Jurang antara kaya dan miskin jauh lebih lebar lagi dibanding 30 tahun silam. Konsekuensinya, makin banyak warga dunia tidak memiliki akses menuju kemakmuran yang diciptakan peradaban. Komentar Grahame Lucas.
Iklan
Satu persen orang-orang terkaya dunia, dalam waktu dekat akan menguasai 50 persen dari seluruh kekayaan global. Konkretnya: 80 orang terkaya dunia makin meningkatkan harta kekayaannya, hingga mencapai 1,9 trilyun US Dollar atau naik 600 milyar US Dollar dalam kurun waktu hanya empat tahun. Dalam waktu bersamaan, andil rakyat miskin yang mencakup separuh populasi dunia terhadap kemakmuran juga semakin menurun.
Ini adalah sanggahan keras terhadap teori "Trickle Down" yang diusung sejumlah sekolah tinggi ekonomi terkemuka. Teori meyakini: keuntungan pertumbuhan ekonomi tidak hanya dinikmati orang kaya dan kelas pengusaha, melainkan juga menetes hingga segmen buruh miskin.
Organisasi bantuan humaniter Inggris Oxfam mengingatkan kita semua, bahwa uang pajak rakyat awam di seluruh dunia yang menyelamatkan sistem moneter dunia dari keruntuhan akibat guncangan krisis perbankan di tahun 2008. Tapi setelah itu, perusahan multinasional tidak berbuat banyak untuk membagi keuntungan produktifitas kepada para buruhnya.
Peluang untuk memberantas kemiskinan di seluruh dunia dalam 20 hingga 30 tahun ke depan tidaklah menggembirakan. Juga beban memberantas kemiskinan yang ditimpakan kepada pemerintahan atau kalangan bisnis, tidak bisa diselesaikan dalam jangka pendek. Aksi semacam itu juga tidak akan membantu upaya mereka untuk terpilih kembali.
Tokoh politik bersangkutan mungkin sudah lengser cukup lama, sebelum kemajuan substansialnya tampak. Namun para pemimpin negara maju diharapkan menyusun agenda untuk generasi mendatang. Termasuk mendiskusikan langkah yang diperlukan untuk mendongkrak ekonomi global. Namun agenda semacam itu, juga harus merancang bagaimana agar kalangan paling miskin bisa memetik manfaat lebih banyak.
Artinya pembangunan harus sukses dan peluang pendidikan harus meningkat. Banyak cara untuk mencapai tujuan ini.
Di Jantung Kemiskinan Eropa
Lebih dari 30 juta manusia hidup di terpinggirkan di Eropa, tanpa air bersih dan jaringan listrik. Sebagian adalah pecundang krisis ekonomi, sisanya etnis minoritas yang terlupakan.
Foto: FILIPPO MONTEFORTE/AFP/Getty Images
Realita buat Kaum Sinti & Roma
Sebagian besar anggota etnis minoritas Sinti dan Roma hidup di kawasan kumuh di pinggir kota-kota besar Eropa. Mereka yang terusir dari kampung halamannya sendiri itu terpaksa hidup berpindah-pindah. Sebab itu pula mereka tidak memiliki akses ke jaringan kesehatan dan bantuan sosial, terlebih pasar tenaga kerja di Eropa.
Foto: DW
Stigma Umum
Sebagian besar kawasan kumuh dibangun secara ilegal. Namun belakangan pemerintah lokal mulai mengakomodir kebutuhan kaum miskin. Menurut penelitian Komisi Eropa, satu dari empat warga Eropa merasa tidak nyaman memiliki suku Roma sebagai tetangga. Sebaliknya anggota etnis Roma yang hidup di kampung kumuh juga menghadapi diskriminasi setiap hari.
Foto: Pablo Blazquez Dominguez/Getty Images
Beratapkan Kemiskinan
Kondisi hidup kaum miskin di kawasan kumuh memenuhi definisi Perserikatan Bangsa Bangsa perihal rumah tangga kumuh, yakni ketidakadaan akses terhadap air bersih dan layanan kesehatan, serta kondisi rumah yang tidak bisa melindungi pemiliknya dari cuaca ekstrim.
Foto: AFP/Getty Images
Rahasia Gelap Eropa
Eropa yang sering diasosiasikan dengan kemakmuran menyimpan rahasia gelap berupa kawasan kumuh yang tersebar dari Perancis ke Serbia, hingga Turki. Kawasan kumuh terbesar di benua biru ini misalnya cuma berjarak beberapa kilometer saja dari ibukota Spanyol, Madrid. Cañada Real Galiana yang ditinggali oleh 30.000 orang itu telah bediri sejak 40 tahun lalu.
Foto: Pablo Blazquez Dominguez/Getty Images
Tanpa Jalan Keluar
Semua kawasan kumuh di seluruh dunia, termasuk juga Eropa, memiliki kesamaan, yakni minimnya peluang untuk keluar dari jerat kemiskinan. Tidak adanya pendidikan dan akses terbuka ke pasar tenaga kerja membuat kawasan kumuh menjadi rumah abadi buat sebagian orang, seperti bocah yang hidup di sebuah kamp dekat Belgrad, Serbia ini.
Foto: picture-alliance/dpa
Keruntuhan Pasca Krisis
Kawasan kumuh Eropa tidak cuma didiami oleh anggota etnis minoritas Sinti & Roma. Terlebih selama krisis Euro melanda Spanyol, banyak orang yang tidak dapat membayar uang sewa rumah berpindah ke kawasan kumuh buat bisa bertahan hidup.
Foto: DW
Tergusur
Keluarga kecil ini hidup di sebuah kamp di luar kota Roma, Italia. Layaknya kawasan kumuh lain, kamp di Roma ini terancam digusur oleh pemerintah lokal. Kondisi tersebut, ditambah dengan jumlah penghuni yang selalu bertambah, mempersulit upaya penyaluran bantuan.