1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Kecelakaan Kapal Terus Berulang, Apa Akar Masalahnya?

25 Juni 2018

Kecelakaan KM Sinar Bangun menjadi satu tragedi memilukan di Indonesia. DW berbincang dengan Siswanto Rusdi, Direktur The National Maritime Institute untuk mencoba melihat akar permasalahan kecelakaan kapal di Indonesia.

Indonesien Fähre gesunken
Foto: Reuters/Beawiharta

Indonesia dengan perairan yang sangat luas tentu sangat mengandalkan tranportasi air. Namun, sayangnya selalu terjadi insiden kapal yang memakan banyak korban jiwa. Terakhir, KM Sinar Bangun yang dilaporkan membawa hampir 190 penumpang tenggelam di Danau Toba.

DW: Di bulan Juni sudah terdapat empat kecelakaan kapal. 12 Juni KM Cikal dan Arista di Sulawesi, 13 Juni KM Albert di Selat Bangka dan 18 Juni KM Sinar Bangun di Danau Toba. Kenapa hal ini berulang? Dimana masalahnya?

Siswanto Rusdi: Pertama yang saya lihat, arsitekturnya sudah salah. Arsitektur keselamatan berlayar, keselamatan jiwa di laut di Indonesia ini salah. Salahnya dimana? Pertama, penanggungjawab keselamatan untuk setiap jenis kapal itu dibagi-bagi. Tidak utuh dipegang oleh otoritas. Misalnya kapal-kapal kecil, kapal-kapal tradisional, itu tata kelolanya dipegang oleh pemerintah daerah (Pemda). Sementara Pemda tidak memiliki SDM yang cukup. Juga tidak memiliki biaya atau anggaran yang cukup untuk menegakkan standar keselamatan. Jadi akhirnya petugas-petugas Pemda itu ya begitu saja, tidak bisa tegas. Bagaimana bisa tegas? Pagar di pelabuhan tidak ada. Kadang-kadang fasilitas fisik pelabuhan seadanya saja. Ada pembatas seadanya yang panjangnya cuma 10 - 20 meter, yang ketika musim orang berlibur tiba, itu bisa rubuh. Itu di dermaga, belum lagi di sisi perairannya, di laut atau di danaunya. Itu juga horor. Itulah yang terjadi di Danau Toba, di Sulawesi Selatan atau yang lainnya.

Jadi akar permasalahannya adalah dana atau budget yang kurang untuk memperbaiki fasilitas transportasi air?

Jadi kan ada tugas dan tanggungjawab yang didelegasikan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Tapi pendelegasian ini tidak disertai dengan pendelegasian dana. Kita tahu, tidak seluruh Pemda di Indonesia ini memiliki dana. Apalagi safety ini kan mahal.

Foto: privat

Menurut Anda dana adalah masalahnya. Apakah para pemangku wewenang juga memiliki pendapat yang sama?

Itu lah. Oleh Kementerian Perhubungan hari ini (22/06) sedang disebarkan, dibagi-bagikan life jacket ke pelabuhan-pelabuhan tradisional di Indonesia, yang saya dapat itu kabarnya di Kumai, di Kalimantan. Setelah tragedi ini dibagikan life jacket di beberapa pelabuhan tradisional, tapi arsitekturnya tidak berubah dan itu menggunakan anggaran pemerintah pusat. Kalau nanti pemerintah pusat lupa atau tidak punya lagi anggaran, bagaimana nanti pemerintah daerah membagikan life jacket itu untuk kapal-kapal tradisional di wilayah mereka. Kita tidak tahu.

Tapi ketika anggaran dinaikkan, itupun penggunaannya harus diawasi karena nanti rentan ada korupsi atau disalahgunakan. Jadi pemberian dana yang lebih besar juga bukan satu-satunya jalan.

Ya, tapi harus dimulai dengan itu dulu. Karena begini, Kementerian Perhubungan atau pemerintah pusat itu setengah hati memberdayakan pemerintah daerah. Anda bisa bayangkan, pengawasan kapal-kapal kecil diserahkan kepada Pemda. Pemda kan memungut retribusi. Nah seberapa besar sih bisa dikenakan retribusi oleh Pemda. Mungkin lebih besar retribusi terminal bus di daerah yang bersangkutan dibanding pelabuhan karena bisnis kapal tradisional ini bisnis UKM. Pengusahanya kebanyakan menjadi kru kapal yang bersangkutan. Tidak ada pembagian tugas yang jelas, jadi jangan bicara soal manifes penumpang di sini, tidak ada. Itu manajemen. Naik kapal tradisional, penumpang bayar di  tempat dan berangkat. Sulit bagi pengusaha ini mencetak tiket, melakukan mekanisme yang dianjurkan oleh standar keselamatan oleh Kementerian Perhubungan karena mereka tidak punya uang. Itu usaha yang marginnya sangat-sangat tipis. Ini kapal-kapal yang dikelola oleh keluarga. Dan tidak dilengkapi oleh asuransi. Ketika kapal tenggelam, bisnisnya karam juga.

Bagaimana dengan Standar Kapal Non Konvensi yang diluncurkan beberapa tahun lalu oleh Kementerian Perhubungan? Tujuannya adalah untuk mewujudkan "Zero Accident" tapi tetap terjadi kecelakaan kapal.

Kementrian Perhubungan meluncurkan Standar Kapal Non Konvensi (non convention vessel standard) 17 September 2009. Tapi sampai hari ini tidak jelas siapa yang menjalankannya di lapangan. Direktorat Perkapalan Kementerian Perhubungan kah? Kita tidak tahu. Walhasil setiap pembangunan kapal tradisional, tidak jelas siapa yang mengecek pembangunannya, alat-alat keselamatannya, alat-alat navigasinya. Tiba-tiba kapal itu masuk ke dalam pelabuhan-pelabuhan kecil, melayani penumpang, mengangkut barang, itulah yang terjadi. Syahbandar tidak tahu satu kapal itu layak atau tidak. Itu yang pertama. Yang kedua fasilitas pengedokan kapal, untuk mengecek dan memperbaiki kapal, juga tidak ada.

Tapi sebenarnya kapal-kapal tradisional ini diawasi dibawah Dinas Perhubungan Pemda, jadi sebenarnya ada yang mengawasi.

Sebagian iya. Tetapi proses sertifikasi itu dilakukan oleh marine inspector pegawai Kementerian Perhubungan. Ini misalnya kita orang Pemda, kita menerima surat permohonan sertifikasi kapal. Tapi yang datang nanti adalah pegawai pusat. Karena tidak ada pelimpahan tugas marine inspector ini ke Pemda. Bukan orang Dinas Perhubungan daerah yang akan mengecek itu karena mereka tidak ada SDM-nya. Ini kalau terkait sertifikasi ya. Tapi sejauh ini belum ada sertifikasi kapal-kapal tradisional.

Jadi apa langkah konkret yang harus dilakukan Kementerian Perhubungan agar kecelakaan semacam ini tidak terulang lagi?

Belajar dari kecelakaan kapal Sewol di Korea Selatan, pertama menteri perhubungan harus mundur. Menteri perhubungan gagal mencegah kecelakaan. Respon dan tanggung jawab yang cukup pasca tragedi itu juga tidak ada. Itu yang pertama, jadi harus ada dulu pertanggungjawaban moral. Kemudian yang juga tidak ada adalah arahan dari penanggungjawab tertinggi keselamatan transportasi, dalam hal ini menteri perhubungan. Jalan tol dan bandara seperti lebih dipentingkan daripada transportasi air. Laut hampir tidak dilirik. Apakah pernah menteri perhubungan menyidak kapal di pelabuhan-pelabuhan tradisional sebelum lebaran? Tidak ada. Lima tahun pemerintahan Jokowi, dua menteri perhubungan sudah dipilih, tidak terdengar berita pelabuhan-pelabuhan kecil ini diperiksa, dikontrol, syahbandar dicek.

Siswanto Rusdi adalah direktur dan pendiri The National Maritime Institute (Namarin). Namarin merupakan sebuah lembaga pengkajian (think tank) kemaritiman independen yang mengkonsentrasikan diri pada bidang kepelabuhanan, pelayaran, kelautan dan keamanan maritim atau maritime security. Lembaga ini didirikan di Jakarta pada Juli 2007 oleh akademisi, wartawan, naval architect serta pensiunan AL. Pemikiran yang dihasilkan oleh Namarin telah tersebar dalam berbagai pemberitaan media nasional, jurnal maupun internet.

Wawancara dilakukan oleh Nurzakiah Ahmad.

(na/ap)