1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kenaikan suku bunga di AS ; Skandal Doping

11 Agustus 2004

Kenaikan suku bunga Bank Sentral AS dan skandal doping menjelang Olimpiada 2004 menjadi sorotan Sari Pers Deutsche Welle.

Kenaikan suku bunga Bank Sentral AS dari 1,25 persen menjadi 1,50 persen tidak akan mempengaruhi perekonomian Indonesia karena kenaikannya sudah diperhitungkan oleh pasar, demikian komentar Gubernur Bank Indonesia , Burhanuddin Abdullah,yang dikutip harian KOMPAS.

Harian Italia La Repubblica menanggapi kenaikan suku bunga di AS sebagai tindakan optimis Gubernur Bank Sentral AS Greenspan:

Bagi para pengusaha dan konsumen kredit kini menjadi lebih mahal. Namun dari pandangan sejarah, suku bunga di AS masih tetap rendah , dan tetap berada di level paling rendah selama 40 tahun terakhir ini. Keputusan kenaikan suku bunga di satu sisi membuktikan bahwa Gubernur Bank Sentral AS Greenspan mempertahankan strategi secara berhati-hati menaikkan suku bunga. Di lain pihak, Bank Sentral AS pada intinya menilai optimis perkembangan ekonomi di negaranya, meski kenaikan harga minyak mentah , dan beberapa ketidak pastian di sektor pasar kerja.

Harian ekonomi Perancis Les Echos juga mengomentari kebijakan moneter Gubernur Bank Sentral AS Alan Greenspan:

Greenspan sejak lama dikenal karena pernyataannya yang samar-samar, dan kini berlagak terbuka. Ini satu-satunya cara untuk membatasi kerugian pada situasi moneter yang semakin ketat. Namun kebijakan itu juga mengandung risiko. Beberapa pakar ekonomi di AS sudah memperingatkan, apa bila upah naik, maka inflasi akan naik. Maka likuiditas akan semakin penting. Tiga bulan lalu tampaknya kebijakan Bank Sentral AS masih tegas. Dewasa ini harus dicari kebijakan baru. Dan itulah yang diinginkan oleh Alan Greenspan.

Keinginan IOC menyelenggarakan olimpiade tanpa doping, kiranya juga belum akan terwujud di tahun 2004 ini.

Mengenai skandal doping baru-baru ini menjelang Olimpiade Athena harian Swiss Tages-Anzeiger yang terbit di Zürich menulis:

Tahun 2004 akan masuk dalam sejarah olahraga sebagai tahun skandal doping. Sejak razia di Perancis selama turnamen balap sepeda Tour de France tahun 1998, masalah doping tidak begitu populer lagi. Juga Olimpiade yang dimulai Jumat depan di Athena , akan diiringi perasaan ragu dan curiga. Menurut hasil polling, mayoritas besar menyetujui pembrantasan doping secara konsekuen. Namun di lain pihak, skandal doping, misalnya dalam balap sepeda, tidak membawa dampak konsekuen untuk jangka panjang. Misalnya, selama turnamen Tour de France yang terakhir bulan lalu, sekitar setengah juta penonton memadati jalan yang dilalui para pembalap sepeda. Mengapa? Karena keinginan akan kesempurnaan manusia jauh lebih besar, ketimbang rasa jijik terhadap penipuan. Pertandingan yang menegangkan lebih menarik , daripada mengecam atau menolak obat-obatan yang memungkinkannya. Rupanya manusia lebih suka hidup dalam ilusi.

Sementara harian Belanda Trouw menyarankan agar memperhatikan kesehatan para atlit dan olahragawan tidak hanya menyangkut soal doping. Kami kutip komentarnya:

Mungkin tidak akan jatuh korban tewas akibat Olimpiade di tengah suhu yang ekstrim panas . Namun yang lebih mungkin adalah bahwa atlit yang tidak berpengalaman harus mengakhiri karir sebelum waktunya. Kekhawatiran para fungsionaris akan kesehatan para atlit top-nya terlalu dikonsentrasikan pada soal pencegahan doping. Namun apa bila mereka dalam hotel mewah dengan AC, laksana istana, memutuskan tentang tempat penyelenggaraan even-even olahraga besar, tampaknya semua kekhawatiran itu lenyap , dan yang dipikirkan hanya keuntungan komersial. Sang olahragawan sendiri terpaksa berperan sebagai boneka. Jacques Rogge dalam Olimpiade tahun 2004 ini akan tampil untuk pertama kalinya sebagai ketua Komite Internasional Olimpiade IOC. Rogge yang mantan dokter lebih terhormat, apabila ia di bawah terik matahari Yunani tidak membatasi kekhawatirannya akan kesehatan para atlit top, hanya pada soal doping.