Virus corona yang melakukan mutasi, dikhawatirkan bisa memicu infeksi ulang atau menihilkan hasil vaksinasi. Terutama ditakutkan varian corona mutasi akan membuat antibodi tubuh tidak mampu melawannya.
Iklan
Munculnya varian baru virus corona hasil mutasi, baik itu di Inggris, Afrika Selatan, maupun di Brazil memicu kekakhawatiran banyak kalangan. Varian B 1.1.7 mula-mula ditemukan di Inggris dan kemudian di Denmark. Virus corona mutasi Inggris menyebar 70% lebih cepat dibanding virus corona Wuhan. Virus mutasi itu, kini juga ditemukan di berbagai negara di Eropa, Amerika, maupun Asia.
Mutasi pada virus bukan hal aneh. Rata-rata muncul dua varian baru setiap bulan. Namun, pada varian mutasi virus corona yang ditemukan di Inggris, para peneliti melaporkan virusnya sudah mengalami 17 perubahan gen. Kasus ini membuat para pakar virologi terpana. Terutama tiga mutasi pada virus corona yang diamati sangat menarik perhatian, karena memungkinkan virus makin mudah memasuki sel manusia.
Inilah Efek Samping Vaksin Corona
Reaksi tubuh jika divaksin menandakan kita membangun kekebalan terhadap bibit penyakitnya. Tapi kadang ada efek samping serius yang kasusnya individual. Kenali apa saja efek samping vaksin corona.
Foto: Robin Utrecht/picture alliance
Vaksin Biontech-Pfizer
Pada fase uji klinis, unsur aktif BNT162b2 dari perusahaan BioNTech dari Jerman dan Pfizer dari AS tidak menunjukkan efek samping serius. Tapi setelah mendapat izin, vaksin mRNA ini tunjukkan reaksi alergi berat pada beberapa orang, bahkan tiga mengalami gejala syok anaphylaktis. Ketiga orang itu tidak punya riwayat alergi. Karenanya pengidap alergi disarankan konsultasi sebelum divaksin.
Foto: Jack Guez/Getty Images/AFP
Vaksin Moderna
Vaksin mRNA-1273 dari perusahaan Moderna AS, pada prinsipnya sangat mirip dengan vaksin BioNTech/Pfizer. Setelah dilakukan vaksinasi, muncul laporan efek samping berupa reaksi alergis. Dan pada kasus sangat kecil, kelumpuhan sementara saraf wajah. Efek samping diduga dipicu partikel lipid nano yang menjadi transporter unsur aktifnya, yang diuraikan oleh tubuh.
Foto: Jospeh Prezioso/AFP/Getty Images
Vaksin AstraZeneca - Universitas Oxford
Inggris memberikan izin darurat penggunaan vaksin AstraZeneca yang unsur aktifnya disebut AZD 1222. Berbeda dengan dua vaksin yang pertama mendapat izin, vaksin buatan perusahaan Inggris/Swedia ini adalah vaksin vektor yang dikembangkan dari virus flu simpanse yang dilemahkan. Sejauh ini belum ada efek samping vaksin yang dilaporkan, selain reaksi normal yang khas.
Foto: Gareth Fuller/AP Photo/picture alliance
Vaksin Sputnik V
Rusia sudah izinkan vaksin Sputnik V buatan pusat riset Gamaleja di Moskow, Agustus 2020. Padahal uji klinis fase 3 dengan sampel luas belum dilakukan. Vaksin menggunakan dua unsur aktif adenovirus berbeda yang dimodifikasi. Walau kontroversial, ratusan ribu orang di Rusia, Belarus, India, Brasil, UAE dan Argentina telah divaksin Sputnik V. Tidak ada laporan resmi mengenai efek samping.
Foto: Maria Eugenia Cerutti/AFP
Vaksin Sinovac Biotech
Cina izin darurat penggunaan vaksin Sinovac sejak Juli 2020. Unsur aktif vaksin yang diberi nama CoronaVac adalah virus inaktif. Uji klinis fase 3 secara massal telah dilakukan di Indonesia, Turki dan India. Laporan resmi efek samping yang dirilis perusahaan di Beijing itu sebutkan kurang dari 5% keluhkan reaksi yang umum. Indonesia sejauh ini telah menerima 3 juta dosis vaksin Sinovac. (as/vlz)
Foto: Presidential Palace/REUTERS
5 foto1 | 5
Para ahli juga mewanti-wanti, jangan menyalahkan negara yang melaporkan munculnya varian mutasi virus corona itu. Pasalnya, cukup lama para peneliti tidak melakukan analisa, varian virus corona mana yang memicu COVID-19 pada para pasien yang sakit. Baru belakangan sejumlah negara melakukan sequencing atau pengurutan secara intesif dan menemukan, varian mutasi mana yang sedang mewabah di negara bersangkutan. Inggris dan Afrika Selatan termasuk dua negara yang giat melakukan sequencing.
Penularan pada pasien sembuh dan penerima vaksinasi
Setelah menemukan mutasi virus corona di Inggris berupa varian B 1.1.7 dan mutasi di Afrika Selatan berupa varian B.1.351 yang mirip, kini muncul mutasi varian virus corona baru dari Brazil yang disebut P.1. Mutasi virus corona dari Brazil melakukan 17 kali mutasi yang juga mengubah "spike protein" yang bertugas menempel ke sel manusia.
Yang memicu kekhawatiran dari varian P.1 ini adalah kenyataan bahwa virusnya kemungkinan bisa menginfeksi ulang orang yang sudah sembuh dari COVID-19 varian sebelumnya. Varian mutasi virus corona itu mula-mula muncul di kota Manaus, ibu kota negara bagian Amazona di Brazil, di mana pada tahun lalu sekitar 75% penduduknya terinfeksi COVID-19. Teorinya, akan terbentuk "herd immunity" di kalangan warga, dan jumlah kasus akan turun. Tapi realitanya jumlah kasus baru infeksi corona malahan naik lagi dengan cepat.
Ini bisa disimpulkan, jawaban antibodi tubuh dari orang yang sudah sembuh dari infeksi SARS CoV-2 atau yang mendapat vaksinasi, tidak lagi ampuh, karena varian baru P.1 bisa menipu reaksi antibodi. Ini disebut "Immune-Escape-Mutation" pada spike-protein, yang membuat sejumlah antibodi tidak bisa lagi mengikat dan menetralkan virusnya. Sebagian virus lolos dari serangan antibodi. Dengan kata lain, tidak tertutup kemungkinan infeksi ulang COVID-19 pada orang yang sembuh atau mendapat vaksinasi.
Iklan
Banyak mutasi lokal
Sekarang, setelah makin banyak dan makin intensif dilakukan sequencing kasus COVID-19, juga akan makin banyak ditemukan mutasi virus corona. Namun, ini tidak berarti mutasi virus makin ganas dan berbahaya.
Misalnya kasus pecahnya kasus infeksi corona di Rumah Sakit Garmisch-Partenkirchen, Jerman yang dipicu varian baru vrus corona yang mengalami mutasi. Penelusuran menemukan, mutasi virus corona di Jermanhanya terjadi parsial, dan ini mutasi lokal bukan varian Inggris atau Afrika Selatan. Kini sampelnya sedang dianalisis di rumah sakit Charité Berlin.
Sementara di kawasan Los Angeles muncul varian virus corona baru L452R, yang sudah dideteksi sejak bulan Maret 2020 muncul di Denmark.
Apakah Sudah Ada Obat Penyembuh Covid-19?
Euforia pecah saat vaksin corona pertama dinyatakan efektif hingga 95%. Namun banyak yang lupa, penyakit Covid-19 jika sudah menyerang tubuh, harus diobati agar pasien sembuh. Adakah obat ampuh buat melawan Covid-19?
Foto: Kay Nietfeld/dpa/picture alliance
Dexamethasone Reduksi Kematian Pasien Covid-19
Sejauh ini penyakit Covid-19 hanya diobati gejalanya. Dexamethasone adalah obat keluarga streoid yang murah dan mudah diakses. Dalam uji coba terhadap 2.100 pasien Covid-19 dengan gejala berat, obat anti inflamasi ini mampu mereduksi kematian pasien hingga 30%. Pakar epidemiologi Peter Horby dari Universitas Oxford Inggris, pimpinan riset menyebut, obat murah ini bisa cegah banyak kematian.
Foto: Getty Images/M. Horwood
Favipiravir Kurangi Beban Virus Corona
Favipiravir dikembangkan oleh Fujifilm Holdings Jepang untuk melawan virus lain, dalam kasus ini virus influenza. Dalam sebuah riset disebutkan unsur aktifnya bisa mengurangi beban virus pada tubuh pasien dan mereduksi lamanya waktu perawatan di rumah sakit. Obat yang di Jepang dikenal dengan merk Avigan ini, juga sudah mendapat izin edar di Rusia dengan nama Avifavir.
Foto: picture-alliance/dpa/Kimimasa Mayama
Remdesivir Tidak Disarankan oleh WHO
Remdesivir sejatinya dikembangkan untuk mengobati Ebola yang dipicu virus corona jenis lain. Obat buatan Gilead Sciences AS ini mula-mula disebut ampuh melawan Covid-19 dan di AS diajukan regulasi darurat. Tapi WHO kemudian menyatakan, tidak merekomendasikan Remdesivir, karena tidak menunjukkan keampuhan signifikan pada pasien Covid-19.
Foto: picture-alliance/Yonhap
Chloroquin Mencuat Akibat Politisasi
Chloroquin dan turunannya Hydroxychloroquin adalah obat anti malaria yang ampuh dan sudah digunakan luas sejak lama. Nama obat ini mencuat gara-gara presiden AS, Trump dan presiden Brazil, Bolsonaro memuji keampuhannya tanpa data ilmiah penunjang. Riset terbaru menyatakan obat antimalaria ini tidak ampuh melawan virus SARS-Cov-2 penyebab Covid-19.
WHO mula-mula menyarankan jangan mengkonsumsi obat antinyeri Ibuprofen dalam kasus infeksi virus corona. Namun beberapa hari kemudian WHO mencabut lagi saran ini. Pakar virologi Jerman Christian Drosten menyebut, asupan ibuprofen tidak membuat penyakit Covid-19 tambah parah. Sejauh ini sifat virus SARS-Cov-2 memang masih terus diteliti.
Foto: picture-alliance/dpa/L. Mirgeler
Artemisia Obat Herbal Berpotensi
Tanaman Artemisia dengan unsur aktif artemisinin terbukti ampuh melawan malaria. Penemunya, ilmuwan Cina Youyou Tu dianugerahi Nobel Kedokteran 2015. Kini herbal berkhasiat ini dilirik para peneliti Jerman yang merisetnya untuk mengobati Covid-19. Namun WHO menyarankan semua pihak agar ekstra hati-hati tanggapi laporan efektifitas herbal dalam pengobatan Covid-19. (Penulis: Agus Setiawan)
Foto: picture-alliance/dpa/T. Kaixing
6 foto1 | 6
Mutasi bahayakan keampuhan vaksin?
Berbagai varian mutasi virus corona yang muncul di berbagai lokasi itu, membuat para pakar kesehatan mencemaskan, vaksin corona bisa saja kehilangan keampuhannya.
Sejauh ini memang belum diteliti secara mendalam, bagaimana keampuhan vaksin corona terbaru yang dikembangkan dari mRNA dalam kasus mutasi virus. Posisi aktual menunjukkan, vaksin buatan BioNTech/Pfizer dan Moderna juga ampuh melawan varian virus mutasi B 1.1.7 dari Inggris. Vaksin mRNA itu tetap mampu menangkap "spike-protein" virus yang bersangkutan.
Namun, sejauh mana vaksin yang saat ini sudah ada masih ampuh menghadapi varian mutasi virus corona lainnya, harus ditunjukkan dengan riset lebih lanjut.
Jika virus corona suatu saat nanti mengalami mutasi ekstrem, hingga antibodi yang dipicu vaksin tidak mampu lagi menetralisirnya, maka vaksin harus disesuaikan lagi. BioNTech-Pfizer menyatakan, update semacam itu pada vaksin mRNA secara prinsip tidak terlalu sulit. Kode genetika virus yang terkandung dalam vaksin, dapat diganti relatif mudah dalam hitungan beberapa minggu.
Yang jadi masalah adalah uji coba dan regulasi perizinannya. Selain itu, produksi dan logistik serta pendistribusian vaksinbaru yang disesuaikan akan memakan waktu, seperti pengalaman saat ini. Padahal pusat vaksinasi di berbagai negara, sekarang ini sangat menantikan datangnya vaksin untuk mengerem pandemi secepatnya.
Alexander Freund (as/rap)
Negara dengan Kuota Vaksinasi Corona Tertinggi di Dunia
Sejumlah negara ngebut melakukan vaksinasi corona untuk meredam pandemi Covid-19 secara efektif. Yang mengejutkan, sejumlah negara kecil mencapai kuota vaksinasi per kapita tertinggi di dunia.
Foto: picture-alliance/dpa/Geisler-Fotopress
Israel Terdepan
Israel berada di peringkat paling atas sebagai negara dengan kuota vaksinasi corona per kapita tertinggi sedunia. 96% dari seluruh populasi yang jumlahnya 8,6 juta orang minimal sudah mendapat dosis pertama vaksin (posisi 08/03/21). Sukses negara Yahudi itu untuk mengerem pandemi Covid-19 mendapat acungan jempol. Kini kehidupan publik berangsur normal, tapi prokes tetap dijalankan.
Foto: Ronen Zvulun/REUTERS
Uni Emirat Arab di Posisi Dua
Uni Emirat Arab (UEA) menyusul di posisi kedua dengan kuota vaksinasi per kapita mencapai 62 per 100 penduduk. Sekitar 6,8 juta dari lebih 9 juta penduduk UEA sudah mendapat vaksin corona dosis pertama. UAE menggunakan vaksin Sinovac buatan Cina untuk program vaksinasi massal gratis. Saat ini Dubai mulai "roll out" vaksinasi dengan vaksin buatan BioNTech-Pfizer.
Foto: Getty Images/AFP/K. Sahib
Inggris
Inggris mencatatkan kuota vaksinasi corona per kapita pada kisaran 31 per 100 orang. Dengan jumlah populasi hampir 86 juta orang, berarti lebih dari 28 juta warga Inggris sudah mendapat vaksin corona. Aktual ada tiga jenis vaksin yang digunakan, yakni buatan BioNTech-Pfizer, Moderna dan AstraZeneca.
Foto: Victoria Jones/AFP/Getty Images
Amerika Serikat
Amerika Serikat juga ngebut memerangi pandemi Covid-19, setelah terganjal beberapa bulan oleh politik Trump. Aktual kuota vaksinasi per kapita mencapai 23,5 per 100 orang. Artinya hingga saat ini sudah lebih dari 76 juta dari total 331 juta populasi AS mendapat minimal satu dosis vaksin buatan BioNTech-Pfizer atau Moderna. Presiden terpilih Joe Biden mendapat vaksinasi sebagai aksi simbolis.
Foto: Tom Brenner/REUTERS
Serbia
Serbia, salah satu negara bekas Yugoslavia dengan populasi 7 juta orang juga ngebut dengan program vaksinasi massal. Kuotanya mencapai 22 per 100 orang (posisi 4/3/21) Menteri kesehatan Serbia, Zlatibor Loncar secara simbolis mendapat vaksinasi anti Covid-19 buatan Sinopharm, Cina di Beograd akhir Januari silam.
Foto: Nikola Andjic/Tanjug/ Xinhua News Agency/picture alliance
Chile
Negara kecil di Amerika Selatan, Chile juga melakukan vaksinasi massal dengan cepat. Negara dengan populasi sekitar 19 juta orang itu sudah mencapai kuota 19,2 per 100 penduduk. Presiden Sebastian Pinera mendaat suntikan vaksin perdana secara simbolis pertengahan Februari lalu di kota Futrono. Vaksin yang digunakan adalah Sinovac buatan Cina.
Bahrain menjadi negara di kawasan Teluk berikutnya yang mencatatkan kuota tinggi vaksinasi corona dengan 17,8 per 100 orang. Registrasi vaksinasi di negara kecil berpenduduk sekitar 1,6 juta orang itu dilakukan menggunakan aplikasi mobile. Vaksinasi menggunakan dua jenis vaksin dalam program ini, yakni vaksin buatan Sinopharm dan buatan BioNTech-Pfizer.
Foto: Imago/Sven Simon
Denmark
Denmark negara kecil di Eropa dengan populasi 5,8 juta mencatatkan kuota vaksinasi corona per kapita 11 per 100 warga. Jika dilihat angka mutlaknya relatif kecil, hanya sekitar 600 ribu warga yang mendapat vaksinasi. Tapi dilihat dari kuota per total populasi angka itu cukup tinggi.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mendapat vaksin Sinovac buatan Cina saat memulai kampanye vaksinasi massal di Ankara pertengahan Januari silam. Saat ini kuota vaksinasi di Turki mencapai sekitar 11 dari 100 warga di negara dengan populasi 82 juta orang itu.
Foto: Murat Cetinmuhurdar/Presidential Press Office/REUTERS
Jerman
Jerman belakangan catat pertambahan kasus covid-19, menjadi lebih dari 2,5 juta orang dan lebih dari 72.000 korban meninggal. Walau vaksin BioNTech berasal dari Jerman, namun pembagiannya tergantung Uni Eopa. Jerman baru mencatat 7,9% vaksinasi corona bagi 83 juta penduduknya. Strategi vaksinasi dikritik sebagai amat lamban dan kurang efektif. Penulis Agus Setiawan (as/pkp)