Konferensi Besar NU antara lain menyerukan umat muslim agar berhenti memanggil kaum non-muslim dengan sebutan kafir. NU menilai istilah tersebut bisa menjurus kepada tindak diskriminasi atau bahkan persekusi.
Iklan
Isu kenegaraan menempati agenda utama dalam Konferensi Besar Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantren Miftahul Huda al-Azhar, Banjar. Salah satu keputusan monumental dalam pertemuan tersebut adalah seruan untuk berhenti memanggil kaum non-muslim dengan sebutan kafir.
"Kata kafir menyakiti sebagian kelompok non-Muslim yang dianggap mengandung unsur kekerasan teologis,” kata Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Abdul Moqsith Ghazali berdasarkan keterangan pers seperti dilansir Kompas.
Menurutnya ada kecenderungan mempersoalkan status agama seseorang meski sama-sama berstatus warga negara Indonesia. Sebagai dampaknya kaum non-muslim rentan menghadapi diskriminasi atau persekusi.
Teror Parang Perkuat Toleransi di Yogya
01:35
Hal ini ditegaskan pada sidang pleno musyawarah nasional NU pada Kamis (28/2). Para peserta Munas sepakat Pancasila memandang semua warga negara setara tanpa ada keistimewaan untuk suku, agama atau budaya tertentu. Hal ini dinilai selaras dengan semangat Piagam Madinah yang dibuat Nabi Muhammad SAW untuk menyatukan semua penduduk pasca hijrah.
"Memberikan label kafir kepada warga Indonesia yang ikut merancang desain negara Indonesia rasanya kurang bijaksana,” kata Kiai Moqsith kepada Kompas. "Dengan begitu, maka status mereka setara dengan warga negara yang lain."
Tren takfiri belakangan mulai marak di Indonesia dan acap diarahkan kepada minoritas Kristen, Katholik atau penganut Islam Syiah dan Ahmadiyah. Belum lama ini sekelompok warga di Yogyakarta memaksa memotong nisan salib milik seorang penduduk karena menolak simbol Kristen di pemakaman umum. Pihak keluarga didesak menandatangani surat yang menyetujui aksi pemotongan tersebut.
Menakar Keislaman Aliran Alevi
Hingga kini penganut aliran Alevi masih berpolemik ihwal identitas keislaman mereka. Sebagian mengklaim Alevi sebagai bagian Islam, yang lain menolak keras. Inilah potret kepercayaan sub kultur yang sering ditindas itu
Foto: Imago/Zuma Press/xDavidxI.xGrossx
Kelahiran Turki, Berakar di Islam
Alevi adalah keyakinan berpengikut terbesar kedua di Turki. Sekitar 15-25% penduduk memeluk ajaran yang terbentuk pada abad ke-13 di dataran Anatolia ini. Alevi banyak mengadopsi ajaran Syiah yang diiringi dengan sentuhan sufisme. Meski Alevi berarti pengikut Imam Ali, keyakinan ini berbeda dengan Syiah Alawiyah yang berakar di Arab.
Foto: AP
Pengikut Ali Ibn Abi Thalib
Alevi terutama mengagungkan salah satu khalifah Islam, Ali ibn Abi Thalib. Menurut teologi Alevi, Ali merupakan salah satu wali Allah S.W.T. Aliran ini juga menghormati empat kitab suci agama samawi. Berbeda dengan Islam pada umumnya, Al-Quran buat kaum Alevi bukan sumber hukum dan cendrung menginterpretasikan ayat-ayat Al-Quran dari sudut pandang mistik
Foto: gemeinfrei
Islam Atau Bukan?
Termasuk ke dalam salah satu bentuk ibadah kaum Alevi adalah tarian berputar serupa Sufisme yang disebut Semah. Mereka tidak menjalankan rukun Islam dan Iman. Sebab itu pula banyak pengikut Alevi yang menanggap keyakinannya tidak bisa digolongkan Islam. Namun begitu pemimpin revolusi Iran, Ayatollah Khomeini, menetapkan pada dekade 1970an bahwa Alevi merupakan bagian dari Islam Syiah.
Foto: Imago/Zuma Press/xDavidxI.xGrossx
Kesempurnaan Absolut
Tujuan keimanan menurut Alevi adalah pencerahan dan kesempurnaan dalam konteks Al-Insan al-Kamil. Kesempurnaan itu bisa dicapai dengan cara menaklukkan hawa nafsu, rasa cinta terhadap sesama, kesabaran, kesederhanaan dan nilai-nilai kebajikan lain yang digunakan pada kehidupan sehari-hari.
Foto: Imago/Zuma Press
Semua dan Sama
Perempuan dalam tradisi Alevi memiliki posisi setara dengan laki-laki. Ajaran ini juga melarang poligami dan menganggap semua umat agama sebagai saudara seiman. Sebab itu pula kaum Alevi menilai semua agama berada di jalan yang benar menuju Tuhan.
Foto: Imago/Zuma Press
Puasa Muharram
Alevi juga mewajibkan umatnya berpuasa. Tapi berbeda dengan Islam, kaum Alevi berpuasa selama 12 hari di bulan Muharram. Setelah masa puasa tersebut mereka merayakan hari Asyura yang dalam tradisinya menyaratkan setiap orang memasak dan membagi-bagikan makanan pada teman, tetangga dan saudara.
Foto: Imago/Zuma Press/xDavidxI.xGrossx
Keyakinan 12 Imam
Ajaran Alevi tidak mengenal ritual Sholat dan tidak memiliki ketetapan waktu untuk melakukan ibadah. Kebanyakan ritual ibadah Alevi juga berbeda dengan Islam Sunni atau Syiah. Namun Alevi juga meyakini 12 Imam yang diagungkan Syiah Imamiyah. Mereka terutama mengikuti ajaran Imam ke-enam, Ja'far As-Shadiq yang juga menjadi guru bagi dua pendiri Mazdhab Sunni, yakni Abu Hanifah dan Malik bin Anas.
Foto: AP
Tragedi Madimak
Adalah pembantaian di hotel Madimak di kota Sivas pada 1993 yang mengubah wajah Alevi. Saat itu 37 pengikut Alevi yang sedang menghadiri festival dibakar hidup-hidup di dalam hotel oleh pengikut Sunni di Turki. Untuk menghindari tragedi serupa terulang, sejak itu kaum Alevi tidak lagi bersembunyi, melainkan mulai aktif di ranah publik. Meski begitu pengikut Alevi sering menjadi korban presekusi
Foto: ADEM ALTAN/AFP/Getty Images
8 foto1 | 8
Sentimen anti non-muslim juga menjurus pada pembakaran rumah ibadah saat seorang warga Tanjung Balai, Sumatera Utara, mengeluhkan volume suara adzan di kediamannya. Massa yang mengamuk lalu melakukan aksi pengrusakan terhadap sejumlah wihara. Pelaku pembakaran hanya dihukum beberapa bulan penjara.
Namun tidak semua sepakat dengan himbauan Nahdlatul Ulama. Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, Fahri Hamzah, misalnya menilai usulan NU tersebut merupakan upaya "merevisi iman" karena istilah kafir muncul dalam berbagai bentuk di agama-agama lain, tulisnya via Twitter.
"Jangan sekali-kali ada majelis duduk untuk saling merevisi iman. Itu sakit jiwa namanya. Santai aja, mari kita berlomba menemukan cara untuk saling menikmati perbedaan. Masa menerima #KataKafir aja gak sanggup? Ya ampun. Dewasalah bangsaku."
Sementara itu tokoh muda NU, Ulil Abshar Abdalla, menilai keputusan NU bisa menjadi contoh di negara muslim lainnya tentang kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurutnya meski merupakan langkah kecil, keputusan tersebut "akan mengubah teologi politik umat Islam untuk masa mendatang. Dan ini datang dari Indonesia;" tulisnya lewat akun Twitter.
Gus Miftah rajin menyambangi pusat lokalisasi dan klub malam buat membawa pesan Tuhan. Dakwahnya menjawab dahaga rohani pekerja bisnis hiburan malam. Namun niat baik tidak selalu membawa pujian.
Foto: Reuters/N. Laula
Bukan Ustadz Biasa
Mifta’im An’am Maulana Habiburrohman tak terlihat seperti ustadz pada umumnya. Pakaiannya cenderung santai. Bukan kopiah dan baju koko, dia mengenakan blangkon jawa yang dipadu dengan kemeja lapangan. Jemaah dakwahnya pun tergolong unik. Dia berceramah di kelab malam di Bali di hadapan pegawai dan pengunjung yang sebagiannya tidak beragama Islam.
Foto: Reuters/N. Laula
Menghadap Kaum Terbuang
Gus Miftah merasa terpanggil untuk datang menghadap kaum yang selama ini dipandang sebelah mata di masjid-masjid, yakni pekerja kelab malam yang sebagian besarnya perempuan. "Ini adalah tuntutan pekerjaan atau tuntutan hidup yang memaksa mereka menjalani pekerjaan ini untuk bisa bertahan," ujarnya kepada Reuters.
Foto: Reuters/N. Laula
Misi Diongkosi Sendiri
"Saya tidak berhak menghakimi mereka," kata dia, "saya di sini hanya untuk membantu mereka agar tidak melupakan Tuhan." Dan sebab itu dia mengongkosi sendiri perjalanannya saat diundang ceramah oleh pemilik Boshe VVIP Club di Kuta, Bali, katanya kepada Tempo. Ia juga menolak saat hendak diberi uang. Untuk nafkah keluarga, kata dia, tidak seharusnya didapat dari kelab malam.
Foto: Reuters/N. Laula
Membawa Tuhan ke Kegelapan
Selain giat berceramah di dunia remang-remang dan lingkungan esek-esek yang telah dilakoninya selama 14 tahun, Gus Miftah juga mengurus pondok pesantren Ora Aji Tundan di Yogyakarta. Aktivitasnya itu sempat mengundang kecaman dari sejumlah kelompok konservatif. Namun dia didukung oleh Ketua PBNU, Robikin Emhas, yang mengatakan Gus Miftah membawa pesan Tuhan ke tempat tergelap.
Foto: Reuters/N. Laula
Panggilan Rindu Pekerja Klub Malam
Dia mengaku menyambangi Bosche di Kuta lantaran mendapat panggilan kangen dari para pegawai dan pengelola klub. Kepada mereka dia mendakwah tentang manajemen hidup agar bisa mendekat kepada Tuhan. Ia mengingatkan betapa "baiknya Tuhan sama kalian. Buktinya, kalian bermaksiat, tapi Tuhan masih menitipkan rezeki," tuturnya kepada Tempo.
Foto: Reuters/N. Laula
Jalan Berliku Menuju Kegelapan
Kiprahnya berdakwah di klub Boshe bermula 2006 silam saat dia mendapat permintaan dari seorang pekerja klub cabang Yogyakarta tersebut. Setelahnya dia melanjutkan upaya dakwah ke pusat lokalisasi, Pasar Kembang. Meski sempat ditolak dan diancam, dia tetap bersikukuh dan akhirnya diizinkan menggelar pengajian.
Foto: Reuters/N. Laula
Berdamai dengan Malam
Pekerja klub Boshe di Bali mengaku menyukai gaya khotbah Gus Miftah lantaran diselipi humor dan cendrung santai. Kebanyakan merasa bisa berdamai dengan pekerjaan yang mereka lakoni setelah bertemu sang ustadz. “Meskipun kami bekerja seperti ini, kami masih memiliki agama dan kami masih ingin berbuat baik,” kata seorang karyawan wanita berusia 27 tahun. rzn/vlz (rtr, tempo, detik, cnnindonesia)