1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PendidikanBangladesh

Kenapa Jutaan Anak Perempuan Bangladesh Putus Sekolah?

Afrose Jahan
14 Januari 2025

Pendidikan dijunjung tinggi di Bangladesh, terutama sebagai jalan keluar dari kemiskinan. Tapi, ongkos pendidikan menjadi terlalu mahal bagi keluarga miskin. Fenomena ini terutama paling berimbas kepada anak perempuan.

Anak-anak Bangladesh belajar di 'sekolah kapal'
Anak-anak Bangladesh belajar di 'sekolah kapal'Foto: Abir Abdullah/dpa/picture alliance

Jutaan anak perempuan di Bangladesh menghadapi ragam rintangan untuk tetap bersekolah. Bagi banyak orang, pandemi COVID-19, bencana alam, dan kemiskinan adalah faktor penghambat terbesar.

Lahir di desa terpencil di wilayah timur laut Bangladesh, Zueana yang berusia 19 tahun adalah orang pertama di keluarganya yang bersekolah. Dia mendapat manfaat dari "sekolah perahu" — ruang kelas yang didirikan di atas perahu sungai — yang bertujuan agar anak-anak dari desa terpencil tidak lagi perlu melakukan perjalanan yang berbahaya selama musim hujan.

Namun, selama pandemi, dia putus sekolah menengah dan pindah ke ibu kota Dhaka untuk mencari nafkah.

"Ayah saya tidak pernah menyuruh saya berhenti sekolah. Saya belajar di sekolah perahu yang dikelola oleh sebuah LSM dan belajar secara gratis. Tetapi saya tidak dapat membeli pena dan kertas untuk belajar," kata Zueana. "Juga, tidak ada sekolah menengah atas dan perguruan tinggi di desa saya. Biaya transportasi adalah 40 sen setiap hari yang tidak mungkin dibiayai oleh ayah saya," tambahnya.

Sekolah hanya menambah 'beban utang'

Selain biaya operasional belajar, Zueana mengatakan bencana alam dan perubahan iklim juga telah mengganggu jalannya pendidikan. "Saya berasal dari daerah yang rawan banjir," katanya kepada DW. "Jika hujan deras di India, kami akan kebanjiran yang makin parah dari waktu ke waktu. Kami tidak punya apa-apa selain utang yang harus kami bayar."

Ayah Zueana adalah seorang buruh tani yang tidak memiliki tanah. Bermimpi untuk memutus siklus kemiskinan, dia menyekolahkan semua anaknya kecuali satu. Namun, bukan hanya Zueana yang menghentikan pendidikannya. Dua saudara perempuannya putus sekolah setelah menyelesaikan sekolah dasar.

Keluarganya mengikuti Zueana ke Dhaka dan sekarang bekerja di sektor produksi garmen yang luas di negara itu, meskipun upahnya rendah.

Hindus in Bangladesh celebrate Durga Puja amid worries

03:44

This browser does not support the video element.

'Permintaan besar' untuk pendidikan

Kisah-kisah seperti itu terlalu umum di Bangladesh. Statistik resmi menunjukkan sekitar 8,8 juta anak perempuan belajar di sekolah dasar di semua tingkat pada tahun 2018. Namun, membandingkan jumlah itu dengan jumlah anak perempuan yang terdaftar di sekolah menengah pada tahun 2023 menunjukkan bahwa sekitar 3,3 juta orang berhenti sekolah antara tahun-tahun tersebut. Bahkan setelah memperhitungkan anak perempuan yang bersekolah di madrasah dan sekolah kejuruan, angka putus sekolah melampaui 35%.

Tren ini terus berlanjut, meskipun banyak warga miskin di Bangladesh yang memahami manfaat pendidikan.

Pakar pendidikan Rasheda K Choudhury mengatakan kepada DW bahwa ada "permintaan besar" untuk pendidikan di Bangladesh.

"Orang-orang yang hidup pas-pasan, mereka percaya bahwa pendidikan dapat mengubah nasib mereka. Bisakah kita memenuhi permintaan mereka untuk pendidikan? Banyak keluarga tidak mampu membayar biaya yang terkait dengan pendidikan menengah, termasuk biaya sekolah, buku, dan transportasi."

"Di daerah pedesaan, anak perempuan sering kali ditarik keluar untuk menambah pendapatan rumah tangga," kata Choudhury, direktur eksekutif Campaign for Popular Education, Campe, sebuah koalisi LSM.

Pernikahan dini langgengkan siklus kemiskinan

Di daerah terpencil, murid harus berjuang melawan buruknya konektivitas dan kurangnya transportasi, hambatan budaya, dan kurangnya keamanan yang memperparah masalah dan mencegah anak-anak bersekolah.

Masalah pernikahan dini juga memiliki dampak "menyebar luas" pada tingkat putus sekolah, menurut AQM Shafiul Azam, kepala sektor perencanaan dan pengembangan di Direktorat Pendidikan Menengah dan Tinggi.

"Ketika seorang anak perempuan putus sekolah dan itu mengakibatkan pernikahan dini dan kelahiran dini — ada kemungkinan melahirkan anak yang kekurangan gizi yang gagal mendapatkan manfaat dari pendidikan dan berakhir dalam siklus kemiskinan," katanya.

Data Bank Dunia untuk tahun 2022 menunjukkan bahwa sekitar 7,3% anak perempuan berusia antara 15 dan 19 tahun telah melahirkan di Bangladesh.

Selain itu, anak perempuan yang putus sekolah lebih rentan terhadap kekerasan, pelecehan, dan eksploitasi.

"Perempuan dengan pendidikan rendah atau tidak berpendidikan sama sekali tidak memiliki keberanian seperti gadis terpelajar untuk memperjuangkan keadilan atau meneruskan beban biaya hukum untuk mendapatkan keadilan," kata pakar pendidikan Rasheda.

Bangladesh's cartoonists enjoy return of creative freedom

02:39

This browser does not support the video element.

Bagaimana bantu anak perempuan tetap bersekolah?

Untuk meningkatkan pendidikan anak perempuan Bangladesh, para ahli merekomendasikan layanan transportasi dan ruang yang aman untuk anak perempuan, asrama terpisah, dan kampanye untuk mengatasi kekerasan terhadap perempuan.

Rasheda K Choudhury dari Campe menyoroti pentingnya berinvestasi dalam pendidikan.

"Banyak keluarga tidak mampu membayar biaya yang terkait dengan pendidikan menengah, termasuk biaya sekolah, buku, dan transportasi. Kemiskinan, pernikahan dini, dan hambatan budaya semakin memperburuk masalah ini," katanya.

AQM Shafiul Azam menunjuk pada kemitraan dengan organisasi pembangunan yang bertujuan untuk menjaga anak perempuan tetap bersekolah. Dia mengatakan pihak berwenang berusaha untuk "mengubah keyakinan yang dibangun secara sosial termasuk berbagi tanggung jawab pekerjaan rumah tangga" dan dampak pernikahan dini, di antara masalah lainnya.

"Kami meningkatkan kesadaran di masyarakat tentang pentingnya kontribusi perempuan dalam peningkatan ekonomi dan masa depan Bangladesh yang lebih baik secara keseluruhan," katanya.

Negara-negara lain yang menghadapi masalah serupa telah memetakan jalur yang dapat digunakan di Bangladesh. Di Nigeria, sebuah proyek bernama "Adolescent Girls Initiative for Learning and Empowerment" menyediakan beasiswa kepada setengah juta anak perempuan dari keluarga miskin.

Ada juga inisiatif internasional seperti program yang diperjuangkan oleh pemenang Hadiah Nobel Perdamaian Malala Yousafzai, Malala Fund Education Champion Network, atau berbagai proyek besar yang didanai oleh Bank Dunia yang bertujuan untuk mempertahankan anak perempuan di sekolah.

Dengan ruang kelas yang aman, beasiswa, keterlibatan masyarakat, dan program pengembangan keterampilan, Bangladesh dapat berupaya untuk memastikan masa depan yang lebih baik bagi anak perempuan seperti Zueana.

Diadaptasi dari artikel DW berbahasa Inggris

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait