Munculnya infeksi COVID-19 dibarengi sejumlah gejala. Ilmuwan kini mengenali biomarker penting dan tujuh kelompok gejala khasnya. Pengetahuan ini diharapkan dapat membantu terapi dan pengembangan vaksin corona.
Iklan
Bagaimana sebetulnya gejala COVID-19? Nyeri tenggorokan? Sakit kepala? Atau hidung tersumbat? Gejala yang biasanya menyertai flu atau pilek semacam itu, setahun lalu tidak pernah dianggap serius.
Tapi di penghujung tahun 2020 gejala semacam itu akan ditanggapi sangat berbeda. Gejala bersin-bersin kini akan langsung memicu kekhawatiran dan pertanyaan. "Berada dimana saya beberapa hari terakhir ini? Sedekat apa pada kerumunan orang? Apa yang saya sentuh? Apakah saya masih bisa mencium dan mengecap? Apakah ada gejala susah bernafas?"
Anda tidak sendirian menghadapi kekhawatiran ini. Para peneliti dan pakar kedokteran terus berusaha melacak serangkaian gejala yang bisa memberi informasi infeksi COVID-19. Para peneliti dari Universitas Kedokteran Wina di Austria, kini mengidentifikasi tujuh jenis gejala sakit pada kasus COVID-19 ringan atau sedang. Hasil riset itu dirilis dalam jurnal ilmiah Allergy. Target utama para ilmuwan adalah menemukan bagaimana tampilan kekebalan tubuh yang bagus setelah infeksi COVID-19 dan bagaimana cara mengukurnya.
Berlomba Mencari Vaksin Corona
Pandemi Covid-19 menerjang cepat dan sudah tewaskan 450.000 jiwa kurang dari enam bulan. Hal ini pun picu lomba pembuatan vaksin yang efektif dan aman. Dari 100 potensi vaksin, inilah yang sudah uji klinis pada manusia.
Foto: picture-alliance/dpa/J.-P. Strobel
BioNTech dari Jerman dan Pfizer dari AS
Perusahaan bioteknologi Jerman BioNTech menjadi yang pertama mendapat rekomendasi dari Paul Ehrlich Institut untuk uji klinis pada manusia. Fase pertama dilakukan tes pada manusia dengan 12 relawan pada bulan April lalu. Bersama perusahaan farmasi AS Pfizer akan di lakukan uji klinis berikutnya untuk calon vaksin BNT162 dengan 360 relawan di AS.
Foto: picture-alliance/dpa/S. Albrecht
CureVac dari Jerman
Perusahaan Jerman CureVac juga telah mendapat izin dari otoritas Jerman, dan siap melakukan uji klinis vaksin virus corona. Bulan Juni ini perusahaan dari kota Tübingen itu akan menguji calon vaksinnya pada 168 relawan. Pemerintah Jerman juga menanam investasi senilai 300 juta Euro di perusahaan bioteknologi ini.
Foto: picture-alliance/Geisler-Fotopress/S. Kanz
Moderna dari AS
Perusahaan bioteknologi AS, Moderna Inc adalah yang pertama di dunia yang mengumumkan uji klinis calon vaksin mRna-1273 pada manusia. CEO Moderna bertemu Presiden Trump Maret lalu untuk melaporkan perkembangan positif. Pemerintah AS mendukung dengan dana 483 juta US Dolar. Akhir Mei, fase kedua uji klinis dimulai dengan 600 relawan. Moderna bisa produksi hingga 500 juta dosis vaksin per tahun.
Foto: picture-alliance/CNP/AdMedia/K. Dietsch
AstraZeneca Swedia/Inggris dan Oxford Inggris
Perusahaan farmasi Swedia/Inggris AstraZeneca bersama Oxford University lakukan uji klinis vaksin eksperimental pada manusia di Inggris dan Brasil. Calon vaksin berasal dari virus adeno simpanse ChAdOx1. Bulan Mei dilakukan uji fase dua dengan 10.000 relawan. Produksi vaksin diharap bisa dimulai akhir tahun 2020, dengan kapasitas hingga dua miliar dosis. Uni Eropa sudah memesan 400 juta dosis.
Foto: picture-alliance/AP Photo/University of Oxford
Kaiser Permanente AS
Kaiser Permanente Washington Health Research Institute (KPWHRI) sudah melakukan uji klinis vaksin corona pada manusia dengan sampel kecil Maret lalu. Uji coba juga dilakukan pada manula. Riset dibiayai oleh jawatan kesehatan federal AS dengan vaksin yang dikembangkan moderna. (as/gtp)
Foto: picture-alliance/AP/T. Warren
5 foto1 | 5
Untuk itu pakar imunologi Winfried Pickl dan pakar alergi Rudolf Valenta melakukan penelitian terhadap 109 mantan pasien COVID-19 yang mampu bertahan dari infeksi dan dalam proses kesembuhan. Sebagai kelompok pembanding, kedua ilmuwan melakukan penelitian dan pemeriksaan darah terhadap 98 orang yang sehat.
Tujuh kelompok gejala COVID-19
Berdasarkan data yang diperoleh, para periset menarik kesimpulan ada beragam simptom yang kemudian diklasifikasi dalam tujuh kelompok gejala COVID-19.
1. Gejala seperti flu, ditandai dengan demam, meriang, kelelahan dan batuk-batuk.
2. Gejala pilek, ditandai dengan hidung tersumbat atau meler, bersin-bersin dan tenggrokan kering.
3. Sakit persendian dan otot.
4. Radang selaput mata dan selaput lendir.
5. Masalah pada paru-paru, ditandai dengan peradangan atau sulit bernafas.
6. Masalah saluran pencernaan, ditandai dengan diare, mual atau sakit kepala.
7. Hilangnya indera penciuman dan pengecapan serta gejala lainnya.
"Pada kelompok terakhir, kami bisa menegakkan diagnosa, kehilangan indera penciuman dan pengecap kebanyakan melanda pasien dengan sistem imunitas muda“, ujar kepala tim peneliti Winfried Pickl dalam wawancara dengan DW. Yang dimaksud dengan sistem imunitas muda bukan berdasarkan umur pasien, melainkan diukur dari jumlah sel kekebalan tubuh atau T-Lymphocite dari jaringan thymus.
“Dengan itu, kami bisa dengan tegas menarik batasan sistemik, misalnya antara kelompok satu sampai tiga dengan kelompok enam dan tujuh, berdasarkan jenis proses pada organ yang khas dari infeksi primer COVID-19“, ujar Pickl lebih lanjut.
Akan tetapi, hal ini tidak berarti bahwa kasus tumpang tindih gejala antar kelompok juga tidak bisa terjadi. Walau begitu ditunjukkan, terdapat korelasi antara masing-masing kelompok yang berbeda dengan parameter kekebalan konkrit.
Misalnya proses sakit dengan demam tinggi pada pasien COVID-19, berkorelasi dengan memori kekebalan tubuh dan ini menjadi indikasi tegas adanya sebuah imunitas jangka panjang. Sebaliknya, kehilangan indera penciuman dan pengecap pada pasien COVID-19, dikaitkan dengan tingginya kadar T-Lymphocite.
Iklan
Sidik jari COVID-19 dalam darah
Pada peneliti juga bisa membuat sejumlah biomarker penting COVID-19 dari sampel darah pasien. Mereka menemukan, infeksi COVID-19 setelah 10 minggu meninggalkan perubahan tegas pada sistem kekebalan tubuh pasien. Ini menjadi semacam sidik jari di dalam darah bekas pasien.
Bagaimana Bisa Sembuh dari Virus Corona?
02:06
Jumlah granulocyt yang biasanya dalam sistem kekebalan tubuh berfungsi memerangi bakteri patogen, pada kelompok COVID-19 yang secara signifikan lebih rendah dibanding normal. “Ini hal yang mencegangkan dan sama sekali baru,“ ujar pakar imunologi itu dalam wawancara dengan DW.
“Untuk itu sel kekebalan tubuh terus mengembangkan memori dan sel-T dalam kondisi sangat aktif. Hal tersebut menunjukkan, sistem kekebalan tubuh bahkan beberapa minggu setelah infeksi pertama, tetap melawan penyakit secara intensif,“ tambah Winfried Pickl.
Rincian ini bisa menjelaskan, mengapa banyak mantan pasien COVID-19 yang sembuh, tetap merasa lemah dalam jangka panjang. Di sisi lain, dalam waktu bersamaan sel-sel T peregulasi menurun tajam. Sebuah kombinasi sangat berbahaya, yang dapat mengarah pada penyakit autoimun.
Selain itu juga bisa dibuktikan, sel-sel imunitas yang memproduksi antibodi, berkembang biak dalam darah pasien COVID-19 yang sembuh. Semakin hebat demam yang diderita pasien dengan gejala sedang, makin tinggi pula tingkat kekebalan terhadap virus corona.
"Temuan kami, bisa menjadi kontribusi untuk memahami lebih baik penyakit ini. Juga membantu dalam pengembangan kandidat vaksin, karena kami sekarang bisa melacak biomarker yang potensial dan dapat melakukan monitoring lebih baik lagi,“ papar tim peneliti dari Universitas Kedokteran Wina itu dalam artikel ilmiahnya.
“Kami sekarang mengetahui, bahwa T-Lymphocite merupakan paremeter penting, jika kami menganalisa kandidat vaksin,“ pungkas Pickl.
Penelitian itu terutama menunjukkan sistem kekebalan tubuh manusia, menangkal sebuah penyakit dengan bantuan sel-sel kekebalan dan antibodi, ibarat pertahanan ganda dalam sepakbola modern. Sel-sel kekebalan tubuh bisa megenali pola serangan virus dari memori yang dimiliki, dan bereaksi terhadap serangan.
Kini masalahnya adalah bagaimana menerapkan semua pengetahuan ini dalam praktek. Terutama dalam terapi pengobatan pasien COVID-19 serta dalam pengembangan vaksin yang ampuh, aman dan efektif.
(as/ha)
Eropa Perketat Pembatasan Hadapi Gelombang Kedua COVID-19
Eropa menghadapi situasi serius dengan mencatat rekor tertinggi kasus corona baru sejak wabah menyebar pada awal tahun. Eropa kembali perketat aturan pembatasan, namun berupaya hindari lockdown untuk melindungi ekonomi.
Foto: Getty Images/AFP/M. Medina
Jerman memperketat pembatasan di sejumlah kota
München menjadi kota besar terbaru yang melampaui ambang batas angka kasus virus corona di Jerman. Sementara di Berlin, untuk pertama kalinya dalam 70 tahun terakhir, aturan jam malam kembali diberlakukan. Semua kegiatan bisnis di Berlin harus tutup pukul 11 malam, setidaknya hingga akhir Oktober 2020. Jumlah orang yang diperbolehkan bertemu di luar pada malam hari dibatasi hingga lima orang.
Foto: Fabrizio Bensch/Reuters
Republik Ceko memperketat lockdown
Republik Ceko yang sebelumnya dipuji karena tanggap merespons pandemi, kini tertatih-tatih di ambang lockdown kedua. Pemerintah menetapkan keadaan darurat sejak 5 Oktober. Warga diwajibkan memakai masker dan gereja hanya dibatasi untuk 10 orang. Pusat perbelanjaan telah diinstruksikan untuk mematikan Wi-Fi untuk mencegah kaum muda berkumpul.
Foto: Gabriel Kuchta/Getty Images
Spanyol menetapkan keadaan darurat
Pemerintah Spanyol telah menetapkan keadaan darurat selama 15 hari di Madrid. Namun, langkah yang memungkinkan pemerintah pusat untuk memberlakukan tindakan karantina di seluruh negeri itu memicu protes. Pemerintah pusat memberlakukan tindakan itu karena pemerintah daerah Madrid menolak seruan untuk memberlakukan langkah yang lebih ketat guna mengendalikan penyebaran virus.
Foto: SOPA Images/ZUMA Wire/picture-alliance
Polisi di Prancis patroli menegakkan aturan pembatasan
Bar di Paris ditutup setelah kasus COVID-19 meningkat tajam. Dua kota lainnya, Toulouse dan Montpellier, meningkatkan kewaspadaan ke level paling tinggi. Pada Sabtu 10 Oktober 2020, Prancis mencatat hampir 27.000 kasus COVID-19, yang menjadi angka kasus harian tertinggi. Di Paris dan sekitarnya, polisi melakukan patroli untuk memastikan bar ditutup dan pengunjung restoran mematuhi jarak sosial.
Foto: Kiran Ridley/Getty Images
Polandia terapkan aturan baru, namun tetap membuka sekolah
Polandia menerapkan aturan baru setelah mencatat rekor infeksi selama lima hari berturut-turut. Namun, sekolah di Polandia tetap dibuka. Warga berusia antara 60 hingga 65 tahun memiliki jam belanja khusus dari jam 10 pagi hingga siang hari. Setiap orang diwajibkan memakai masker di ruang publik. Negara berpenduduk 38 juta jiwa itu sejauh ini mencatat 121.638 kasus dan 2.972 kematian.
Foto: Reuters/K. Pempel
Slovakia larang kerumunan lebih dari enam orang
Di Slovakia, aturan baru hanya memperbolehkan maksimal enam orang untuk berkumpul, namun anggota keluarga mendapat pengecualian. Warga diwajibkan memakai masker dan semua acara publik dilarang, termasuk layanan keagamaan di gereja. Pusat kebugaran ditutup, sementara restoran tidak boleh melayani makan di tempat. Foto di atas menunjukkan penggemar hoki di Bratislava yang memprotes aturan baru.
Foto: Pavel Neubauer/dpa/picture-alliance
Inggris gunakan sistem peringatan tiga tingkat
Pemerintah Inggris memperkenalkan sistem peringatan tiga tingkat untuk memberi informasi terkait angka kasus COVID-19. Sistem baru ini mengklasifikasikan area yang memiliki risiko "sedang", "tinggi", atau "sangat tinggi". Liverpool diperkirakan berada di tingkat tertinggi dan akan memperketat aturan pembatasan, seperti menutup pusat kebugaran, pub, dan kasino. (pkp/rap)