Satu per satu festival dan konser di Turki dibatalkan karena mendukung kesetaraan bagi minoritas seksual. Sentimen anti-LGBTQ dikhawatirkan hanya akan memperkuat isolasi dan mendorong kaum minoritas seksual bersembunyi.
Iklan
Penampilan penyanyi pop Turki, Hande Yener, sejatinya sudah dijadwalkan untuk mengiringi penutupan sebuah festival pengobatan alternatif di barat daya Provinsi Balikesir. Namun apa daya, hujan kecaman kelompok konservatif muslim dan ultranasionalis Turkidi internet memaksa penyelenggara membatalkan konser tersebut.
Yener yang berusia 50 tahun sejak lama dikenal lewat dukungan terbuka bagi komunitas minoritas seksual. Dalam sebuah surat pernyataan, sebanyak 26 organisasi Islam dan ultranasionalis Turki mengimbau pemerintah untuk melarang festival serupa, karena dianggap menormalisasi konsumsi alkohol dan perilaku tidak bermoral.
Yener enggan berpolemik ketika merespons pembatalan konsernya. Namun, dalam sebuah unggahan di media sosial, dia menyiratkan duka saat menulis "kita akan saling menyembuhkan satu sama lain.”
Kami Berasal dari Sini: Kehidupan Keturunan Turki-Jerman dalam Gambar
Untuk merayakan ulang tahun ke-60 kesepakatan penerimaan pekerja migran asal Turki di Jerman, museum Ruhr memamerkan foto-foto karya fotografer asal Istanbul, Ergun Cagatay.
Fotografer Ergun Cagatay dari Istanbul, pada 1990 mengambil ribuan foto warga keturunan Turki yang berdomisili di Hamburg, Köln, Werl, Berlin dan Duisburg. Ini akan dipajang dalam pameran khusus “Kami berasal dari sini: Kehidupan keturunan Turki-Jerman tahun 1990” di museum Ruhr. Pada potret dirinya dia memakai pakaian pekerja tambang di Tambang Walsum, Duisburg.
Dua pekerja tambang bepose usai bertugas di tambang Walsum, Duisburg. Dipicu kemajuan ekonomi di tahun 50-an, Jerman menghadapi kekurangan pekerja terlatih, terutama di bidang pertanian dan pertambangan. Menindak lanjuti kesepakatan penerimaan pekerja migran antara Bonn dan Ankara pada 1961, lebih dari 1 juta “pekerja tamu” dari Turki datang ke Jerman hingga penerimaan dihentikan pada 1973.
Ini foto pekerja perempuan di bagian produksi pelapis interior di pabrik mobil Ford di Köln-Niehl. “Pekerja telah dipanggil, dan mereka berdatangan,” komentar penulis Swiss, Max Frisch, kala itu. Sekarang, komunitas Turki, dimana kini sejumlah keluarga imigran memasuki generasi ke-4, membentuk etnis minoritas terbesar di Jerman dengan total populasi sekitar 2.5 juta orang.
Foto menunjukan keragaman dalam keseharian orang Turki-Jerman. Terlihat di sini adalah kedelapan anggota keluarga Hasan Hüseyin Gül di Hamburg. Pameran foto di museum Ruhr ini merupakan liputan paling komprehensif mengenai imigran Turki dari generasi pertama dan kedua “pekerja tamu.”
Saat ini, bahan makanan seperti zaitun dan keju domba dapat ditemukan dengan mudah di Jerman. Sebelumnya, “pekerja tamu” memenuhi mobil mereka dengan bahan pangan itu saat mereka balik mudik. Perlahan-lahan, mereka membangun pondasi kuliner Turki di Jerman, untuk kenikmatan pecinta kuliner. Di sini berpose Mevsim, pemilik toko buah dan sayur di Weidengasse, Köln-Eigelstein.
Anak-anak bermain balon di Sudermanplatz, kawasan Agnes, Köln. Di tembok yang menjadi latar belakang terlihat gambar pohon yang disandingkan dengan puisi dari Nazim Hikmet, penyair Turki: “Hidup! Seperti pohon yang sendiri dan bebas. Seperti hutan persaudaraan. Kerinduan ini adalah milik kita.” Hikmet sendiri hidup dalam pengasingan di Rusia, hingga dia meninggal pada 1963.
Di sekolah baca Al-Quran masjid Fath di Werl, anak-anak belajar huruf-huruf Arab agar dapat membaca Al-Quran. Itu adalah masjid dengan menara pertama yang dibuka di Jerman pada tahun 90-an. Sejak itu warga Turki di Jerman tidak perlu lagi pergi ke halaman belakang untuk shalat atau beribadah.
Cagatay, sang fotografer berbaur dengan para tamu di sebuah pesta pernikahan di Oranienplatz, Berlin-Kreuzberg. Di gedung perhelatan Burcu, para tamu menyematkan uang kepada pengantin baru, biasanya disertai dengan harapan “semoga menua dengan satu bantal.” Pengantin baru menurut tradisi Turki akan berbagi satu bantal panjang di atas ranjang pengantin.
Tradisi juga tetap dijaga di tanah air baru ini. Di pesta khitanan di Berlin Kreuzberg ini, “Masyaallah” tertulis di selempang anak sunat. Itu artinya “terpujilah” atau “yang dikehendaki tuhan.” Pameran antara lain disponsori Kementerian Luar Negeri Jerman. Selain di Essen, Hamburg dan Berlin, pameran juga akan digelar di Izmir, Istanbul, dan Ankara bekerjasama dengan Goethe Institute. (mn/as)
Nasib serupa dialami sejumlah seniman lain. Menurut situs pemantau kebebasan seni, SÖZ, tahun ini sudah setidaknya 27 seniman mengalami pembatalan terhadap 15 konser akibat hasutan atau bahkan serangan.
Bagi Burhan Sesen, musisi dan ketua asosiasi musik, MÜYORBIR, gelombang pembatalan ikut dirasakan oleh pihak lain yang bekerja di industri musik, terutama sejak kelesuan selama pandemi. Menurutnya, tuntutan pembatalan mengancam lapangan kerja bagi sekitar satu juta orang.
"Seorang muslim kan tidak lantas berhenti salat atau mulai mengkonsumsi alkohol hanya karena mendatangi konser musik."
Seiring kampanye anti-LGBTQ di konser musik, kelompok konservatif Turki mulai giat mengkampanyekan tuntutan bagi adanya label "pesta halal.” Konsep tersebut antara lain menyaratkan pemisahan tempat antara laki-laki dan perempuan.
Isolasi sosial perkuat perpecahan
Cangül Örnek, pemerhati politik di Universitas Maltepe, mengritik pembatalan konser dan festival karena merongrong demokrasi.
"Sudah jelas betapa rezim ini sudah sedemikian jauh dan negara hukum, sampai-sampai sebagian kelompok berani mendiktekan perkembangan negeri sesuai keinginan sendiri,” kata dia. "Laizisme Turki kini hanya tersisa di atas kertas.”
Örnek meyakini, gelombang hasutan melawan seniman pro-LGBTQ hanya akan memperkuat isolasi sosial dan mendorong minoritas seksual bersembunyi. Menurutnya, kekhawatiran terbesar adalah bahwa kaum muda dari lapisan sosial dan politik yang berbeda-beda tidak lagi bisa berdialog dan bermusyawarah, lantaran jurang perpecahan yang melebar.