Kenapa Tenaga Kerja Asing Terdidik Ingin Tinggalkan Jerman?
3 Juli 2025
"Segala hal yang memotivasi saya pindah ke Jerman sudah tak ada lagi, dan pada satu titik saya berpikir, cukup!, saya tidak ingin anak-anak saya, jika saya memilikinya, tumbuh besar di negara ini."
Giannis N., yang memilih untuk tidak menyebutkan nama belakangnya, meninggalkan Pulau Samos di Yunani pada usia 18 tahun untuk menempuh studi teknik sipil di Jerman. Dia merantau karena terpikat reputasi Jerman dalam menjunjung kesetaraan peluang dan keadilan sosial.
Pada 2020, dengan gelar magister di tangan, dia memutuskan untuk kembali ke tanah airnya setelah 16 tahun bermukim di Jerman.
Giannis sempat bekerja di kota Essen, di barat Jerman sebagai manajer proyek di sektor swasta, dan kemudian sebagai insinyur sipil pembangun jembatan di sektor publik, sebelum akhirnya mencoba peruntungan sebagai pekerja lepas.
"Saya sudah melakukan segalanya untuk membangun kehidupan di Jerman, tetapi saya terus menerus menemui hambatan," kata pria berusia 39 tahun itu kepada DW.
Dia mengingat satu pengalaman pahit yang sangat membekas: "Saya bekerja di sebuah proyek konstruksi, dan klien menolak membayar tagihan akhir, lebih dari 100.000 euro," ujarnya. "Jawaban klien, 'saya tidak akan biarkan kamu jadi kaya di sini, di Jerman.'"
Bagi Giannis, ucapan tersebut merupakan ekspresi terbuka sikap anti-pendatang oleh warga Jerman.
Baginya, rasa tidak pernah benar-benar diterima usai berbelas tahun bermukim di Jerman, adalah faktor besar yang mendorongnya untuk pulang ke Yunani. Giannis menyadari, seberapa pun baiknya dia terintegrasi dengan warga Jerman, dia akan selalu berhadapan dengan stigma sebagai "si orang Yunani."
"Pertama kamu adalah si Yunani pemalas di kampus, lalu si Yunani korup di tempat kerja. Saya bangga menjadi orang Yunani, tapi pola pikir semacam itu lama-lama menjadi racun bagi saya," katanya.
Seperempat migran ingin hengkang
Hambatan yang dihadapi Giannis N. tercermin dalam sebuah studi baru yang diterbitkan oleh Institute for Employment Research belum lama ini.
Berdasarkan survei terhadap 50.000 migran yang pindah ke Jerman antara usia 18 hingga 65 tahun, ditemukan, satu dari empat orang mempertimbangkan untuk hengkang. Pencari suaka yang belum memiliki status tinggal resmi tidak termasuk dalam studi ini.
Survei yang dilakukan antara Desember 2024 hingga April 2025 itu menunjukkan, kelompok yang paling berpotensi pergi adalah mereka yang justru sangat terdidik, sukses, dan sudah terintegrasi dengan baik — tipe migran yang paling dibutuhkan Jerman.
Menurut studi tersebut, keinginan untuk keluar dari Jerman merupakan "hasil dari interaksi kompleks antara karakteristik individu, integrasi sosial, alasan ekonomi, dan persepsi terhadap penerimaan sosial."
Responden juga menyebutkan faktor keluarga, ketidakpuasan politik, tingginya pajak, dan birokrasi sebagai alasan mereka ingin hengkang dari Jerman.
Sedikitnya seperempat penduduk Jerman saat ini memiliki latar belakang migrasi. Sejak 2015, sekitar 6,5 juta orang asing telah datang dan bermukim di Jerman, dengan porsi mayoritas berasal dari Suriah dan Ukraina.
Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Tanpa bahasa Jerman, hidup layaknya "hantu”
Utku Sen, seorang insinyur keamanan siber berusia 33 tahun, juga meninggalkan Jerman setelah bermukim tiga tahun, didorong oleh rasa keterasingan yang serupa.
Meski menggambarkan tahun pertamanya di Berlin sebagai "masa bulan madu," Sen mengatakan kepada DW bahwa dia kemudian menyadari betapa kerasnya hidup bagi pendatang baru tanpa kemampuan bahasa Jerman yang kuat.
"Sebagai orang Turki, saya selalu merasa seperti warga kelas dua. Saya pikir menjadi bagian dari masyarakat Jerman akan butuh puluhan tahun, atau mungkin tak akan terjadi sama sekali," katanya.
Tak lama setelah mengunggah video di YouTube berbahasa Turki tentang diskriminasi sehari-hari di Jerman, yang ditonton hampir setengah juta kali, Sen memutuskan pindah ke London, Inggris. Dia membandingkan hidup di Jerman dengan karakter Bruce Willis dalam film The Sixth Sense:
"Ada kehidupan di luar sana, tapi kamu tidak menjadi bagian darinya. Kamu mengelilinginya seperti hantu. Orang lain bahkan tidak sadar kamu ada, dan kamu pun tidak bisa terhubung dengan mereka," ujarnya.
Sen mengatakan, kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Inggris membuat hidupnya jauh lebih mudah di London.
"Berbeda dengan Jerman, orang Inggris pada umumnya lebih terbuka dan menerima orang asing serta budaya yang berbeda. Saya belum pernah mengalami diskriminasi di sini. Itu membuat saya merasa menjadi bagian dari masyarakat dan menumbuhkan cinta saya terhadap negara ini," katanya.
Kemahiran berbahasa tidak cukup
Kalina Velikova dari Bulgaria mengungkapkan lebih jauh, fasih berbahasa Jerman sekalipun tak selalu bisa menjamin interaksi sosial dengan warga lokal.
Velikova, 35 tahun, menghabiskan sembilan tahun di Bonn untuk studi dan bekerja di bidang pekerjaan sosial. Dia mengatakan, pertama kali merasa dikucilkan saat masih kuliah, meski mampu berbicara bahasa Jerman dengan sempurna.
"Saya tidak akan pernah lupa betapa lamanya orang mau menerima saya, bahkan hanya sebagai teman sesama mahasiswa. Saya berbincang dengan seseorang hari ini, dan keesokan harinya mereka bertindak seolah tak mengenal saya. Hal ini tidak pernah terjadi di negara asal saya," katanya.
Lama kelamaan, rasa jarak sosial yang terus-menerus dirasakannya mulai memengaruhi dirinya.
"Saya mulai jadi orang yang lebih dingin. Rasanya seperti saya mulai mengembangkan alergi terhadap Jerman, dan saya tidak menginginkannya."
Pada 2021, Velikova meninggalkan Bonn dan kembali ke Sofia, tempat dia kini bekerja sebagai manajer proyek.
"Tentu saja di sini pun ada kesulitan sehari-hari," ujarnya. "Tapi secara keseluruhan, kualitas hidup saya meningkat — meskipun saya mendapat gaji lebih kecil dan harus bekerja lebih keras."
Jerman "di titian tipis” migrasi
Menurut ekonom Christian Dustmann, direktur Rockwool Foundation Institute for the Economy and the Future of Work di Berlin, bahasa tetap menjadi faktor kunci dalam integrasi. Dia menekankan, belajar bahasa Jerman penting, bukan hanya untuk pasar tenaga kerja dan dunia usaha, tetapi juga untuk kepentingan para migran sendiri.
Namun, Dustmann juga berpendapat, persepsi tentang suasana yang tidak ramah bukan hanya terjadi di Jerman.
"Jika kamu melakukan survei itu di Inggris, hasilnya mungkin tak akan jauh berbeda dari yang kamu dengar di Jerman," katanya.
Dia juga mencatat bahwa semakin banyak migran yang diterima sebuah negara, semakin banyak pula kekhawatiran yang muncul di kalangan penduduk asli.
"Hal itu bisa memunculkan budaya yang oleh sebagian imigran dirasakan tidak ramah," katanya.
Sebuah studi tahun 2024 oleh Bertelsmann Foundation menunjukkan, kekhawatiran publik terhadap migrasi di Jerman terus meningkat. Tren ini tercermin dari meningkatnya dukungan terhadap partai sayap kanan Alternatif untuk Jerman (AfD), yang memanfaatkan keresahan migrasi dalam pemilu Februari 2025, hingga menjadi partai terkuat kedua.
Masyarakat Jerman semakin cemas terhadap potensi dampak negatif dari masuknya migran, seperti meningkatnya beban negara kesejahteraan, kekurangan perumahan di wilayah perkotaan, dan tantangan di sistem pendidikan.
Menurut Dustmann, "politik harus berjalan di titian yang sangat tipis — antara tidak membuat warga asli merasa kewalahan, yang bisa membuka ruang bagi populisme sayap kanan, dan di sisi lain tetap menyambut pendatang baru yang juga bagian penting dari ekonomi dan masyarakat."
Perubahan budaya
Meski politik harus menyeimbangkan kohesi sosial dan keterbukaan, Anastasios Penolidis percaya bahwa perubahan nyata harus lebih mendalam.
Manajer lapangan di kamp pengungsi, yang pindah ke Jerman tujuh tahun lalu itu mengatakan, edukasi bagi masyarakat secara luas sangat penting untuk mengatasi tantangan yang dihadapi para migran.
"Pendidikan politik dan sosial yang lebih luas, lembaga baru untuk melawan fenomena seperti rasisme, serta pajak yang lebih rendah bagi pekerja berpenghasilan rendah," ujarnya, merinci apa yang ia anggap perlu dilakukan.
Penolidis menambahkan, dia nyaris tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, meski dia dan pacarnya sama-sama bekerja penuh waktu. Dia mengkritik tarif pajak tinggi untuk individu lajang tanpa anak, menyebutnya tidak adil dan tidak memotivasi.
Pria berusia 33 tahun itu belakangan mempertimbangkan untuk kembali ke Yunani, dengan alasan kebijakan pajak dan rasisme struktural yang terus dia hadapi.
Namun, Penolidis tetap menyimpan harapan. Jika perubahan yang berarti terjadi, dia ingin tetap tinggal di Jerman dan membangun keluarga.
Baginya, masa depan itu tidak hanya bergantung pada kebijakan yang lebih baik, tapi juga pada perubahan yang lebih dalam dalam cara masyarakat Jerman memandang, dan mendukung mereka yang memilih menjadikan negara itu sebagai rumahnya.
Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Rizki Nugraha
Editor: Agus Setiawan