Ketika Amerika Serikat mempertaruhkan hubungan dengan Cina saat mengesahkan UU Perlindungan Etnis Uighur, negara-negara mayoritas muslim justru bungkam atas bencana kemanusiaan di Xinjiang. Apa pasal?
Iklan
Saat ini diperkirakan setidaknya satu juta warga Uighur mendekam di kamp "reedukasi" yang dituding sebagai kamp konsentrasi abad modern. Di sana mereka tidak hanya dipaksa hidup di ruang sempit, berjejalan dengan tahanan lain, tetapi juga menjalani penyiksaan secara rutin.
Mereka yang dilepaskan menjalani kehidupan bak di penjara terbuka lantaran pengawasan ketat terhadap semua anggota keluarga. Prof. Dr. Susanne Schröter, Direktur Institut Islam Global di Universitas Frankfurt menilai cara barbarik tersebut merupakan metode yang lazim digunakan Partai Komunis Cina untuk memaksa etnis minoritas tunduk pada ideologi negara. Berikut kutipan wawancaranya.
DW: Betapa besarnya dimensi sistem pengawasan dan reedukasi di Xinjiang baru diketahui secara perlahan. Bagaimana Anda menilai kebijakan ini dalam konteks Cina?
Schröter: Pemerintah Cina adalah sebuah pemerintahan yang sangat otoriter dan berusaha menundukkan oposisi dengan berbagai cara. Metode ini tidak hanya diterapkan terhadap bangsa Uighur, tetapi juga semua yang menuntut liberalisasi atau demokratisasi. Dulu ada gerakan Falun-Gong yang ditumpas dengan cara-cara esktrem, contoh lain adalah pendukung Dalai Lama di Tibet. Jadi tidak mengejutkan jika kita melihat bagaimana pemerintah Cina memperlakukan oposisi Uighur.
Kamp reedukasi dalam sejarah Cina Komunis di abad ke-20 merupakan metode yang lazim digunakan. Cara ini ditempuh untuk memaksakan ideologi Partai Komunis kepada masyarakat dan sekaligus membuat gentar oposisi. Semua kelompok masyarakat terkena dampaknya, terutama jika mereka dituduh melakukan perlawanan terhadap pemimpin politik Cina.
Apa yang melandasi kebijakan Beijing di Xinjiang?
Bangsa Uighur melancarkan gerakan kemerdekaan. Di mata para pemimpin Cina, hal ini sudah menjadi alasan yang cukup untuk menindak mereka secara keras. Selain itu gerakan separatisme di Xinjiang tidak murni politis, tetapi juga dibungkus dalam bingkai muslim. Gerakan Islamis Turkistan Timur saat ini diakui oleh PBB atau Amerika Serikat sebagai gerakan teror. Sejak beberapa tahun kelompok ini melancarkan serangan teror spektakuler, seperti ledakan bom di stasiun kereta Kunming pada 2014 yang menewaskan lebih dari 30 warga sipil. Pemerintah di Beijing kerap menggunakan alasan ini untuk membenarkan kebijakan mereka terhadap bangsa Uighur.
Cara ini yang digunakan pemerintah Cina terhadap berbagai kelompok oposisi, yakni lewat persekusi, intimidasi maksimal dan juga dengan kamp kerja paksa yang kini disebut kamp reedukasi.
Selama ini Cina selalu berhasil menerapkan metode ini. Karena warga Uighur tidak memiliki ruang gerak lagi lantaran pengawasan yang seksama. Hal itu menguntungkan pemerintah Cina. Bahwa kebijakan mereka melanggar prinsip Hak Asasi Manusia adalah satu hal, tapi hal lain adalah metode itu berhasil menundukkan segala bentuk perlawanan dan hal ini lah yang diinginkan pemerintah.
Uighur - Diskriminasi di Cina dan Terdesak di Turki
Akibat banyaknya tekanan dari Cina sebagian warga Uighur pindah ke Turki. Awalnya itu tampak seperti solusi bagus, tetapi kini mereka terdesak karena tidak mendapat izin tinggal dan tidak dapat memperbarui paspor Cina.
Foto: Reuters/M. Sezer
Kritik terhadap Cina
Dunia internasional telah berkali-kali mengeritik Cina karena mendirikan sejumlah fasilitas yang digambarkan Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai tempat penahanan, di mana lebih sejuta warga Uighur dan warga muslim lainnya ditempatkan. Beijing menyatakan, langkah itu harus diambil untuk mengatasi ancaman dari militan Islam. Foto: aksi protes terhadap Cina di halaman mesjid Fatih di Istanbul.
Foto: Reuters/Murad Sezer
Tekanan ekonomi
Pada foto nampak seorang perempuan menikmati santapan yang dihidangkan restoran Uighur di Istanbul, Turki. Pemilik restoran, Mohammed Siddiq mengatakan, restorannya mengalami kesulitan karena warga Uighur biasanya menyantap makanan di rumah sendiri, dan warga Turki tidak tertarik dengan masakan Uighur.
Foto: Reuters/Murad Sezer
Suara perempuan Uighur
Gulbhar Jelilova adalah aktivis HAM dari Kazakhstan, dari etnis Uighur. Ia sempat ditahan selama 15 bulan di tempat penahanan yang disebut Cina sebagai "pusat pelatihan kejuruan." Ia mengatakan, setelah mendapat kebebasan ia mendedikasikan diri untuk menjadi suara perempuan Uighur yang menderita.
Foto: Reuters/Murad Sezer
Mencari nafkah di Turki
Dua pria Uighur tampak bekerja di toko halal di distrik Zeytinburnu, di mana sebagian besar warga Turki di pengasingan bekerja. Ismail Cengiz, sekjen dan pendiri East Turkestan National Center yang berbasis di Istanbul mengatakan, sekitar 35.000 warga Uighur tinggal di Turki, yang sejak 1960 menjadi "tempat berlabuh" yang aman bagi mereka.
Foto: Reuters/Murad Sezer
Merindukan kampung halaman
Gulgine Idris, bekerja sebagai ahli rpijat efleksi di Istanbul. Ketika masih di Xinjiang, Cina, ia bekerja sebagai ahli ginekolog. Kini di tempat prakteknya ia mengobati pasien perempuan dengan pengetahuan obat-obatan dari Timur. Turki adalah negara muslim yang teratur menyatakan kekhawatiran tentang situasi di Xinjiang. Bahasa yang digunakan suku Uighur berasal usul sama seperti bahasa Turki.
Foto: Reuters/Murad Sezer
Tekanan bertambah sejak beberapa tahun lalu
Sexit Tumturk, ketua organisasi HAM National Assembly of East Turkestan, katakan, warga Uighur tidak hadapi masalah di Turki hingga 3 atau 4 tahun lalu. Tapi Turki pererat hubungan dengan Cina, dan khawatir soal keamanan. Pandangan terhadap Uighur juga berubah setelah sebagian ikut perang lawan Presiden Suriah Bashar al Assad, yang berhubungan erat dengan Cina.
Foto: Reuters/Murad Sezer
Kehilangan orang tua
Anak laki-laki Uighur yang kehilangan setidaknya salah satu orang tua mengangkat tangan mereka saat ditanya dalam pelajaran agama di madrasah di Kayseri. Sekolah itu menampung 34 anak. Kayseri telah menerima warga Uighur sejak 1960-an, dan jadi tempat populasi kedua terbesar Uighur di Turki. Sejak keikutsertaan warga Uighur dalam perang lawan Assad, Cina memperkeras tekanan terhadap mereka.
Foto: Reuters/Murad Sezer
Mengharapkan perhatian lebih besar
Sebagian warga Uighur di Turki berharap pemerintah Turki lebih perhatikan kesulitan mereka, dan memberikan izin bekerja, juga sokongan dari sistem asuransi kesehatan. Foto: seorang anak perempuan menulis: "Kami, anak Turkestan, mencintai kampung halaman kami" dengan bahasa Uighur, di sebuah TK di Zeytinburnu. Warga Uighur di pengasingan menyebut kota Xinjiang sebagai Turkestan Timur.
Foto: Reuters/M. Sezer
Situasi terjepit
Warga Uighur juga tidak bisa memperbarui paspor mereka di kedutaan Cina di Turki. Jika kadaluarsa mereka hanya akan mendapat dokumen yang mengizinkan mereka kembali ke Cina, kata Munevver Ozuygur, kepala East Turkestan Nuzugum Culture and Family Foundation. (Sumber: reuters, Ed.: ml/hp)
Foto: Reuters/M. Sezer
9 foto1 | 9
Jika perlawanan dari dalam tidak lagi dimungkinkan, maka cuma tekanan dari luar yang bisa menggerakkan Cina. Apakah hal ini bisa diharapkan dari negara-negara muslim?
Kritik terhadap Cina soal pelanggaran HAM terhadap bangsa Uighur kebanyakan datang dari negara barat. Sampai beberapa tahun silam Turki misalnya mendukung perjuangan etnis Uighur. Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan bahkan menyebut kebijakan Cina di Xinjiang sebagai "genosida" pada tahun 2009. Dia juga lama mendukung gerakan separatisme dan menampung pelarian dari Xinjiang. Para pemimpin Uighur itu tidak hanya mendapat suaka, tetapi juga dibebaskan untuk melakukan aktivitas politik.
Tapi sikap Ankara sudah berubah. Pada 2017 silam menteri luar negeri Turki mengumumkan kebijakan keras terhadap warga Uighur yang hidup di pengasingan. Demonstrasi dan aksi politik minoritas Uighur di Turki saat ini tidak lagi diizinkan. Beberapa bahkan ditangkap. Erdogan pada lawatannya musim panas 2019 lalu bahkan memuji kebijakan minoritas pemerintah Cina.
Bagaimana menjelaskan perubahan sikap Erdogan?
Alasannya ada dua. Yang pertama adalah memburuknya hubungan Turki dengan negara barat. Ankara mencari kekuatan alternatif dan mendapati Cina sebagai sekutu baru. Yang kedua adalah hubungan dagang. Turki saat ini berkutat melawan krisis ekonomi dan membutuhkan hubungan perdagangan yang sehat. Dengan negara barat situasinya semakin sulit lantaran urusan Hak Asasi Manusia yang berimbas pada hubungan ekonomi. Cina sebaliknya tidak tertarik apakah Erdogan membungkam oposisi atau tidak.
Bagaimana sikap negara mayoritas muslim yang lain?
Iran misalnya tidak melayangkan kritik terhadap kebijakan Cina. Cina adalah importir terbesar minyak dari Iran, banyak berinvestasi di sektor migas dan aktif melebarkan hubungan dagang dengan Iran. Pakistan dan Arab Saudi juga bungkam atas alasan ekonomi. Pangeran Muhammad bin Salman bahkan memuji kebijakan minoritas Cina dan hal serupa diungkapkan berbagai negara Arab. Dalam hal ini pun hubungan ekonomi menjadi faktor penentu.
Banyak negara Islam dipimpin oleh pemerintahan yang otoriter dan sering mendapat kritik dari negara barat lantaran pelanggaran HAM. Hal ini berlaku untuk Mesir, negara-negara Teluk, untuk Pakistan, Iran dan sejumlah negara lain. Cina sebaliknya sama sekali tidak tertarik pada urusan HAM. Negara manapun bisa berbisnis dengan Cina tanpa perlu takut mendapat kritik terkait kebijakan internal masing-masing.
Prof. Dr. Susanne Schröter adalah Direktur Pusat Penelitian Islam Global di Universitas Johann Wolfgang von Goethe, Frankfurt, Jerman.
Wawancara dilakukan oleh Rodion Ebbighausen (rzn/vlz)
Potret Muslim Uighur di Cina
Cina melarang minoritas muslim Uighur mengenakan jilbab atau memelihara janggut. Aturan baru tersebut menambah sederet tindakan represif pemerintah Beijing terhadap etnis Turk tersebut. Siapa sebenarnya bangsa Uighur?
Foto: Reuters/T. Peter
Represi dan Larangan
Uighur adalah etnis minoritas di Cina yang secara kultural merasa lebih dekat terhadap bangsa Turk di Asia Tengah ketimbang mayoritas bangsa Han. Kendati ditetapkan sebagai daerah otonomi, Xinjiang tidak benar-benar bebas dari cengkraman partai Komunis. Baru-baru ini Beijing mengeluarkan aturan baru yang melarang warga muslim Uighur melakukan ibadah atau mengenakan pakaian keagamaan di depan umum.
Foto: Reuters/T. Peter
Dalih Radikalisme
Larangan tersebut antara lain mengatur batas usia remaja untuk bisa memasuki masjid menjadi 18 tahun dan kewajiban pemuka agama untuk melaporkan naskah pidatonya sebelum dibacakan di depan umum. Selain itu upacara pernikahan atau pemakaman yang menggunakan unsur agama Islam dipandang "sebagai gejala redikalisme agama."
Foto: Reuters/T. Peter
Balada Turkestan Timur
Keberadaan bangsa Uighur di Xinjiang dicatat oleh sejarah sejak berabad-abad silam. Pada awal abad ke20 etnis tersebut mendeklarasikan kemerdekaan dengan nama Turkestan Timur. Namun pada 1949, Mao Zedong menyeret Xinjiang ke dalam kekuasaan penuh Beijing. Sejak saat itu hubungan Cina dengan etnis minoritasnya itu diwarnai kecurigaan, terutama terhadap gerakan separatisme dan terorisme.
Foto: Reuters/T. Peter
Minoritas di Tanah Sendiri
Salah satu cara Beijing mengontrol daerah terluarnya itu adalah dengan mendorong imigrasi massal bangsa Han ke Xinjiang. Pada 1949 jumlah populasi Han di Xinjiang hanya berkisar 6%, tahun 2010 lalu jumlahnya berlipatganda menjadi 40%. Di utara Xinjiang yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi, bangsa Uighur bahkan menjadi minoritas.
Foto: picture-alliance/dpa/H. W. Young
Hui Yang Dimanja
Kendati lebih dikenal, Uighur bukan etnis muslim terbesar di Cina, melainkan bangsa Hui. Berbeda dengan Uighur, bangsa Hui lebih dekat dengan mayoritas Han secara kultural dan linguistik. Di antara etnis muslim Cina yang lain, bangsa Hui juga merupakan yang paling banyak menikmati kebebasan sipil seperti membangun mesjid atau mendapat dana negara buat membangun sekolah agama.
Foto: picture-alliance/AP Photo/A. Wong
Terorisme dan Separatisme
Salah satu kelompok yang paling aktif memperjuangkan kemerdekaan Xinjiang adalah Gerakan Islam Turkestan Timur (ETIM). Kelompok lain yang lebih ganas adalah Partai Islam Turkestan yang dituding bertalian erat dengan Al-Qaida dan bertanggungjawab atas serangkaian serangan bom di ruang publik di Xinjiang.
Foto: Getty Images
Kemakmuran Semu
Xinjiang adalah provinsi terbesar di Cina dan menyimpan sumber daya alam tak terhingga. Tidak heran jika Beijing memusatkan perhatian pada kawasan yang dilalui jalur sutera itu. Sejak beberapa tahun dana investasi bernilai ratusan triliun Rupiah mengalir ke Xinjiang. Namun kemakmuran tersebut lebih banyak dinikmati bangsa Han ketimbang etnis lokal.
Foto: Reuters/T. Peter
Ketimpangan Berbuah Konflik
BBC menulis akar ketegangan antara bangsa Uighur dan etnis Han bersumber pada faktor ekonomi dan kultural. Perkembangan pesat di Xinjiang turut menjaring kaum berpendidikan dari seluruh Cina. Akibatnya etnis Han secara umum mendapat pekerjaan yang lebih baik dan mampu hidup lebih mapan. Ketimpangan tersebut memperparah sikap anti Cina di kalangan etnis Uighur. Ed.: Rizki Nugraha (bbg. sumber)