Jika ulama menjadi bagian dari kekuasaan, lalu siapa yang kelak akan menasehatinya jika penguasa serong atau lalim? Ikuti opini Aguk Irawan.
Iklan
Pengamat politik banyak yang berasumsi, bahwa untuk kali ini, proses demokrasi seperti sedang kesandung dan mengalami satu dosis keedanan. Itu sebabnya prosesnya tampak tak wajar, berbelit, terkesan melimpah ruah tipu daya.
Berita Jendral Kardus kemudian menjadi viral, juga aroma politik uang dan siasat saling menikung sesama kader terbaik bangsa. Tak terkecuali para kiai dan cendekiawan.
Kenapa tahun politik ini layak disebut sebuah poltik dosis keedanan? Fakta ini yang berbicara;Petahana berdampingan dengan ulama yang berusia 75 tahun. Prabowo juga memilih tokoh politik yang sudah memegang kekuasaan di pemerintahan sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta?
Bukankah fakta kandidat presiden dan wakil presiden yang mengemuka di hadapan ini menunjukkan gagalnya regenerasi dalam proses demokrasi di Indonesia?
Kenyataan ini mengingatkan kita pada, seorang pejuang muda, pemimpin gerlilya, bernama Monginsidi yang dihukum mati di Pacinang, Makassar, tanggal 5 September 1949. Ia menulis sepucuk surat untuk seorang gadis yang tinggal di Jakarta, Milly Ratulangi —di tulisan yang menggetarkan itu, ia berteriak; "Anak-anak muda di zamannya, sebagai bunga yang sedang hendak mekar, dengan kejam digugurkan oleh angin yang keras".
Siapa angin keras menurut Monginsidi itu? Tentu barisan orang tua, sebagaimana dicatat oleh majalah Mimbar Indonesia 17 September 1949.
Mungkin jeritan Monginsidi puluhan tahun yang lalu itu kini membentur tembok demokrasi kita? Pilihan-pilihan yang dibuat oleh partai koalisi, jelas menunjukkan bahwa para kandidat mengabaikan kelompok-kelompok besar di populasi pemilih, tetapi sering tidak terwakilkan: yaitu generasi muda. Kini kaum muda pun kurang mendapat tempat di panggung politik, sementara yang telah berumur di atas 70 tahun merasa masih cukup berstamina dalam perpolitikan di tanah air.
Siapa Yang Masuk Bursa Cawapres 2019?
Bursa calon wakil presiden memanas kurang dari setahun menjelang Pilpres 2019. Sejumlah nama besar saat ini diisukan bakal menemani dua calon terkuat, Prabowo Subianto dan Joko Widodo. Siapa saja?
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Mahfud MD
Dari sekian banyak nama yang santer diisukan bakal mendampingi Joko Widodo pada Pilpres 2019, Mahfud MD termasuk yang paling berpotensi terpilih. Selain tidak berasal dari salah satu partai koalisi, ia juga memiliki reputasi tak tercela di kalangan pemilih muslim. Mahfud yang pernah aktif di Mahkamah Konstitusi dipercaya bisa membantu pemerintahan Jokowi mengawal penegakan hukum di Indonesia.
Foto: Getty Images/AFP/R. Gacad
Muhaimin Iskandar
Sejauh ini Cak Imin adalah satu-satunya pemimpin partai yang terang-terangan mendeklarasikan ambisinya merebut kursi cawapres. Kepada Jokowi atau Prabowo politisi Partai Kebangkitan Bangsa ini menawarkan dukungan kaum muslim NU yang berjumlah mayoritas di Jawa Tengah dan Timur. Meski mendukung Jokowi, Muhaimin juga dikabarkan bermain mata dengan Prabowo untuk dipasangkan dalam Pilpres 2019
Foto: picture-alliance/Pacific Press/A. Ally
Airlangga Hartarto
Serupa Cak Imin, Airlangga Hartarto didaulat sebagai cawapres pendamping Jokowi oleh partainya sendiri, yakni Golkar. Kendati begitu peluang milik putra bekas menteri perindustrian di era Orde Baru, Hartarto Sastrosoenarto, ini diyakini tidak besar. Golkar pun sudah mengumumkan bakal tetap mendukung pemerintahan Joko Widodo, dengan atau tanpa Airlangga Hartarto sebagai pendampingnya.
Foto: picture-alliance/dpa/B. Indahono
Sri Mulyani
Adalah kinerja dan reputasinya yang menempatkan Sri Mulyani dalam bursa calon wakil presiden. Namanya dikabarkan terjaring dalam daftar bakal cawapres versi PDI-P bersama Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiatsuti. Namun Sri mengaku tidak berambisi menduduki jabatan wakil presiden. Ia hanya berharap kembali dipercaya menggawangi Kementerian Keuangan.
Foto: picture-alliance/AA/S. Corum
TGB Zainul Majdi
TGB banyak mendapat sorotan usai mendeklarasikan dukungannya kepada Joko Widodo pasca Pilkada 2018. Klaim tersebut sontak mengundang kritik dari Partai Demokrat yang menaunginya. TGB masuk dalam bursa cawapres lantaran kedekatannya dengan pemilih muslim. Selain merupakan cucu KH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, pendiri Nahdlatul Wathan, Gubernur NTB ini juga berasal dari kalangan cendikia Islam.
Foto: Gemeinfrei
Anies Baswedan
Nama Anies Baswedan adalah yang paling panas dibahas dalam bursa cawapres untuk Prabowo Subianto. Keberhasilannya menumbangkan Basuki Tjahaja Purnama dalam Pilkada DKI 2017 dianggap sebagai pencapaian politik yang sekaligus menempatkan namanya untuk menduduki salah satu jabatan tertinggi di tanah air. Anies bahkan digadang-gadang bakal maju sebagai calon presiden, meski tanpa dukungan Gerindra.
Foto: Getty Images/AFP/R. Gacad
Agus Harimurti Yudhoyono
Sejak Pilkada DKI 2017 hingga kini Agus Harimurti Yudhoyono (ki.) sudah bergerilya mencari suara. Ambisi sang ayah, Susilo Bambang Yudhoyono, menempatkan putranya di jabatan tertinggi di dalam negeri membuat Partai Demokrat sibuk mencari rekan koalisi untuk Pilpres 2019. Jika koalisi Gerindra-Demokrat menjadi kenyataan, duet Prabowo dan AHY diyakini bakal menajdi kenyataan.
Foto: Getty Images/AFP/R. Gacad
Ahmad Heryawan
Saat ini Ahmad Heryawan sedang mencari pekerjaan baru setelah lengser dari jabatannya sebagai gubernur Jawa Barat. Sebagai politisi PKS, Aher membawa banyak keuntungan pada Prabowo Subianto: Dukungan pemilih muslim, mesin partai yang efektif dan pengalaman birokrasi. Selain Anies, Aher adalah nama yang paling santer diisukan bakal mendampingi Prabowo. rzn/hp (detik, kompas, tirto.id, katadata)
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
8 foto1 | 8
Revolusi Pemuda
Bayangkan, para pemilih muda dengan jumlah total 70 juta pemilih atau sepertiga dari pemilih Indonesia terasa tak terakomodasi. Padahal jika kita melongok sejarah bangsa ini —Benedict Anderson menyebut sejarah perjuangan bangsa Indonesia adalah bagian dari apa yang digambarkan sebagai "Revolusi Pemuda.”
Karena itu, menurut Benedict Anderson, mengikutkan pemuda untuk turut andil dalam babakan sejarah bangsa Indonesia sebagai peran utama adalah keniscayaan, dan meninggakalkan pemuda berati sama halnya tidak merawat sejarah. Betapa tidak, kita mengenal tokoh-tokoh potensial dalam bentangan sejarah kita memang dalam usia muda; seperti Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Wahid Hasyim dan lainnya. Maka di sinilah pentingnya surat Monginsidi untuk bangsa ini. "bunga yang sedang hendak mekar, [yang] digugurkan oleh angin yang keras,” dan "angin yang keras itu” masih juga belum mau beristirahat.
Lebih dari itu, pencalonan pasangan presiden dan wakil presiden ini menunjukkan pentingnya revisi aturan syarat minimal usia untuk menjadi caleg (calon legislatif). UU Pemilu mengatur seseorang minimal berusia 21 tahun untuk bisa maju menjadi caleg, sedangkan syarat jadi pemilih adalah 17 tahun.
Siapa Calon Pemimpin Indonesia?
Hasil survey Saiful Mujani Research Centre belum banyak mengubah peta elektabilitas tokoh politik di Indonesia. Siapa saja yang berpeluang maju ke pemilu kepresidenan 2019.
Foto: Imago/Zumapress
1. Joko Widodo
Presiden Joko Widodo kokoh bertengger di puncak elektabilitas dengan 38,9% suara. Popularitas presiden saat ini "cendrung meningkat," kata Direktur Eksekutif SMRC Djayadi Hanan.
Foto: Reuters/Beawiharta
2. Prabowo Subianto
Untuk sosok yang sering absen dari kancah politik praktis pasca pemilu, nama Prabowo masih mampu menarik minat pemilih. Sebanyak 12% responden mengaku akan memilih mantan Pangkostrad itu sebagai presiden RI.
Foto: Reuters
3. Anies Baswedan
Selain Jokowi dan Prabowo, nama-nama lain yang muncul dalam survey belum mendapat banyak dukungan. Gubernur terpilih DKI Jakarta, Anies Baswedan, misalnya hanya mendapat 0,9%.
Foto: Reuters/Antara Foto/M. Agung Rajasa
4. Basuki Tjahaja Purnama
Nasib serupa dialami bekas Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama. Sosok yang kini mendekam di penjara lantaran kasus penistaan agama itu memperoleh 0,8% suara. Jumlah yang sama juga didapat Wakil Presiden RI Jusuf Kalla.
Foto: Getty Images/T. Syuflana
5. Hary Tanoesoedibjo
Pemilik grup MNC ini mengubah haluan politiknya setelah terbelit kasus hukum berupa dugaan ancaman terhadap Kepala Subdirektorat Penyidik Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Yulianto. Hary yang tadinya beroposisi, tiba-tiba merapat ke kubu Presiden Joko Widodo. Saat inielektabilitasnya bertengger di kisaran 0,6%
Foto: picture-alliance/AP Photo/A. Ibrahim
6. Agus Yudhoyono
Meski diusung sebagai calon pemimpin Indonesia masa depan, saat ini popularitas Agus Yudhoyono masih kalah dibanding ayahnya Soesilo Bambang Yudhoyono yang memperpoleh 1,9% suara. Agus yang mengorbankan karir di TNI demi berpolitik hanya mendapat 0,3% dukungan.
Foto: Getty Images/AFP/M. Naamani
7. Gatot Nurmantyo
Jumlah serupa didapat Panglima TNI Gatot Nurmantyo yang belakangan terkesan berusaha membangun basis dukungan. Nurmantyo hanya mendapat 0,3%. Meski begitu tingkat elektabilitas tokoh-tokoh ini akan banyak berubah jika bursa pencalonan sudah mulai dibuka, klaim SMRC.
Foto: Imago/Zumapress
7 foto1 | 7
Bukankah ini suatu yang kontradiksi?
Kenapa ada jurang pemisah antara yang memilih dan diplih? Bila usia 17 tahun dianggap sudah cukup bertanggung jawab atas pilihan politik sehingga diizinkan untuk memilih, kenapa tidak dianggap pantas untuk dipilih? Ini juga bagian dari drama politik paradoksal.
Meski demikian, ada yang bilang pejuang tak pernah memandang umur! Karena daya juang dan pengorbanan tak selamanya dikukuhkan oleh usia, melainkan oleh tindakan-tindakan hebat dan luar biasa.
Tetapi Mongonsidi, Soekarno, Tan Malaka, Wahid Hasyim dikenal sebagai tokoh luar biasa, karena juga usia, dengan merelakan dirinya untuk berkorban bagi sebuah harapan bersama. Maka dengan mengapresisasi kaum mudanya, ini juga bisa menjadi salah satu strategi untuk memupuk bibit-bibit politisi yang lebih muda dan lebih mewakili populasi pemilih.
Paradoksal lain
Pasca fenomena 212, di saat politik identitas berbasis agama pernah "naik daun,” ditandai dengan mencuatnya fenomena sekelompok tokoh Muslim yang hobi menggunakan mikrofon masjid sebagai medium "kampanye hitam” untuk menyerang kubu Petahana, dan kini telah mulai surut, namun sebuah paradok saat Jokowi justru memilih Kiai Ma'ruf Amin.
Bukankah pilihan ini sangat rentan dan beresiko tinggi mencuatkan kembai isu lama, yaitu pilitik identitas? Dengan mencuatnya isue lama, yaitu politik identitas yang sebenarnya sudah susut itu, dikhawatirkan kaum Muslim moderat-progresif yang selama ini berjuang dan menyuarakan relasi harmoni dan toleran Muslim-non-Muslim justru terganggu.
Hal lain, di kalangan Pesantren, tentu orang ingat Abu Hamid al-Isfirayini (955-1015 M) sebagaimana yang termaktub dalam Kitab Tabaqat al-Ushuliyin. Ia seorang tokoh besar dalam madzhab Syafi'iyah.
Kedudukan Abu Hamid di mata masyarakat demikian tinggi, kendati dia seorang mufti, namun pengaruh dan kharismanya melebihi Khalifah (Presiden). Ketika terjadi ketegangan antara keduanya. Sang Mufti itu pernah mengatakan, "Engkau tidak bisa memecatku sebagai ulama, tapi aku bisa memecatmu sebagai Khalifah, cukup dengan berpidato atau menulis dua atau tiga kalimat.."
Pernyataan di atas seperti hendak mengatakan, bahwa Kai Ma'ruf Amin adalah seorang ulama. Selain sebagai Rais Am PBNU, juga sebagai ketua umum MUI, sehingga terkesan menjadi "wakil” umara (pemimpin politik-pemerintahan) sesuatu yang paradoks.
Karena maqam ulama, bagi santri seharusnya berada "di atas” umara yang bertugas menasehati penguasa. Lalu muncul pengandaian, jika ulama itu menjadi bagian dari kekuasaan, lalu siapa yang kelak akan menasehatinya jika penguasa serong atau lalim?
Sementara di kubu sebelah, ada nama Sandiaga Uno, yang bisa terbilang muda, tapi kesan 'kemaruk' ini juga menjadi kendala. Belum juga dibuktikan tuntas masa baktinya sebagai Wakil Gubernur DKI, ia sudah berani berjanji lagi untuk sebuah masa depan Indonesia?
Jokowi dan Ilusi Hukuman Mati
Presiden Jokowi menggunakan hukuman mati sebagai jurus andalan dalam perang melawan narkoba. Padahal berbagai studi ilmiah membuktikan hukuman mati tidak mampu menurunkan angka kejahatan. Oleh Rizki Nugraha
Foto: Reuters/Romeo Ranoco
Keyakinan Jokowi
Gigih cara Presiden Joko Widodo membela hukuman mati. Indonesia berada dalam darurat narkoba, dalihnya, meski angka kematian akibat narkoba jauh lebih rendah ketimbang rokok atau akibat kecelakaan lalu lintas. Tapi realitanya hukuman mati adalah hukum positif di Indonesia dan dia yakin, membunuh pelaku bisa menciptakan efek jera buat yang lain. Benarkah?
Foto: Reuters/Olivia Harris
Pepesan Kosong
Studi ilmiah di berbagai negara menyebutkan sebaliknya. Hukuman mati tidak serta merta mampu mengurangi kriminalitas. Sebuah penelitian di Amerika Serikat oleh American Civil Liberties Union bahkan menemukan negara bagian yang menerapkan hukuman mati justru mengalami peningkatan tindak kriminal. Kepolisian AS juga menganggap eksekusi mati sebagai cara paling tidak efektif memerangi kriminalitas
Foto: picture-alliance/AP Photo/K. Sato
Jagal Paling Produktif
Hukuman mati di Indonesia adalah peninggalan era kolonial Belanda. Rajin diterapkan oleh Suharto buat melenyapkan musuh politiknya, hukuman mati kemudian lebih banyak dijatuhkan dalam kasus pembunuhan. Pada era Jokowi pemerintah aktif menggunakan hukuman mati terhadap pengedar narkoba, jumlahnya lebih dari 60 eksekusi, baik yang sudah dilaksanakan atau masih direncanakan.
Cacat Keadilan
Sejak menjabat presiden 2014 silam, Jokowi telah memerintahkan eksekusi mati terhadap lebih dari 60 terpidana. Celakanya dalam kasus terpidana mati Pakistan, Zulifkar Ali, proses pengadilan diyakini berlangsung tidak adil. Ali diklaim mengalami penyiksaan atau tidak didampingi penerjemah selama proses persidangan, tulis Jakarta Post.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Nagi
Bantuan dari Atas
Terpidana mati lain, Freddy Budiman, bahkan mengklaim mampu mengedarkan narkoba dalam skala besar dari dalam penjara berkat bantuan pejabat di kepolisian dan Badan Narkotika Nasional. Sejauh ini tidak satupun pejabat tinggi kepolisian yang pernah diselidiki terkait tudingan semacam itu.
Foto: Getty Images/AFP/B. Nur
Pendekatan Keamanan
Kendati terbukti tidak efektif, pemerintahan Jokowi menjadikan hukuman mati sebagai ujung tombak dalam perang melawan narkoba. Ironisnya pemerintah terkesan belum serius menyelamatkan pengguna dari ketergantungan. Saat ini BNN cuma memiliki empat balai rehabilitasi di seluruh Indonesia.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Irham
Solusi Buntu
Menurut BNN, tahun 2011 kasus penyalahgunaan narkoba mencapai hingga 2,8 juta orang. Angka tersebut naik sebesar 0,21 persen dibandingkan tahun 2008. Tapi kini tingkat penyalahgunaan narkoba diyakini meningkat menjadi 2,8 persen alias 5,1 juta orang. Padahal hukuman mati sudah rajin diterapkan terhadap pengedar narkoba sejak tahun 2004.
Foto: Getty Images/AFP/B. Ismoyo
Uang Terbuang?
Terlebih eksekusi mati bukan perkara murah. Untuk setiap terpidana, Polri menganggarkan hingga 247 juta, sementara taksiran biaya versi Kejaksaan Agung berkisar di angka 200 juta. Artinya untuk 60 terpidana mati yang telah atau masih akan dieksekusi, pemerintah harus mengeluarkan dana hingga 15 milyar Rupiah.
Foto: picture alliance/ZUMA Press/S. Images
Geming Istana
Beberapa pihak bahkan mengatakan satu-satunya yang berhasil dicapai Jokowi dengan mengeksekusi mati pengedar narkoba adalah memancing ketegangan diplomasi dengan negara lain. Namun begitu Jokowi bersikeras akan tetap melanjutkan gelombang eksekusi mati terhadap terpidana narkoba.
Foto: Reuters/Romeo Ranoco
9 foto1 | 9
Tetapi hal penting yang harus diwaspadai oleh kubu Petahanaadalah narasi kampanye di tahun politik ini telah berubah. Kubu Prabowo-Sandiaga mustahil akan membawa lagi isue lama; agama sebagai identitas, tapi isue baru; seperti pro-investasi, pro-pasar, pro-toleransi, pro-moneter dan lain sebagainya.
Jika kubu Petahana tidak mengantisipasi ini, maka dipastikan akan sulit memenangi pemilu kembali. Apalagi setelah mencuatnya 'kasus' Mahfud MD di acara ILC, 14 Agustus 2018 malam.
Mungkin Mahfud MD terpaksa menyampaikan itu secara terbuka. Karena merasa ada yang tak beres di Republik ini. Ia sadar, mungkin tak ada saluran —jikapun ada mungkin sangat terbatas.
Maka, untuk memperbaiki wajah politik keedanan ini, ia memilih secara terbuka dan efek domino yang ditimbulkan ini sangat serius. Berdampak pada tingkat kepercayaan publik pada kubu Petahana.
Disatu sisi, Sandiaga yang berlatar belakang pebisnis muda dan sukses, kian menguat pada berbagai polling. Ini menunjukkan Sandiaga Uno mampu berunding dan memecahkan lobi politik pada waktu yang krusial di tengah deadlock politik internal.
Pada akhirnya, suka atau tidak suka, hajatan politik tahun ini seperti sebuah arena yang disebut oleh Milan Kundera sebagai ”imagologi”, yaitu politik ring tinju, sebuah tempat pertarungan yang dibangun oleh media massa dengan kepentingan pasar. Wallahu'alam.
Penulis: Aguk Irawan MN, warga Nahdliyin dan Ketua Bidang Media LPPM Universitas Nahdlatul Ulama, Yogyakarta.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis
Catatan 3 Tahun Kepemimpinan Jokowi
Sebanyak 68% penduduk mengaku puas atas kinerja Joko Widodo. Namun setelah tiga tahun berkuasa, catatan kepemimpinan Jokowi banyak menyisakan pekerjaan rumah yang belum dituntaskan, terutama masalah HAM.
Foto: Getty Images/Ulet Ifansasti
Terrorisme
Pemerintah mengklaim sebanyak 999 eks-jihadis berhasil mengikuti program deradikalisasi. Sejumlah pengamat juga menghargai satuan anti teror Densus 88 yang kini lebih sering menangkap terduga teroris, dan tidak lagi menembak di tempat. Pendekatan lunak ala Indonesia juga mengundang pujian dunia. Tantangan terbesar adalah RUU Anti Terorisme yang bakal melibatkan TNI dalam penanggulangan terorisme.
Foto: Reuters/W. Putro/Antara Foto
Infrastruktur
Pembangunan infrastruktur sejak awal menjadi jurus pamungkas Jokowi. Berbagai proyek yang tadinya mangkrak kembali dihidupkan, antara lain jalan Trans-Papua, infrastruktur kelistrikan berkapasitas 35.000 megawatt yang baru tuntas 40% dan transportasi. Di bawah pemerintahannya anggaran infrastruktur digandakan dari 177 triliun Rupiah pada 2014 menjadi 401 triliun untuk tahun anggaran 2017.
Foto: Getty Images/AFP/B. Ismoyo
Demokrasi
Indeks demokrasi Indonesia banyak menurun di era Jokowi. Pemerintah berkilah, berlangsungnya pilkada ikut mempengaruhi peringkat Indonesia. Sejumlah pengamat menyoroti wacana Ambang Batas Kepresidenan sebesar 20% dan Perppu Ormas yang dinilai bermasalah. Selain itu Indeks Kebebasan Pers selama tiga tahun terakhir juga mencatat kemerdekaan media di Indonesia cenedrung berjalan di tempat.
Foto: picture alliance/abaca/J. Tarigan
Intoleransi
Ujaran kebencian dan kabar hoax menemani kepresidenan Jokowi sejak Pemilu 2014 dan memuncak pada Pilkada DKI Jakarta 2017. Sejak itu dia mulai aktif memberangus media-media hoax, mengeluarkan Perppu yang membidik organisasi intoleran seperti HTI, menggandeng Facebook dan Twitter buat menghalau fitnah dan membentuk unit anti intoleransi.
Foto: Reuters/D. Whiteside
Hubungan Internasional
Sejauh ini Istana Negara banyak menitikberatkan kerjasama internasional untuk membantu program pembangunan di dalam negeri seperti diplomasi maritim. Namun tantangan terbesar Indonesia adalah menjadi poros penyeimbang antara kekuatan regional Cina dan negara ASEAN, terutama menyangkut konflik Laut Cina Selatan.
Foto: Reuters/R. A. Tongo
Hak Azasi Manusia
Ada masanya ketika Jokowi menggariskan penuntasan pelanggaran HAM sebagai prioritas utama. Namun cita-cita tersebut menyurut seiring berjalannya roda pemerintahan. RUU Penyiaran misalnya mendiskriminasi kaum minoritas seksual. Sementara rekonsiliasi pembantaian 1965 cendrung berjalan di tempat dan penggunaan hukuman mati yang masih marak menjadi catatan hitam pemerintahan Jokowi.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Ekonomi
Banyak hal positif yang dicatat dari pemerintahan Joko Widodo di bidang ekonomi, meski tidak membuahkan target pertumbuhan yang dipatok 7%. Selain 16 paket kebijakan, pemerintah juga dinilai sukses meningkatan pemasukan pajak, memperbaiki kemudahan berbisnis, rating investasi dan mempertahankan inflasi. Namun begitu rendahnya konsumsi domestik menjadi catatan muram perekonomian Indonesia.
Foto: Reuters
Lingkungan
Konflik agraria yang kian meruncing membutuhkan reformasi untuk mendamaikan kebijakan lingkungan, tanah adat dan kebutuhan industri. Tahun 2016 saja pemerintah mencatat 400 konflik yang melibatkan 1,2 juta hektar lahan, kebanyakan akibat ekspansi perkebunan. Reformasi agraria masih menjadi agenda besar Indonesia, terutama menyangkut penanggulangan perubahan iklim yang kian mendesak.