Kenaikan Suhu Dunia Gandakan Angka Kematian di Asia Tenggara
13 September 2018
Studi teranyar mengungkap potensi lonjakan angka kematian akibat gelombang panas di Asia Tenggara jika tren pemanasan global berlanjut seperti saat ini. Ilmuwan mewanti-wanti manusia mulai kehabisan waktu buat bertindak
Iklan
Ilmuwan mewanti-wanti kegagalan menghentikan laju kenaikan temperatur akan mengakibatkan lonjakan kasus kematian akibat gelombang panas. Perjanjian Iklim Paris menetapkan batasan kenaikan temperatur global maksimal 2 derajat Celcius di atas level pra-industrial, dengan kenaikan ideal maksimal 1,5 derajat Celcius.
Menurut studi teranyar yang dipublikasikan di jurnal ilmiah, Climate Change, kenaikan suhu Bumi hingga 3 atau 4 derajat Celcius akan meningkatkan angka kematian antara 1 hingga 9%.
"Saat ini kita sedang mengarah pada kenaikan suhu sebesar 3 derajat Celcius dan jika tren ini berlanjut maka akan ada konsekuensi serius terhadap kondisi kesehatan di berbagai kawasan di dunia," kata salah seorang peneliti, Antonio Gasparrini.
Negara-negara Asia Tenggara seperti Filipina dan Vietnam diprediksi akan mencatat angka kematian terbesar akibat gelombang panas, termasuk juga sejumlah negara di Eropa Selatan dan Amerika Selatan, tulis para peneliti dari London School of Hygiene & Tropical Medicine yang menganalisa tren perubahan iklim di 23 negara.
Menurut perkiraan mereka, kenaikan suhu global dari 1,5°C menjadi 2°C dipastikan bakal memicu kenaikan angka kematian sebesar maksimal 1% di Eropa Selatan, Amerika Selatan dan Asia Tenggara.
Bumi Semakin Lelah!
Baru memasuki bulan Agustus, umat manusia telah menghabiskan seluruh sumber daya alam yang diperuntukkan sampai akhir tahun 2018 ini, demikian menurut perhitungan Foot Print.
Foto: picture-alliance/dpa
Sudah lampu merah
Setiap tahunnya, Global Footprint Network - sebuah think tank internasional dengan lebih dari 90 organisasi mitra - menghitung seberapa banyak sumber daya alam yang telah dieksploitasi manusia, dengan harapan manusia bisa lebih berhati-hati menjaganya, mengingat kondisi Bumi sudah ‘lampu merah’.
Foto: Fotolia/Yanterric
Berapa banyak kebutuhan kita?
Saat ini manusia mengkonsumsi sumber daya rata-rata setara dengan 1,6 planet Bumi. Dibutuhkan 1,6 kali luas Bumi yang ada untuk menopang kehidupan manusia. Artinya, saat ini manusia menggunakan sumber daya alam lebih banyak dari yang seharusnya. Konsumsi tersebut berbeda-beda di tiap wilayah. Misalnya masyarakat di Amerika, mengonsumsi satu setengah kali lebih banyak daripada masyarakat Jerman
Foto: picture alliance/landov
Pekerjaan kotor
Pembakaran bahan bakar fosil dan kayu mencapai 60 persen jejak kerusakan ekologi. Cina, Amerika Serikat, Uni Eropa dan India adalah penghasil emisi CO2 terbesar di dunia.
Hutan makin botak
Hutan menyediakan kayu, bahan baku yang sangat berharga bagi banyak hal, seperti produksi kertas. Kayu amat penting dalam mencegah erosi tanah, menyimpan air dan sangat diperlukan dalam siklus iklim, termasuk sebagai penyerap CO2. Namun jutaan hektar hutan hilang setiap tahunnya.
Foto: DW/K. Jäger
Bisakah kita memberi makan semua orang?
Populasi berkembang. Kawasan baru tumbuh di mana-mana. Pada saat bersamaan, dunia kehilangan lahan pertanian karena pembangunan perkotaan. Erosi dan degradasi tanah terjadi. Saat ini, warga Uni Eropa masing-masing rata-rata menggunakan 0,31 hektar lahan pertanian untuk konsumsi makanan. Padahal, jika didistribusikan secara adil di seluruh dunia, semua orang hanya berhak 0,2 hektar.
Foto: picture-alliance/dpa/J. Büttner
Penangkapan ikan berlebihan
Karena manusia menangkap ikan secara berlebihan maka kesulitan pula untuk memulihkan stok makanan laut. Sepertiga stok ikan ikan tangkapan di dunia dieksploitasi berlebihan. Emisi CO2 juga mengasamkan lautan dan mengakibatkan kondisi hidup yang lebih sulit bagi makhluk laut.
Kelangkaan air bersih
Program Lingkungan PBB memperkirakan bahwa hampir setengah dari populasi dunia akan menderita kekurangan air bersih pada tahun 2030. Cadangan air tanah menjadi semakin langka dan sering terkontaminasi. Tingkat cemaran di sungai, danau dan lainnya akibat buangan dari pertanian dan limbah rumah tangga di beberapa tempat, begitu tinggi. Bahkan hewanpun tak layak mengonsumsinya.
Foto: picture-alliance/dpa/R. Gupta
Swasembada 1,8 hektar lahan
Setiap manusia membutuhkan 1,8 hektar lahan untuk hidup, -- misalnya untuk makan, transpor, energi, dsb--dan sampah yang harus kembali dibuang ke alam. Tapi rata-rata warga Jerman, misalnya, menghabiskan hingga 5,1 hektar. Pada tahun 2016, kapasitas biologis Jerman sudah kelelahan dan mengorbankan negara lain atau generasi mendatang.
Foto: picture-alliance/dpa/N. Huland
8 foto1 | 8
Namun begitu studi ini tidak menyantumkan langkah-langkah untuk beradapatasi dengan kenaikan temperatur atau mempertimbangkan faktor ekonomi dan demografi. Meski demikian faktor tersebut bisa berperan dalam mengurangi angka kematian akibat gelombang panas, kata Ana Maria Vicedo-Cabrera yang mengepalai tim peneliti.
"Bukti sejauh ini mengindikasikan bahwa kita sedang beradaptasi dengan suhu panas. Jadi kami memprediksi di masa depan, mungkin, angka kematian akibat temperatur hangat bisa berkurang dibandingkan hari ini. Tapi ini pun tidak jelas," imbuh Vicedo-Cabrera kepada Reuters Thompson Foundation.
Sekretaris Jendral PBB, Antonio Guterres, pekan ini mewanti-wanti dunia telah kehabisan waktu untuk menghentikan "perubahan iklim ekstrim," kecuali jika semua negara mengambil langkah dramatis hingga 2020 untuk mengurangi emisi karbondioksida.
Guterres mengatakan ilmuwan sudah memperingatkan dunia mengenai bahaya pemanasan global sejak beberapa dekade silam, tapi "terlalu banyak pemimpin yang menolak untuk mendengar, dan terlalu sedikit yang bertindak dengan visi yang sesuai dengan temuan ilmiah," ujarnya.
rzn/ap (Reuters)
Kekeringan Melanda Dunia
Kekeringan mengubah banyak wilayah dunia menjadi lahan kritis yang kering. Gelombang panas menelan korban jiwa, merusak tanaman dan meyebabkan krisis air. Efeknya dirasakan dari Amerika Selatan sampai ke lingkar kutub.
Foto: picture-alliance/Everett Collection
Tanah kering di Australia
Perdana Menteri Australia Malcolm Turnbull mengatakan, negaranya sekarang menjadi "tanah kering". Terutama di negara bagian New South Wales, yang memproduksi seperempat hasil pertanian negara itu, dilanda kekeringan parah. Baru-baru ini Australia meloloskan undang-undang untuk mengucurkan bantuan senilai ratusan juta dolar kepada petani, termasuk dana untuk dukungan kesehatan mental.
Foto: Getty Images/B. Mitchell
Ethiopia: Berakhirnya kehidupan nomaden?
Ethiopia menderita kondisi kekeringan sejak 2015, yang menyebabkan kekurangan pangan di mana-mana. Pemerintah Ethiopia mengatakan, sekitar 8,5 juta warga membutuhkan bantuan pangan darurat pada tahun 2017 dan hampir 400.000 bayi menderita kekurangan gizi akut. Kekeringan mengancam berakhirnya penggembalaan nomaden tradisional di wilayah tersebut.
Foto: picture-alliance/AP Photo/E. Meseret
India: Krisis air
India dilanda kekuarangan air antara lain karena meningkatnya populasi dan salah urus, namun juga diperparah oleh kekeringan. Banyak daerah di negara itu kehabisan air. Bangalore baru-baru ini ditambahkan ke daftar kota-kota global yang kemungkinan besar akan kehabisan air minum. Kota-kota lain dalam daftar termasuk Cape Town, Afrika Selatan; Jakarta, Indonesia dan Sao Paolo, Brasil.
Panas terik di Eropa diperparah dengan minimnya curah hujan. Tidak hanya warga yang merasakan akibatnya, melainkan juga tanaman. Petani di seluruh dunia khawatir panen akan gagal. Pusat Penelitian Gabungan Uni Eropa memperkirakan akan terjadi "peningkatan frekuensi dan intensitas kekeringan di masa depan."
Foto: picture-alliance/dpa/P. Pleul
Yunani: Banjir dan kekeringan
Yunani telah menghadapi masalah ganda: banjir bandang di beberapa daerah dan kekeringan di daerah lain. Petani Kreta mengatakan mereka bisa kehilangan hingga 40 persen panen mereka tahun ini karena musim dingin yang sangat kering. Meskipun mereka menyiram, mereka mengatakan itu tidak cukup untuk menyuburkan tanaman.
Swedia, yang tidak melihat hujan selama lebih dari tiga bulan, mengalami kekeringan terburuknya sejak 1944. Situasi ini bisa menyebabkan kerugian panen yang parah yang bakal merugikan petani. Selain itu, Swedia mengalami kebakaran hutan besar-besaran. Suhu 30 derajat Celsius bahkan dialami di lingkar kutub.
Foto: picture-alliance/NurPhoto/M. Fludra
Amerika Serikat: Hampir 20 persen wilayah dilanda kekeringan
Pemerintah AS mengatakan, 29 persen wilayah negara itu saat ini mengalami kekeringan, dengan kondisi yang mempengaruhi kehidupan sekitar 75 juta orang. Meskipun kebakaran hutan di California terutama menjadi sorotan dunia, kawasan pertanian, seperti Kansas, juga sangat menderita. Kansas adalah salah satu negara yang pernah dilumpuhkan oleh Dust Bowl tahun 1930-an. (Teks: Jon Shelton/hp/yf)