TNI mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi dan tetap menyita ratusan buku kiri atas dugaan penyebaran paham komunisme. Aksi sweeping itu diyakini digerakkan kepentingan tertentu yang berpangkal dari konflik internal.
Iklan
Syahdan pada dekade 1970an Indonesia mengalami kelangkaan buku. Tak tanggung-tanggung UNESCO mencatat betapa Indonesia di tahun 1973 tidak menerbitkan satupun buku baru. Perkaranya adalah pencabutan subsidi kertas oleh pemerintahan Orde Lama sejak 1960an yang dilanjutkan Soeharto dan dibuat untuk memaksa penerbit dan media agar tunduk pada ideologi pemerintah kala itu.
Pemberangusan karya tulis intelektual bukan hal baru di Indonesia. Sejak dekade 1970an, rejim Soeharto tercatat melarang 179 judul buku. Meski mewakili dua kutub ideologi yang berbeda, kebijakan memberangus 'pemikiran menyimpang' milik kedua rejim mengandalkan aktor yang sama, yakni tentara.
Dan sejarah berulang pada Desember 2018 ketika TNI menyita ratusan buku di Kediri. Dalam kolom editorial Tempo, tokoh pers senior Atmakusumah Astraatmadja mengeluhkan betapa "masyarakat kita sendiri seolah-olah sedang terisolasi di negeri asing dari perkembangan intelektual di Tanah Air-nya sendiri," tulisnya.
Bonnie Triyana, Kepala Redaksi Majalah Historia yang bukunya ikut dilarang, mengecam langkah TNI karena "mencederai peradaban demokrasi di Indonesia," kata dia kepada Deutsche Welle. Bersama awak redaksi Historia, dia menerbitkan tiga buku tentang Soekarno, antara lain sejarah upaya asasinasi presiden yang ikut dilarang TNI.
"Di mana ajaran komunismenya? Kita juga bingung," tuturnya. "Jadi kalau buku itu disita buat saya menggelikan."
"Sindrom Anti Intelektual"
Buku "Mengincar Bung Besar" yang ditulis Bonnie dan awak Historia termasuk yang menjadi korban sweeping TNI baru-baru ini. Di dalamnya dia berkisah tentang tujuh upaya pembunuhan terhadap mantan Presiden Soekarno. Ketika diterbitkan, Megawati termasuk yang memberikan kata pengantar dan ikut menjadi pembicara dalam acara peluncuran buku.
Menurut Bonnie, pelarangan buku berbau komunisme merupakan "gejala bagaimana kita mengidap sindrom anti intelektual. Sehingga tidak ada ruang buat mendiskusikan hal-hal ini secara benar," tuturnya lagi. Dia menyayangkan sikap TNI yang terus mengangkat isu komunisme meski telah padam sejak era Orde Baru. "Pertanyaannya jadi kenapa mengawetkan hal itu?"
Misteri Di Balik Supersemar
Supersemar mengubah wajah Indonesia dalam sekejap. Tidak banyak yang diketahui tentang surat sakti yang membuka jalan kekuasaan Suharto itu. Sang diktatur sendiri memilih membawa rahasianya itu hingga ke alam baka
Foto: Public Domain
Sejarah di Surat Palsu
Saat ini arsip negara menyimpan tiga versi Surat Perintah Sebelas Maret. Salah satunya berasal dari Sekretariat Negara, yang lain dari Pusat Penerangan TNI Angkatan Darat dan terakhir cuma berupa salinan tanpa kop surat kenegaraan. Ketiga surat tersebut dinyatakan palsu oleh sejarahawan. Hingga kini tidak jelas di mana keberadaan salinan asli Supersemar.
Foto: Public Domain
Tiga Diutus Suharto
Misteri juga menggelayuti penandatanganan Supersemar. Awalnya Sukarno dilarikan ke Bogor setelah sidang kabinet 11 Maret 1966 di Jakarta dikepung oleh "pasukan liar" yang kemudian diketahui adalah pasukan Kostrad. Di Bogor Sukarno disantroni tiga jendral utusan Suharto. Sejarah lalu mencatat buram apa yang terjadi di Istana. Yang jelas pulang ke Jakarta ketiga jendral telah mengantongi Supersemar
Foto: picture alliance/United Archives/WHA
Sebuah Pistol dan Amuk Massa
Tidak jelas bagaimana Sukarno mau menandatangani surat yang praktis melucuti kekuasaannya itu. Kesaksian pengawal presiden, Sukardjo Wilardjito, menyebut Sukarno ditodong pistol oleh seorang jendral utusan Suharto. Catatan lain menyebut Sukarno terpaksa membubuhkan tandatangannya karena saat itu istana Bogor telah dikepung tank-tank TNI dan ribuan massa yang berunjuk rasa.
Foto: picture-alliance/dpa
Serah Kuasa Jendral Bintang Lima
Supersemar diyakini tidak menyebut secara eksplisit penyerahan kekuasaan kepada Suharto seperti yang dipropagandakan oleh TNI. Dalam pidato Sukarno pada 17 Agustus 1966 ia mengecam pihak yang telah menghianati perintahnya. "Jangan jegal perintah saya. Jangan saya dikentuti!" pekiknya saat itu. Sukarno kembali menekankan Supersemar bukan "transfer of authority, melainkan sekedar surat perintah"
Foto: picture-alliance/dpa
Surat Istana Berkop Militer
Sejumlah orang mengaku mengetik Supersemar, antara lain Letkol (Purn) Ali Ebram, seorang perwira Cakrabirawa. Menurutnya ia mengetik naskah Supersemar dengan didampingi langsung oleh Sukarno. Namun sejahrawan Irlandia, Benedict Anderson mencatat kesaksian perwira lain bahwa Supersemar ditulis di atas kertas berkop Markas Besar Angkatan Darat. Artinya naskah Supersemar tidak disusun oleh Sukarno
Foto: Bartlomiej Zyczynski/Fotolia.com
Gerak Cepat Suharto
Hanya 24 jam setelah terbitnya surat sakti itu Suharto membubarkan PKI, menangkapi anggota kabinet dan orang-orang tedekat Sukarno. Menurut adik Suharto, Probosutedjo, surat itu tidak secara eksplisit memerintahkan pembubaran PKI. Sebab itu pula Sukarno menerbitkan surat perintah 13 Maret buat menganulir Supersemar. Serupa Supersemar, naskah asli surat perintah itu hingga kini lenyap tanpa bekas
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
Terbenamnya Sang Putra Fajar
Setelah kekuasaannya dilucuti, Sukarno diasingkan dari kancah politik di Jakarta. Ia dilarang membaca koran atau mendengar radio. Kunjungan keluarga dan layanan kesehatan dibatasi. Sementara itu Suharto mulai membangun kekuasaan dengan membentuk kabinet dan membujuk parlemen untuk mengesahkan Supersemar dalam TAP MPRS No. IX/MPRS/1966.
Foto: picture alliance/ZUMA Press/A. Priyono
Membisu Hingga ke Alam Baka
Supersemar pada akhirnya digunakan oleh Suharto untuk melahirkan rejim orde baru. Hingga kematiannya sang diktatur tidak berniat membuka tabir sejarah gelap tersebut, begitu pula dengan orang-orang terdekatnya. Berbagai upaya yang dilakukan Arsip Nasional untuk menemukan naskah asli Supersemar terbentur sikap diam pejabat orba. Saat ini semua saksi kunci Supersemar telah meninggal dunia.
Foto: Public Domain
8 foto1 | 8
Penyitaan buku bukan satu-satunya cara aparat memberangus hantu masa lalu. Pembubaran paksa diskusi, pencekalan atau penahanan terhadap aktivis literasi juga termasuk yang berulangkali terjadi. Pada 2010 lalu majalah Tempo menerbitkan laporan khusus berjudul "Rekening Gendut Perwira Polisi", saat diterbitkan, tiba-tiba semua eksemplar ludes diborong pembeli tak dikenal.
Pelarangan buku sendiri seharusnya sudah punah dari Indonesia. Ketika Jaksa Agung Hendarman Supandji melarang lima buku kiri pada 2009 silam, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan Nr. 20/PUU-VII/2010 yang menganggap pelarangan atau penyitaan barang cetak tanpa proses pengadilan melanggar konstitusi.
Pun TAP MPRS XXV/1966 tentang Pembubaran PKI yang sering dijadikan dasar pemberangusan buku kiri telah ditambahkan dengan TAP MPR No.1/2003. Di dalamnya aparat negara wajib berlaku adil serta "menghormati hukum, prinsip demokrasi dan hak asasi manusia," ketika menegakkan ketetapan 1966 tersebut.
Kepentingan Praktis Petinggi Militer
Berkaitan dengan aksi penyitaan di Kediri dan Padang, sejahrawan Bonnie Triyana menolak anggapan aksi sweeping TNI dilakukan atas dasar nasionalisme buta. "Siapa yang paling diuntungkan dari aksi ini?," tanyanya merujuk pada dugaan menguatnya ambisi politik TNI.
Pakar Hukum Ketatanegaraan, Bivitri Susanti, menilai sikap enggan TNI tunduk pada supremasi sipil disebabkan oleh masalah struktual, "yaitu bahwa mereka sudah begitu lama masuk ke dalam berbagai aspek kehidupan bangsa ini, sehingga sampai sekarang pun masih merasa berhak melakukan hal-hal yang sifatnya yang bukan wewenang mereka," kata dia saat dihubungi DW.
Suharto - Jalan Darah Menuju Istana
Demi menyingkirkan Soekarno, Suharto menunggangi pergolakan di tanah air dan mengorganisir pembantaian jutaan pendukung PKI. Dia sebenarnya bisa mencegah peristiwa G30S, tetapi memilih diam, lalu memanfaatkannya.
Foto: picture-alliance/dpa
Prajurit Tak Bertuan
Suharto banyak berurusan dengan pemberontakan Darul Islam selama meniti karir militernya. Pasca kemerdekaan ia juga aktif memberantas kelompok kiri di antara pasukannya. Tahun 1959, ia nyaris dipecat oleh Jendral Nasution dan diseret ke mahkamah militer oleh Kolonel Ahmad Yani karena meminta uang kepada perusahaan-perusahaan di Jawa Tengah. Namun karirnya diselamatkan oleh Jendral Gatot Subroto.
Foto: picture alliance/United Archives/WHA
Dua Musuh di Bawah Bayang Soekarno
Seperti banyak prajurit yang lain, Suharto mencurigai kedekatan Soekarno dan pimpinan Partai Komunis Indonesia (dalam gambar D.N. Aidit). Terutama sejak pemberontakan komunis di Madiun 1948, eksistensi PKI sangat bergantung pada dukungan Soekarno. Tanpanya PKI akan lumat oleh tentara. Permusuhan ABRI dan PKI tidak cuma beraroma politis, melainkan juga dipenuhi unsur kebencian.
Foto: picture-alliance/United Archives/TopFoto
Bibit Perpecahan
Suharto sibuk membenahi karir ketika permusuhan ABRI dan PKI mulai memanas. Buat mencegah PKI memenangkan pemilu dan menguasai pemerintahan, ABRI yang saat itu dipimpin duet Ahmad Yani dan A.H. Nasution mengajukan mosi menjadikan Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Saat itu, konstelasi politik sudah mulai bergeser: Soekarno tidak lagi melihat ABRI sebagai sekutu utamanya, melainkan PKI.
Foto: AFP/Getty Images
Berkaca Pada Tiongkok
Meniru gerakan kaum komunis di Tiongkok, PKI berupaya memperluas kuasa dengan niat mempersenjatai petani dan praktik land reform. Soekarno menyetujui yang kedua dengan mengesahkan UU Pokok Agraria 1960. Tiga tahun kemudian, PKI melakukan aksi sepihak dengan merebut tanah milik para Kyai di Jawa dan membagikannya pada petani miskin. Langkah itu menciptakan musuh baru buat PKI, yakni kelompok Islam.
Foto: AP
Sikap Diam Suharto
Enam jam sebelum peristiwa G30S, Kolonel Abdul Latief mendatangi Soeharto buat mengabarkan perihal rencana Cakrabirawa menculik tujuh Jendral. Latief saat itu mengira, Suharto adalah loyalis Soekarno dan akan memberikan dukungan. Kesaksian Latief menyebut, Suharto cuma berdiam diri. Setelah peristiwa penculikan jendral, Suharto yang menjabat Panglima Kostrad lalu mengambil alih komando ABRI.
Foto: picture-alliance/dpa
Kehancuran PKI, Kebangkitan Suharto
Pada 30 September, pasukan pengamanan Presiden, Cakrabirawa, mengeksekusi tujuh dari 11 pimpinan ABRI yang diduga kuat ingin mengkudeta Soekarno. Suharto lalu memerintahkan pembubaran PKI dan penangkapan orang-orang yang terlibat. Letnan Kolonel Untung, komandan Cakrabirawa yang sebenarnya kenalan dekat Suharto dan ikut dalam operasi pembebasan Irian Barat, ditangkap, diadili dan dieksekusi.
Foto: AP
Demo dan Propaganda
Pergerakan Suharto setelah G30S semata-mata diniatkan demi melucuti kekuasaan Soekarno. Ia antara lain mengirimkan prajurit RPKAD buat menguasai Jakarta, termasuk Istana Negara. Panglima Kostrad itu juga lihai menunggangi sikap antipati mahasiswa terhadap Sukarno yang dimabuk kuasa. Saat Soekarno bimbang ihwal keterlibatan PKI dalam G30S, mahasiswa turun ke jalan menuntutnya mundur dari jabatan.
Foto: Getty Images/C. Goldstein
Malam Pogrom, Tahun Kebiadaban
Di tengah aksi demonstrasi mahasiswa di Jakarta, ABRI memobilisasi kekuatan buat memusnahkan pendukung PKI di Jawa dan Bali. Dengan memanfaatkan kebencian kaum santri dan kelompok nasionalis, tentara mengorganisir pembunuhan massal. Jumlah korban hingga kini tidak jelas. Pakar sejarah menyebut antara 500.000 hingga tiga juta orang tewas. Tidak semuanya simpatisan PKI.
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
Eksekusi Disusul Eksodus
Selain menangkap dan mengeksekusi, massa dikerahkan menghancurkan toko-toko, kantor dan rumah milik mereka yang diduga pendukung komunis. Sebagian yang mampu, memilih untuk mengungsi ke luar negeri. Termasuk di antaranya Sobron, adik kandung pimpinan PKI D.N. Aidit yang hijrah ke Tiongkok dan lalu ke Perancis dan bermukim di sana hingga wafat tahun 2007.
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
Kelahiran Orde Baru
Setelah peristiwa G30S, Suharto yang notabene telah menjadi orang nomor satu di kalangan militer, membiarkan Soekarno berada di jabatannya, sembari menata peralihan kekuasaan. Selama 18 bulan, Suharto menyingkirkan semua loyalis Soekarno dari tubuh ABRI, menggandeng parlemen, mahasiswa dan kekuatan Islam, serta mengakhiri konfrontasi Malaysia. Kekuasaan Soekarno berakhir resmi di tangan MPRS.
Foto: DW
10 foto1 | 10
Dia menduga aksi sweeping menyimpan kepentingan praktis petinggi TNI dan sebab itu berpotensi menggerogoti pondasi demokrasi di Indonesia. "Saya kira sangat menjadi ancaman karena jadi cendrung mengabaikan cara-cara demokratis. Ada banyak sekali upaya pemerintah yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan cara demokratis, tapi karena masih ada ambisi politik dan ekonomi TNI tadi, mereka sering dipakai oleh pemerintah dan bisnis sebagai jalan pendek."
TNI sejauh ini belum bersuara menanggapi kecaman terkait penyitaan ratusan buku kiri. Pengamat keamanan Aris Santoso, meyakini geliat anti komunisme yang mulai marak di tubuh militer belakangan ini bukan digerakkan oleh jajaran pimpinan TNI.
"Apa yang kita lihat di lapangan, sama sekali tidak match dengan aspirasi yang berkembang di tingkat pimpinan," kata dia kepada DW. "Lapisan pimpinan TNI saat ini diisi oleh perwira-perwira yang memiliki kompetensi secara intelektual, mereka umumnya pernah bersekolah di luar negeri."
"Dengan latar belakang pendidikan seperti itu, rasanya mustahil ada perintah untuk melakukan sweeping buku."
Dia menduga penyitaan buku teranyar di Padang dan Kediri tidak terlepas dari "konflik internal" di tubuh militer. Menurutnya sejak era perang kemerdekaan, TNI Angkatan Darat tak pernah jauh dari konflik "perebutan kekuasan" di kalangan sendiri. Dia bahkan tak menutup kemungkinan adanya upaya "sabotase" terhadap jajaran petinggi TNI lewat pelarangan buku kiri.
"Apa yang kita lihat hari ini, semata-mata adalah 'perebutan kekuasaan.' Sama sekali tidak alasan ideologis untuk operasi di lapangan," kata dia. Aris meyakini ada "keresahan" di dalam tubuh TNI terkait promosi jabatan atau pangkat. "Sebagaimana diketahui, kini perwira yang memiliki akses ke Istana yang lebih berpeluang untuk dipromosikan."
G30SPKI: Dusta di Ujung Nyawa Pahlawan Revolusi
Adegan penyiksaan di film G30SPKI terhadap pahlawan revolusi bertentangan dengan otopsi yang diperintahkan Soeharto sendiri. Tapi demi kampanye anti komunis, bagian tersebut dihilangkan. Inilah hasil otopsi tim forensik
Foto: Davidelit
Kabar Burung di Halaman Muka
Adalah dua harian milik ABRI, Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha yang pertamakali melayangkan tudingan "penyiksaan barabarik" terhadap para jendral korban kudeta Partai Komunis Indonesia, termasuk bahwa mata korban "ditjungkil" dan "kemaluannya dipotong." Suharto sendiri dikutip membenarkan adanya "indikasi penyiksaan" di tubuh korban. Padahal hasil otopsi berkata lain.
Otopsi Dr. Kertopati
Selama delapan jam tim forensik yang dipimpin Dr. Roebiono Kertopati dan Dr. Sutomo Tjokronegoro bekerja hingga dini hari buat mengungkap penyebab kematian ketujuh jendral pahlawan revolusi. Hasil otopsi yang dilakukan atas perintah Suharto sendiri itu kemudian ditemukan lagi oleh sejahrawan Cornell University, Amerika Serikat, Ben Anderson.
Foto: Getty Images/Three Lions
Jendral Ahmad Yani
Jendral Ahmad Yani dikabarkan tewas di kediaman pribadinya setelah diberondong peluru oleh pasukan Tjakrabirawa pimpinan Lettu Doel Arief. Hasil otopsi hanya membenarkan separuh klaim tersebut. Tim forensik cuma menemukan delapan luka tembakan dari arah depan dan dua tembakan dari arah belakang. Yani diyakini meninggal dunia seketika sebelum jenazahnya diangkut oleh Tjakrabirawa.
Foto: Davidelit
Brigade Jendral D.I. Panjaitan
Hal serupa terjadi dengan Brigade Jendral Donald Isaac Panjaitan. Hasil pemeriksaan menyebut dia mendapat tiga tembakan di bagian kepala dan sebuah luka kecil di lengan. Tidak ada bukti penyiksaan pada tubuh seperti yang ditudingkan oleh mabes ABRI kala itu.
Foto: Davidelit
Mayor Jendral M.T. Haryono
Adapun laporan kematian Letnan Jendral Mas Tirtodarmo Haryono masih menimbulkan teka-teki karena tercatat tidak memiliki luka tembakan. Dokter hanya menemukan luka tusukan di bagian perut yang diduga disebabkan oleh bayonet. Luka serupa yang ditengarai tidak fatal juga ditemukan pada punggung dan pergelangan tangan korban yang diduga muncul ketika jenazah dilemparkan ke Lubang Buaya.
Foto: Davidelit
Mayor Jendral Siswondo Parman
S. Parman menderita lima luka tembakan, termasuk dua di kepala yang menyebabkan kematiannya. Tim forensik juga menemukan luka atau retakan pada tengkorak, rahang dan bagian bawah kaki kiri yang disebabkan oleh trauma. Tidak ada yang bisa memastikan penyebab trauma tersebut. Ben Anderson menulis pukulan popor senjata atau benturan pada lantai dan dinding sumur bisa menjadi penyebabnya.
Foto: Davidelit
Letnan Jendral Soeprapto
Letjen Soeprapto meninggal dunia akibat sebelas luka tembakan di berbagai bagian tubuh. Serupa S. Parman, dia juga menderita keretakan tulang di bagian tengkorak dan tiga luka sayatan yang diduga disebabkan oleh bayonet. Keretakan pada tulang korban diyakini sebagai akibat benturan dengan benda tumpul seperti popor senapan atau batu.
Foto: Davidelit
Brigade Jendral Sutoyo Siswomiharjo
Brigjend Sutoyo adalah sosok yang paling ramai dikaitkan sebagai korban penyiksaan PKI. Di dalam film G30SPKI anggota Gerwani ditampilkan menyungkil salah satu matanya. Namun hasil otopsi berkata lain. Sutoyo menderita tiga luka tembakan, termasuk satu luka fatal di kepala, dan trauma di bagian lengan kanan.
Foto: Davidelit
Kapten Czi. Pierre Tandean
Serupa yang lain, Pierre Tandean meninggal dunia akibat empat tembakan oleh pasukan Tjakrabirawa. Dia juga menderita luka dalam di bagian kening dan lengan kiri, serta "tiga luka terbuka akibat trauma di kepala." Tidak seorangpun dari tim dokter forensik bisa memastikan indikasi penyiksaan seperti yang ditudingkan Suharto kala itu.