untuk meneliti sejarah kekerasan Belanda di Indonesia pada 1945-1949. Meski kontroversial, karena penelitian tersebut dikhawatirkan menjadi alat cuci tangan Belanda dan pelemparan kesalahan ke pihak Indonesia, niatan pemerintah untuk membuka tabir sejarah negaranya di episode terkelamnya seperti ini adalah sesuatu yang dibutuhkan pula di Indonesia. Indonesia lahir dari kepahlawanan, namun publik Indonesia sekarang pun berhak tahu fakta apakah kepahlawanan tersebut terbentuk dari niatan suci atau kebengisan semata.
@RahadianRundjan adalah esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis