1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikSuriah

Kenapa Turki dan Saudi Manjakan Penguasa Baru Suriah?

13 Juni 2025

Kucuran duit dan lobi tingkat tinggi: Turki dan negara-negara Teluk berlomba-lomba memanjakan penguasa baru Suriah sejak tumbangnya Presiden Bashar Assad. Meski begitu, pengaruh Iran dan Rusia tidak sepenuhnya sirna.

Ahmad al-Sharaa. Donald Trump dan Mohammed bin Salman
Pangeran Mohammed bin Salman memfasilitasi pertemuan antara Presiden Suriah Ahmad al-Sharaa diundang dengan Presiden AS Donald Trump saat melawat ke Saudi.Foto: Bandar Al-Jaloud/Saudi Royal Court/Anadolu/picture alliance

Dengan syarat dan kepentingan terselubung, demikian digambarkan sebagian besar bantuan asing yang mengalir ke Suriah pasca-revolusi Desember 2024. Setelah kemenangan kilat kelompok pemberontak Hayat Tahrir al-Sham (HTS) yang menggulingkan dinasti Assad, sejumlah negara tetangga mulai berlomba menawarkan bantuan.

Bak gayung bersambut tangan, Suriah pun membutuhkan dana besar untuk membangun kembali negara yang hancur akibat perang saudara selama 14 tahun.

Retorika bantuan memang kerap dibalut dalam semangat kemanusiaan, solidaritas Arab, pembangunan internasional, dan keamanan regional. Namun, seperti halnya dalam diplomasi global lainnya, sebagian besar negara yang terlibat bertindak berdasarkan kepentingan strategis mereka sendiri.

Pertanyaannya: siapa berbuat apa di Suriah, dan mengapa?

Turki: Pemenang terbesar

Ankara secara luas dipandang sebagai "pemenang terbesar” setelah tumbangnya rezim Assad. Kedekatan lama militer Turki dengan kelompok HTS, yang selama bertahun-tahun menguasai Provinsi Idlib di perbatasan utara Suriah, menjadi salah satu kunci tumbangnya rejim Assad.

"Kelompok HTS telah lama membangun hubungan kerja yang erat dengan Ankara, karena mereka menguasai Idlib, wilayah strategis yang berbatasan langsung dengan Turki," ujar Asli Aydintasbas, peneliti senior urusan Turki di European Council on Foreign Relations (ECFR).

HTS kini membentuk pemerintahan interim dengan mengamankan pos paling strategis seperti pertahanan, luar dan dalam negeri. Jabatan umumnya diberikan kepada kader HTS sendiri atau sekutu dekat. Turki, dengan koneksi yang sudah terbangun, berada dalam posisi berpengaruh dan menguntungkan.

Turkey will extend its influence in Syria: DW's Dorian Jones

03:47

This browser does not support the video element.

"Dalam jangka menengah dan panjang, kepentingan utama Turki adalah stabilisasi Suriah,” kata Sinem Adar, peneliti di German Institute for International and Security Affairs kepada Center for Strategic and International Studies (CSIS) di Washington. "Mereka tidak menginginkan terciptanya sebuah negara gagal di perbatasan selatannya.”

Saat ini, diperkirakan ada sekitar 20.000 tentara Turki yang dikerahkan di Suriah utara. Pembicaraan mengenai pakta pertahanan bilateral Turki-Suriah mulai mengemuka, termasuk rencana pendirian pangkalan udara dan laut Turki di wilayah Suriah. Awal bulan ini, Menteri Pertahanan Turki Yasar Guler menyatakan negaranya siap melatih tentara nasional Suriah yang baru.

Dalam jangka pendek, tujuan utama Ankara diyakini adalah menetralisir kekuatan Kurdi Suriah yang selama perang menguasai sebagian besar wilayah timur laut Tufki.

Turki memandang kelompok Kurdi Suriah sebagai perpanjangan tangan Partai Pekerja Kurdistan (PKK), yang selama puluhan tahun mengangkat senjata melawan pemerintah pusat demi hak-hak etnis Kurdi. Meski PKK resmi mengakhiri perjuangan bersenjata awal tahun ini, kekhawatiran Ankara belum mereda.

Turki sebabnya giat mendorong pembentukan pemerintahan pusat di Suriah, bukan sistem federal yang menjamin otonomi luas bagi daerah, termasuk di wilayah Kurdi.

Sejauh ini, perkembangan di Suriah mengesankan keberhasilan Turki. Perwakilan Kurdi Suriah, misalnya, sepakat untuk bergabung dengan pemerintahan interim yang dipimpin HTS dan akan menggabungkan pasukannya ke dalam tentara nasional yang baru.

Tak hanya aspek politik dan keamanan, potensi ekonomi juga menjadi daya tarik besar bagi pemerintah di Ankara.

Sebelum ini, Turki telah menjadi penyedia utama barang konsumsi di wilayah-wilayah yang dikuasai HTS. Kini, dengan kebutuhan rekonstruksi pascaperang yang tinggi di Suriah, sektor konstruksi Turki, yang memang salah satu yang terbesar di kawasan, berpeluang besar untuk meraup keuntungan. Tak heran, saham-saham perusahaan konstruksi di Bursa Efek Istanbul sempat melonjak 3% sesaat setelah jatuhnya rezim Assad.

Jika Turki tampil sebagai aktor dominan, maka pertanyaan berikutnya adalah: bagaimana dengan negara-negara lain — seperti Iran, Arab Saudi, dan Rusia — yang juga memiliki kepentingan dalam konflik Suriah?

Siapa yang kehilangan, siapa yang bertahan, dan siapa yang beradaptasi dengan realitas baru ini?

Kawasan Teluk: Uang dan pengaruh

Sejumlah negara Teluk tampil sebagai penyelamat finansial dan penyambung diplomasi bagi Suriah dalam beberapa bulan terakhir. Arab Saudi dan Qatar, misalnya, melunasi utang Suriah sebesar $15,5 juta  kepada Bank Dunia. Penguasa di Doha juga akan membayarkan sekitar $87 juta untuk gaji pegawai negeri sipil Suriah.

Beberapa proyek pembangunan besar pertama di Suriah juga melibatkan perusahaan dari Uni Emirat Arab, Qatar, dan Turki. Arab Saudi bahkan berhasil melobi pencabutan sanksi internasional terhadap Suriah saat Presiden Amerika Serikat Donald Trump datang berkunjung ke Riyadh. Meski tidak pernah dikonfirmasi secara resmi, Uni Emirat Arab disebut-sebut turut berperan dalam meredakan ketegangan antara Suriah dan Israel.

US lifting sanctions against Syria a 'very positive move'

04:12

This browser does not support the video element.

"Negara-negara Teluk memanfaatkan kebutuhan Suriah akan sumber daya keuangan untuk memperkuat aliansi ekonomi dan politik dengan pemerintahan baru di Damaskus," jelas Eleonora Ardemagni, peneliti senior di Institut Studi Politik Internasional Italia, dalam analisisnya bulan Juni.

"Ketertarikan Teluk terletak pada penguatan hubungan politik, keamanan, dan ekonomi dengan Damaskus, sekaligus untuk menangani isu-isu penting bagi mereka seperti penyelundupan narkotika Captagon dan kontra-terorisme," tulis Emily Tasinato, peneliti dari ECFR yang fokus pada kawasan Teluk.

Negara-negara Teluk juga diyakini berambisi mengisi kekosongan kekuasaan geopolitik yang ditinggalkan Iran dan Rusia. Kedua negara merupakan sekutu terbesar dinasti Assad di Damaskus. Namun begitu, Arab Saudi juga sedang mewaspadai pengaruh Turki, menurut Ardemagni.

AS: Poros baru di Timur Tengah?

Hingga bulan Desember tahun lalu, Presiden AS Donald Trump masih menyerukan penarikan pasukan Amerika dari Suriah. "Ini bukan pertarungan kita," tulisnya di media sosial, merujuk pada kehadiran militer AS di wilayah Kurdi di utara.

Namun, sikap itu berubah setelah pertemuan dengan Pangeran Mohammed bin Salman dari Saudi dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, dua tokoh yang dia akui suka secara pribadi.

Selama perang sipil Suriah, sekitar 2.000 tentara AS ditempatkan bersama pasukan Kurdi dalam pertempuran melawan kelompok ekstremis Negara Islam (ISIS). Saat ini, proses penarikan tengah berlangsung, dengan 500 pasukan sudah meninggalkan wilayah, seiring dengan integrasi pejuang Kurdi ke dalam angkatan bersenjata Suriah.

Namun bulan ini, muncul laporan bahwa delegasi militer AS akan segera datang ke Damaskus untuk merundingkan kesepakatan legalisasi kehadiran militer Amerika yang sebelumnya tak diakui secara resmi.

Dalam wawancara dengan Syria TV bulan lalu, juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Michael Mitchell, mengatakan masih terlalu dini bagi AS untuk mundur sepenuhnya karena kekhawatiran yang berlanjut terhadap kelompok ISIS. AS, katanya, siap memulai "era baru" dalam hubungan dengan Suriah.

Sejumlah pengamat berspekulasi bahwa AS justru bisa mengambil peran yang lebih besar di Suriah ke depan. Langkah ini dinilai bisa menjadi penyeimbang pengaruh Rusia, bahkan berpotensi membuka jalan menuju perdamaian antara Suriah dan Israel.

Iran dan Rusia: Intip peluang kembali

Kedua negara ini kerap disebut sebagai pihak yang paling terpukul akibat jatuhnya rezim Assad. Baik Iran maupun Rusia sebelumnya memiliki pengaruh besar di Suriah. Rusia sejak lama mengelola pangkalan militer sebagai pos terdepan di Timur Tengah. Namun begitu, bukan berarti kedua negara sepenuhnya tersingkir.

Diplomat Rusia masih hadir di Suriah, dan Moskow secara kontroversial memosisikan diri sebagai "pelindung" minoritas di Suriah, sembari tetap menjaga hubungan ekonomi yang erat dengan sekutu Suriah seperti Turki dan UEA.

Sementara itu, bagi Iran, pengaruhnya di Suriah "tidak lagi bergantung pada kelangsungan rezim Assad," tulis analis keamanan Mesir, Mohamed ELDoh, untuk media spesialis Global Security Review bulan ini. "Pengaruh itu telah tertanam dalam jaringan paramiliter, infrastruktur ideologis, dan kartel penyelundupan narkoba," imbuhnya.

Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris
Diadaptasi oleh: Rizki Nugraha
Editor: Hendra Pasuhuk

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait