1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiJerman

Kenapa Perekonomian Jerman Ingin Perangi Rasisme?

29 Februari 2024

Arus migrasi tenaga kerja asing yang dibutuhkan perekonomian Jerman masih terhadang isu rasisme dan diskriminasi di tempat kerja. Sebuah aliansi antara pemerintah, swasta dan serikat buruh ingin membawa perubahan.

Ilustrasi buruh migran di Jerman
Ilustrasi buruh migran di JermanFoto: Sven Hoppe/dpa/picture alliance

Satu perkara menciptakan momen kesatuan yang langka antara pemerintah, dunia korporasi dan serikat buruh di Jerman. Dalam sebuah acara di negara bagian Baden-Württemberg, ketiga pihak sepakat  bekerja sama memerangi ekstremisme dan mengumumkan terbentuknya sebuah aliansi baru.

"Misi kami adalah memerangi ekstremisme kanan, musuh konstitusi yang tidak menghargai martabat manusia," kata Presiden Jerman Frank-Walter Steinmeier dalam pidatonya.

Sudah sejak Januari lalu, Steinmeier menyerukan dibentuknya aliansi untuk Demokrasi Melawan Ekstremisme di Jerman. Asosiasi penyedia lapangan kerja, Südwestmetall, dan serikat buruh logam Metall di Baden-Württemberg mengikuti ajakan tersebut dan ikut menandatangani deklarasi aliansi berjudul "Ekonomi untuk Demokrasi." Pun raksasa otomotif Mercedes-Benz atau Porsche ikut membubuhkan dukungannya.

Jerman butuh 400.000 tenaga kerja asing per tahun

Bagi para pelaku industri, aliansi dengan serikat buruh dan pemerintah bersifat eksistensial. Pasalnya, Jerman sangat bergantung pada pasokan tenaga kerja dari luar negeri. Jumlahnya, menurut studi Institut Riset Pasar Tenaga Kerja, IABf, setiap tahun diperkirakan mencapai 400.000 tenaga kerja asing.

Ketika pertumbuhan ekonomi menyusutkan arus migrasi dari negara-negara Eropa Timur, Jerman mulai menggantungkan harapan kepada pendatang dari luar Eropa. Namun perkaranya, isu rasisme dan diskriminasi terhadap warga berkulit gelap, terlebih perempuan, masih menjadi ganjalan besar. Tidak sedikit jumlah pekerja migran yang lalu memutuskan keluar dari Jerman.

Tanpa migrasi, industri otomotif sulit beroperasi

"Dari sudut pandang kami, penting saat ini bagi kita untuk menghidupkan perdebatan di ruang kerja dan mengaitkannya dengan poin-poin kita, misalnya "pemufakatan" dalam pembuatan keputusan, kata Barbara Resch dari serikat buruh, IG Metall. "Pemufakatan menjamin rasa aman dan saya yakin, ideologi ekstrem kanan menghinggap karena orang takut masa depan," ujarnya lagi. 

Resch mengusulkan demokratisasi ruang kerja, di mana diskusi berlangsung lintas hierarki dan pendidikan pegawai diprioritaskan.

"Baden-Württemberg tidak lagi bisa memproduksi mobil, membangun mesin dan tidak lagi dilintasi bus, jika kita tidak memiliki keragamaan suku bangsa di tempat kerja dan di dalam administrasi," imbuhnya, merujuk pada negara bagian yang mencatatkan sepertiga omset tahunan industri otomotif Jerman itu.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Larangan berbahasa asing di ruang istirahat

Bagaimana rasisme muncul di tempat kerja, bisa dilihat pada sebuah kasus yang didokumentasikan Badan Antidiskriminasi Federal Jerman. Menurut catatan, sekelompok buruh Turki pernah melaporkan, mereka dilarang berbicara dalam bahasa daerah selama masa istirahat. Pelakunya adalah pemilik perusahaan.

Bagi pemerintah, kasus tersebut jelas dianggap sebagai "tindak diskriminasi berdasarkan latar belakang etnik."

Diskriminasi rasial di tempat kerja sudah sering dikeluhkan warga asing di Jerman. Pada 2016, sebuah riset Universitas Linz di Austria yang mengirimkan lamaran kerja fiktif di Jerman memicu kontroversi.

Hasilnya menunjukkan betapa perempuan bernama Arab lebih jarang diundang untuk wawancara. Ditambah dengan foto berjilbab, tingkat penerimaan bahkan lebih rendah lagi.

Ponten merah untuk Jerman

Pada tahun 2023, sebuah penelitian di Uni Eropa menemukan bahwa orang kulit gelap merasa sangat didiskriminasi di Jerman. Dari 13 negara Uni Eropa yang disurvei oleh Badan UE untuk Hak-Hak Fundamental, FRA, Jerman mencatatkan kinerja terburuk.

Hampir 51 persen warga berkulit gelap di Jerman merasa dirugikan, terutama ketika mencari pekerjaan. Dalam studi OECD baru-baru ini, lebih dari separuh pekerja terampil yang datang ke Jerman melaporkan adanya diskriminasi.

Apakah Jerman Lakukan Deindustrialisasi?

03:32

This browser does not support the video element.

Institute for Applied Economic Research, IAW, juga mengangkat topik serupa tahun lalu. Berdasarkan hasil survei, sebanyak 51 persen warga kulit berwarna melaporkan kejadian diskriminasi. Sementara pada migran berkualifikasi tinggi, jumlahnya mencapai dua pertiga. Bagi lebih dari lima persen, rasisme cukup menjadi alasan untuk meninggalkan Jerman.

"Yang penting sekarang memperhatikan tindak diskriminasi terhadap mereka yang memutuskan menetap di sini," kata Direktur IAW Bernhard Boockmann, kepada DW.

"Mereka masih mengalami diskriminasi di pasar tenaga kerja dan tertinggal dalam pertumbuhan karir dibandingkan orang Jerman tanpa latar belakang migran atau mengalami diskriminasi dalam besaran gaji." Dalam hal ini, aliansi baru yang terbentuk di Baden-Württemberg mungkin bisa memberikan solusi.

(rzn/hp)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait