1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Keputusan Mahkamah Konstitusi Jerman

26 Agustus 2005

Keputusan Mahkamah Konstitusi Jerman, yang memungkinkan penyelenggaraan pemilu tanggal 18 September mendatang, merupakan inti komentar surat kabar di Jerman. Tetapi mendapat perhatian yang cukup besar pula dari pers internasional.

Meja Mahkamah Konstitusi yang menentukan pemilu Jerman
Meja Mahkamah Konstitusi yang menentukan pemilu JermanFoto: dpa - Bildfunk

Harian Swiss, Berner Zeitung melihat dua pemenang dari keputusan itu:

'"Pertama adalah kanselir Schröder yang merasa mendapat dukungan. Kekuatannya kini bertambah. Walaupun gugatannya ditolak oleh pengadilan, pemenang kedua adalah Werner Schulz. Karena, politisi Partai Hijau itu merupakan satu-satunya orang yang berani tampil secara terbuka dan mengritik langkah yang diambil Schröder. Werner Schulz yang berasal dari timur Jerman itu telah mengingatkan, bahwa parlemen harus mengabdi kepada rakyat dan bukan kepada kanselir."

Harian Nesawissimaja Gaseta yang terbit di Moskow mengomentari pernyataan yang bersahabat dari Presiden Putin lewat televisi, pada penayangan profil Kanselir Gerhard Schröder:

"Kemana simpati Kremlin ditujukan, sudah jelas. Tetapi berdasarkan pengalaman pahit di masa lalu, Putin tidak mencampuri kampanye pemilu Jerman. Sebab semua upaya Rusia untuk memberikan pengaruhnya, apakah itu di Ukraina, atau dulu dukungan Jeltzin bagi 'sahabat-sahabatnya' di Jerman atau Perancis, justru mendatangkan kebalikannya. Tetapi hasil pemilu Jerman kali ini sama sekali tidak tergantung sedikitpun dari Moskow. Walaupun demikian hubungan bersahabat dengan Berlin sudah selamanya diprioritaskan oleh Moskow, tidak peduli siapa yang memegang tampuk pemerintahan."

Dengan judul "Kejangnya pemilu Jerman" harian liberal kiri Austria Der Standard yang terbit di Wina, mengomentari situasi di dalam negeri Jerman yang membingungkan sebagai berikut:

"Koalisi merah-hijau sudah tidak dapat bertahan, pilihlah saya, agar dapat melanjutkan pemerintahan merah-hijau. Seolah begitulah permintaan yang kacau dari Kanselir Schröder. Sejauh mana warga Jerman mempedulikan permintaan itu, dapat dilihat dari jajak pendapat yang dijalankan. Menurut jajak pendapat itu, calon kanselir dari Partai Uni Demokrat Kristen CDU memang ibaratnya cahaya di kegelapan malam. Tetapi partai itupun tidak punya visi yang jelas. Merah-Hijau sudah gagal, sekarang giliran kita. Bagi CDU/CSU nampaknya slogan itu sudah merupakan alasan yang cukup untuk merebut kekuasaan.
Angela Merkel yang ikut mendukung reformasi sosial yang dijalankan pemerintah Jerman sekarang ini, hanya bisa mengatakan, kita akan melaksanakannya dengan lebih baik. Jadi tidak heranlah kalau para pemilih di Jerman masih belum menentukan pilihannya."

Di Jerman sendiri keputusan Mahkamah Konstitusi itu juga mendapat tanggapan beragam. Harian Frankfurter Allgemeine Zeitung menilai, bahwa negara Jerman semakin mendekati demokrasi kanselir. Selanjutnya dikatakan:

"Sistem parlementer menjadi lemah. Parlemen dan anggotanya semakin kehilangan arti. Keputusan mahkamah itu merupakan tonggak penutup dari kedua masa jabatan Schröder, sang kanselir media, kanselir yang senang membentuk komisi, dan kanselir yang lebih suka mendapat legitimasi langsung dari rakyat, melewati begitu saja partai dan parlemen. Pemilu yang dipaksakannya lewat mosi tidak-percaya yang direkayasa, nampaknya hendak dijadikan sebagai plebisit bagi politik reformasinya."

Harian General-Anzeiger yang terbit di Bonn memberikan penilaian pragmatis:

"Keputusan para hakim di Karlsruhe menyelamatkan Jerman dari stagnasi politik dan ekonomi selama setahun, dimana partai-partai hanya akan semakin saling memblokir. Tahun 1983, ketika Helmut Kohl melakukan hal yang serupa, Mahkamah Konstitusi memberikan persetujuan dengan rasa tidak enak. Tetapi perasaan itu nampaknya sudah lama hilang. Dengan demikian Karlsruhe berarti pula mengisyaratkan kepercayaan yang lebih besar terhadap kestabilan demokrasi Jerman."

Sebagai penutup kami kutip keraguan dari harian Ostthüringer Zeitung yang terbit di Gera:

"Sekarang tinggal tergantung pada kanselir. Sesuai dengan keinginan para hakim, nantinya ia bukan hanya menentukan pedoman politik, melainkan juga aturan main demokrasi. Secara politis kiranya sangat riskan atau sangat naif, untuk mengandalkan bahwa pengawasan timbal balik antara kanselir, parlemen dan presiden tidak memungkinkan adanya penyalah-gunaan dalam pembubaran parlemen. Sebagai lembaga pengawas terakhir, para hakim di mahkamah konstitusi seharusnya tidak memperkecil tanggungjawab yang dipikulnya."