1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Konflik

Kenapa Perang Saudara di Arab Tidak Akan Pernah Berakhir?

6 Juli 2018

Perang saudara dalam konteks Arab merujuk pada kelompok yang hidup melalui ikatan kekeluargaan atau kesukuan. Sebab itu pula, menurut Morris Ayek, cendikiawan Suriah, perang saudara di Timur Tengah tidak akan berakhir

Syrien Kobane Kämpfe 05.10.2014
Foto: picture-alliance/dpa/AP Photo/Lefteris Pitarakis

Dunia Arab berdetak dalam ritme perang saudara, dari Suriah hingga Irak, Libya, Yaman dan Somalia dan sebelumnya, Libanon, Sudan dan Aljazair. Perang hanya berakhir untuk kemudian kembali berkecamuk. Dan contoh paling ekstrim dari fenomena ini mungkin adalah perang saudara berkepanjangan di Libanon.

Bahkan ketenangan dan stabilitas yang terkadang tercipta lebih menyerupai perang 'dingin' saudara yang dilancarkan rejim penguasa terhadap rakyatnya sendiri. Karena stabilitas dan keamanan di dunia Arab hanyalah sisi lain kekuasaan yang mengandalkan polisi rahasia dan militer.

Konsep Arab untuk "perang saudara" merujuk pada pertalian keluarga, berbeda dengan di Inggris atau Jerman yang merujuk pada perang antara warga negara. Konsep tersebut adalah endapan dari perdebatan yang marak pada dekade 1990an seputar gagasan "masyarakat madani" sebagai perantara antara individu dan negara, dalam bentuk partai-partai politik, serikat buruh atau organisasi kemasyarakatan.

Dalam skenario Arab, entitas yang berfungsi menjembatani rakyat dan pemerintah adalah suku, klan atau institusi keagamaan, yang semuanya berhubungan dalam ikatan kekeluargaan, bukan struktur sipil atau institusi modern. Untuk alasan ini, konsep komunitas dibuat untuk membedakannya dengan fenomena masyarakat madani yang hilang atau baru seumur jagung. Perdebatan tentang masyarakat madani dan komunitas adalah semata-mata fenomena Arab.

Suasana di Beirut selama perangFoto: AP

Di sini pun, keunikan bahasa Arab - meski istilah tersebut berarti serupa dalam bahasa lain - berguna ketika memahami perang saudara Arab sebagai perang antara entitas sosial. Istilah perang saudara di bahasa Rusia, Perancis, Spanyol, Yunani dan lainnya adalah antara warga negara. Kelompok-kelompok yang mengidentifikasikan diri melalui ideologi dan institusi modern membidik kemenangan ideologi-ideologi panutannya.

Sebaliknya perang saudara Arab adalah konflik antara sanak saudara. Pasalnya kelompok sosial cendrung menjadi partisan, entah itu bersifat sektarian, kesukuan, kepartaian atau etnis. Perbedaan penting antara dua jenis konflik ini adalah bahwa perang saudara Arab tidak memiliki akhir. Di dunia non-Arab, konflik berakhir ketika salah satu ideologi terkalahkan, sementara dengan kita bangsa Arab, kemenangan tidak menutup cerita. Kaum Sunni, Syiah, Alawit dan kaum Kristen akan tetap ada, seperti juga bangsa Arab, Kurdi atau Sudan Selatan.

Motor Konflik Berupa Ikatan Sosial

Satu-satunya poin dalam perang saudara Arab adalah wilayah kekuasaan yang biasanya didominasi warlord yang hidup dengan mengobarkan perang sebagai sumber kemakmuran, pemaksaan dan penjarahan. Hal ini berbeda dengan perang saudara di tempat lain, di mana kedua pihak yang bertikai membidik pertumbuhan ekonomi untuk menjamin sumber daya dan kemenangan. Ironisnya, model mencari keuntungan seperti ini serupa dengan struktur perekonomian Arab.

Politisasi kelompok sosial terjadi dalam dua bentuk. Pada level yang kasatmata, dalam kasus Islam Politik misalnya, baik Syiah, Sunni atau Kristen Maronit, afiliasi sektarian dipolitisasi. Tapi juga ada fenomena samar tak terlihat, di mana rejim Suriah saat ini dan pemerintah Irak pada era Saddam Husein, belum lagi Partai Sosialis Progresif Libanon, mengusung ideologi modern, namun masih mengandalkan ikatan sosial sebagai motor penggerak.

Di sini kita diingatkan pada perang saudara di Afrika, di mana masing-masing suku membentuk barisan liberal, demokratis atau progresifnya sendiri.

Lantas kenapa Arab mengobarkan perang kesukuan dan bukan perang saudara? Atau kenapa identitas sipil modern gagal menggeser identitas kesukuan Arab? Adaptasi identitas sipil tidak mengecualikan kemungkinan terjadinya perang. Fenomena ini banyak terjadi di abad ke20. Tapi dilema menghadapi identitas berdasarkan ikatan kekeluargaan adalah bahwa perang saudara akan berlangsung tanpa henti.

Identitas Sipil dan Era Liberal

Dari penghujung abad ke19 hingga dekade 1940an, era liberal Arab mengalami pesatnya perkembangan dan pertumbuhan identitas sipil. Ada dua faktor yang menciptakan fenomena tersebut: pertama adalah pertumbuhan ekonomi dan kemerdekaan melalui kemunculan industri modern yang memungkinkan tumbuhnya aspek lain, termasuk identitas kelas.

"Dilema menghadapi identitas berdasarkan ikatan kekeluargaan adalah bahwa perang saudara akan berlangsung tanpa henti."Foto: picture-alliance/dpa

Pergulatan yang muncul di dalam roda ekonomi terkristalisasi di sepanjang garis kelas dan menggeser identitas sipil. Buruh hidup dalam kondisi mengenaskan dan mereka mengidentifikasikan diri sebagai pion dalam perang melawan eksploitasi kapitalis, terlepas dari afiliasi sektariannya.

Kedua adalah sistem parlementer, kebebasan pers dan tumbuhnya kelas menengah menciptakan ruang publik yang mengadopsi bahasa bersama dan menggeser peran komintas atau kelompok sosial. Ini tidak berarti absennya kelompok sosial. Sebaliknya, mereka tetap aktif dan berakar di dalam partai-partai atau gerakan politik Arab masa itu.

Meski demikian, kemerdekaan ekonomi dan eksistensi ruang publik membuka jalan bagi terbentuknya area yang terbebas dari ikatan kekeluargaan. Terlebih kelompok-kelompok sosial harus mengembangkan citra dan bahasa yang inklusif dan tidak mengisolasinya dari kelompok lain.

Kontrakdisi era liberal seperti kesenjangan ekonomi, manipulasi sistem parlementer dan pemerintahan yang hanya menguntungkan kaum elit adalah alasan di balik kejatuhannya dan perlucutannya oleh rejim otoriter dan populis. Mereka merebut kekuasaan dengan cara kudeta yang kebanyakan bisa dijabarkan melalui ikatan partisan. Bahkan dengan rejim tradisionalis, legitimasi mereka dibangun atas struktur keberpihakan yang telah mengendap lama dan melindungi sistem politik yang ada.

Melucuti Domain Publik

Dari paruh kedua abad ke20 hingga saat ini, negara-negara Arab melakukan ekspansi dan mengambilalih kendali atas masyarakat melalui nasionalisasi seperti yang dilakukan rejim populis atau melalui monopoli sumber kemakmuran di negara lain. Dengan cara itu, negara menguasai perekonomian dan memberangus ruang publik. Semua menjadi sandera keamanan nasional. Negara menjadi eksekutor kekuasaan, kemakmuran dan status sosial, meski kontrol terhadap negara itu sendiri hanya mungkin melalui ikatan partisan atau kekeluargaan.

Aksi demonstrasi di Mesir pada 2013Foto: picture-alliance/AP Photo/Khalil Hamra

Dengan melucuti domain publik seperti pers yang bebas dan sistem parlementer, negara mengancurkan ruang di mana identitas sipil dan nasional bisa diayomi dan dikembangkan di luar lingkup kelompok sosial. Yang terakhir mencakup kehidupan sehari-hari bertetangga, di klub-klub atau jejaring pertemanan dan ini meliputi kontak atau lingkaran yang mendukung bisnis, yang sebaliknya berdasarkan afiliasi kekeluargaan dan sektarian.

Bertentangan dengan lingkup harian kelompok sosial, identitas modern terkesan lebih abstrak, tidak berbentuk dan tidak biasa. Identitas ini mengusung semangat "kolektif" atau individu yang tidak termasuk dalam hubungan sosial sehari-hari. "Bangsa" adalah salah satu contoh dari fenomena ini, terutama dengan seruan kolektif imajiner yang menggeser hubungan sehari-hari. Seperti kata Benedict Anderson, identitas modern hanya ada jika dikembangkan di sepanjang lingkup domain publik.

Teori ini benar dari sudut pandang kelas, meski hanya bisa disimak dalam konteks pergulatan kelas itu sendiri. Terlebih, identitas kelas hanya bisa berperan jika didukung oleh logika kemerdekaan ekonomi, kecuali ini diganti dengan sistem kenegaraan yang menghasilkan keuntungan untuk pemerataan kemakmuran, bertansformasi dengan menjamin kemakmuran dan membeli kesetiaan.

Dengan memonopoli perekonomian, negara dalam tradisi Arab menjadi jalur menuju kemakmuran. Kesejahteraan hanya bisa dicapai melalui negara dalam bentuk kontrak kerja atau izin ekspor dan impor, atau bahkan mengamankan jabatan di pemerintahan yang membuka peluang korupsi. Jenis interaksi semacam ini memperkuat hubungan persaudaraan yang diwakili oleh jejaring klientel di antara pejabat pemerintah dan lingkarannya.

Negara Arab, entah itu dalam perannya menjamin kemakmuran atau populis, tidak pernah bisa dianggap sebagai negara modern dalam konteks normal, di mana masyarkat madani berusaha membangun sebuah bangsa. Sebaliknya, negara Arab fokus mengumpulkan kemakmuran untuk kelompok sosial yang dominan dan dengan begitu melindungi struktur sosial berdasarkan ikatan keluarga.

Morris Ayek

© Qantara.de 2018

Alih bahasa oleh Rizki Nugraha

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait