Dunia diprediksi akan melampaui batas aman kenaikan rata-rata suhu Bumi lebih cepat dari yang diperkirakan. Untuk mengatasinya diperlukan langkah ekstrem untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, lapor panel iklim PBB.
Iklan
Pencemaran karbondioksida sudah sedemikian gawat, dunia diprediksi hanya punya waktu 15 tahun sebelum melampaui ambang batas kenaikan suhu sebesar 1,5 derajat Celcius pada akhir abad.
Kesimpulan itu termasuk dalam laporan Panel Antarnegara untuk Perubahan Iklim (IPCC) yang beranggotakan 195 negara. Studi yang dirilis Senin (9/8) itu menganalisa lebih dari 14.000 studi iklim untuk memberikan gambaran yang paling jelas tentang kondisi planet saat ini.
"Laporan ini membuka mata kita," kata Valérie Masson-Delmotte yang ikut menyusun studi tersebut.
Dengan membakar bahan bakar fossil dan melepaskan gas rumah kaca ke atmosfer Bumi, aktivitas manusia menghangatkan suhu rata-rata Bumi sebanyak 1,1 derajat Celcius. Di seluruh dunia, kondisi ini meningkatkan potensi terjadinya gelombang panas, hujan lebat atau siklon tropis. Adapun di sejumlah kawasan, musim kemarau diprediksi akan berlangsung lebih lama.
Sejak laporan terakhir IPCC pada 2014 silam, ilmuwan kini lebih yakin bahwa perubahan iklim memperkuat potensi kebakaran hutan, bencana banjir atau cuaca ekstrem. Solusi paling cepat adalah mengurangi penggunaan bahan bakar fossil. Tapi laju dekarbonisasi sejauh ini terhadang sikap pemerintah, pelaku usaha atau konsumen.
"Ketika saya melihat hasil temuan kami, saya berpikir kita sudah menghadapi krisis iklim," kata Sonia Seneviratne, ilmuwan iklim di Institute for Atmospheric and Climate Science di Universitas ETH Zuric, Swiss. "Kita punya masalah yang sangat besar."
Seberapa cepat perubahan iklim memanaskan Bumi?
Pada 2015, pemimpin dunia berjanji memperlambat laju pemanasan global di bawah 2 derajat Celcius, atau paling ideal 1,5 derajat Celcius. Namun saat ini dunia sedang mengarah pada level kenaikan sebesar 3 derajat Celcius, menurut lembaga Jerman, Climate Action Tracker.
Iklan
Meski sasaran 1,5 Celcius akan gagal tercapai dalam beberapa dekade ke depan, rata-rata suhu Bumi bisa dikembalikan ke level aman pada akhir abad dengan menerapkan pengurangan emisi yang ekstrem. Selain dekarbonasi ekonomi, rencana itu juga melibatkan upaya penyedotan CO2 dari atmosfer Bumi. Tapi teknologi yang dibutuhkan masih sedemikian mahal, sehingga cara ini diragukan bisa ampuh dalam skala yang dibutuhkan.
"Akan lebih mudah untuk tidak memproduksi emisi ketimbang melampaui anggaran karbon kita lalu berusaha menyedot emisi dari atmosfer Bumi," kata Malte Meinshausen, ilmuwan di Potsdam Institute for Climate Impact Research di Jerman. "Ongkosnya akan lebih tinggi ketimbang metode yang kita miliki saat ini."
Cuaca Ekstrem Mematikan Kejutkan Dunia
Dari Jerman, Kanada hingga Cina, gambar-gambar dramatis dari dampak buruk cuaca ekstrem telah mendominasi kepala berita baru-baru ini. Apakah krisis iklim yang menjadi penyebabnya?
Foto: AFP/Getty Images
Banjir bandang dahsyat di Eropa
Banjir yang belum pernah terjadi sebelumnya ini disebabkan oleh hujan lebat selama dua hari berturut-turut. Aliran air yang sempit meluap menjadi amukan banjir hanya dalam hitungan jam dan menghantam perumahan warga. Sedikitnya 209 orang tewas di Jerman dan Belgia. Upaya pemulihan rumah, bisnis, dan infrastruktur yang rusak diperkirakan menelan biaya miliaran euro.
Foto: Thomas Lohnes/Getty Images
Musim hujan ekstrem
Banjir juga melanda sebagian wilayah di India dan Cina bagian tengah. Hujan turun sangat lebat, bahkan lebih deras dari yang biasanya turun di musim hujan. Para ilmuwan memperkirakan bahwa perubahan iklim akan menyebabkan curah hujan yang lebih sering dan intens, karena udara yang lebih hangat menahan lebih banyak air, sehingga menciptakan lebih banyak hujan.
Foto: AFP/Getty Images
Banjir menggenangi Cina bagian tengah
Curah hujan yang memecahkan rekor selama berhari-hari menyebabkan banjir dahsyat di seluruh provinsi Henan, Cina, pada akhir Juli. Puluhan orang tewas, ratusan ribu lainnya mengungsi, dan banyak warga masih dilaporkan hilang. Di Zhengzhou, ibu kota provinsi Henan, warga terjebak di rel kereta bawah tanah ketika banjir datang. Daerah pedesaan dilaporkan terkena dampak lebih parah.
Foto: Courtesy of Weibo user merakiZz/AFP
Rekor suhu panas di AS dan Kanada
Suhu yang semakin panas juga menjadi lebih umum terjadi. Seperti di negara bagian Washington dan Oregon di AS dan provinsi British Columbia di Kanada pada akhir Juni lalu. Ratusan kematian terkait suhu panas dilaporkan terjadi di sana. Desa Lytton di Kanada bahkan mencatat suhu tertinggi hingga 49,6 Celcius.
Foto: Ted S. Warren/AP/picture alliance
Kebakaran hutan memicu badai petir
Gelombang panas mungkin sudah berakhir tetapi kondisi kering telah memicu salah satu musim kebakaran hutan paling intens di Oregon, AS. Kebakaran yang dijuluki Oregon’s Bootleg Fire itu menghanguskan area seluas Los Angeles hanya dalam waktu dua minggu. Saking besarnya, asap dari kebakaran dilaporkan sampai ke New York.
Foto: National Wildfire Coordinating Group/Inciweb/ZUMA Wire/picture alliance
Amazon mendekati ‘titik kritis’?
Brasil bagian tengah dilaporkan mengalami kekeringan terburuk dalam 100 tahun, sehingga meningkatkan risiko kebakaran dan deforestasi lebih lanjut di hutan hujan Amazon. Menurut para ilmuwan, sebagian besar wilayah tenggara Amazon telah berubah fungsi dari yang awalnya menyerap emisi, kini berubah menjadi memancarkan emisi CO2, menempatkan Amazon lebih dekat ke ‘titik kritis’.
Foto: Andre Penner/AP Photo/picture alliance
‘Di ambang bencana kelaparan’
Setelah bertahun-tahun alami kekeringan, lebih dari 1,14 juta orang di Madagaskar mengalami kerawanan pangan. Beberapa dari mereka terpaksa memakan kaktus mentah, daun liar, dan belalang, dalam kondisi yang mirip seperti ‘wabah kelaparan’. Nihilnya bencana atau konflik membuat situasi di sana disebut sebagai kelaparan pertama dalam sejarah modern yang semata-mata disebabkan oleh perubahan iklim.
Foto: Laetitia Bezain/AP photo/picture alliance
Melarikan diri dari bencana
Tahun 2020, jumlah orang yang melarikan diri dari konflik dan bencana alam mencapai level tertinggi dalam 10 tahun. Jumlah orang yang berpindah di dalam negera mereka sendiri mencapai rekor 55 juta, sementara 26 juta lainnya melarikan diri hingga melintasi perbatasan. Sebuah laporan dari pemantau pengungsi pada bulan Mei menemukan tiga perempat dari pengungsi internal adalah korban cuaca ekstrem.
Foto: Fabeha Monir/DW
London terendam banjir
Tidak hanya negara-negara di Eropa utara, Inggris juga dilanda banjir bandang. Beberapa bagian London dibanjiri oleh air yang naik dengan cepat karena hujan lebat dalam satu hari. Stasiun kereta bawah tanah dan jalan-jalan juga terendam banjir. Menurut Wali Kota London Sadiq Khan, banjir bandang menunjukkan bahwa “bahaya perubahan iklim kini bergerak lebih dekat ke rumah.”
Foto: Justin Tallis/AFP/Getty Images
Yunani ‘meleleh’ akibat gelombang panas
Sementara negara-negara di Eropa utara mengalami banjir, negara di bagian selatan seperti Yunani justru dicengkeram oleh gelombang panas di awal musim panas. Di minggu pertama bulan Juli, suhu melonjak hingga 43 derajat Celcius. Tempat-tempat wisata seperti Acropolis terpaksa ditutup pada siang hari, sementara panas ekstrem memicu kebakaran hutan di luar kota Thessaloniki.
Foto: Sakis Mitrolidis/AFP/Getty Images
Sardinia dilanda kebakaran hutan yang belum pernah terjadi sebelumnya
“Ini adalah kenyataan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Sardinia,” kata Gubernur Sardinia Christian Salinas tentang kebakaran hutan di sana. “Sejauh ini, 20.000 hektar hutan yang mewakili sejarah lingkungan selama berabad-abad di pulau kami telah hangus menjadi abu," tambahnya. Sedikitnya 1.200 orang dievakuasi akibat kebakaran tersebut. (gtp/hp)
Foto: Vigili del Fuoco/REUTERS
11 foto1 | 11
Hilangnya "bahan bakar fossil"
Saat ini sumber tebesar gas rumah kaca adalah pembakaran batu bara, minyak dan gas. Namun laporan setebal 43 halaman yang dibuat khusus untuk pembuat kebijakan dan diperiksa oleh delegasi pemerintah, tidak mencantumkan kata "bahan bakar fossil."
Ilmuwan yang terlibat dalam penyusunan laporan tidak diizinkan mengomentari adanya versi berbeda itu.
"Dalam materi yang disusun para ilmuwan, bahan bakar fossil jelas tercantum," kata Meinshausen. Tapi menurutnya meski tanpa kata-kata tersebut, "adalah pencapaian yang besar untuk mendapat persetujuan dari semua negara. Tidak satu pun negara di dunia kini bisa mengatakan mereka tidak percaya apa yang ditulis IPCC."
"Sains berdiri sendiri dan tidak dikoreksi dalam prosesnya,"kata Freiderike Otto dari University of Oxford yang ikut menulis studi tersebut.
Laporan IPCC adalah dokumen pertama dari tiga studi yang akan dirilis menjelang Konferensi Tingkat Tinggi Iklim, COP26, di Inggris, November mendatang. Pasca Perjanjian Paris, negara-negara dunia dinilai masih terlampau lamban dalam memenuhi komitmen masing-masing.
Pada COP26 nanti, negara peserta diharapkan akan mau berkomitmen menghentikan penggunaan batu bara pada 2030, dan menepati komitmen negara kaya untuk membayarkan dana mitigasi iklim sebesar 100 miliar per tahun untuk negara miskin pada 2020. Janji ini pun sejauh ini belum ditepati.