1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kerjasama Penelitian Uni Freiburg dengan UGM Yogya

5 Agustus 2007

Kerjasama antara perguruan tinggi Jerman-Indonesia sudah berlangsung sejak lama. Kebanyakan terbatas pada pertukaran ilmuwan yang melakukan penelitian atau mengajar di Jerman atau di Indonesia. Berbeda dengan kerjasama antara Institut für Völkerkunde Freiburg atau Institut Etnologi Freiburg dengan Jurusan Antropologi UGM Yogyakarta.

Ruang kuliah di Universitas Freiburg
Ruang kuliah di Universitas FreiburgFoto: picture-alliance/ dpa

Mahasiswa jurusan antropologi Universitas Freiburg dan Universitas Gajah Mada Yogyakarta melakukan penelitian bersama. Tahun 2004 dan 2006 mahasiswa Institut für Völkerkunde Freiburg melakukan penelitian budaya di Yogya dan dibimbing oleh mitranya, mahasiswa Universitas Gajah Mada. Sebaliknya tahun 2005 dan 2007 mahasiswa Indonesia dari UGM melakukan penelitian budaya Jerman didampingi mitranya, mahasiswa etnologi Freiburg.

Gagasan pertukaran penelitian ini dikembangkan tahun 2004 bersama dengan Jurusan Antropologi Universitas Gajah Mada. Prof. Judith Schlehe, pimpinan Institut für Völkerkunde Freiburg mengungkapkan

„Gagasan yang ada di belakangnya agar para mahasiswa belajar bekerjasama sebagai mitra yang sejajar. Artinya, tidak seperti yang biasanya, dimana dalam proyek kerja lapangan pembimbingan mahasiswa asing dilakukan oleh asisten lokal, melainkan mereka harus bekerja sama sebagai mitra pertukaran.“

Semester musim panas tahun 2004, 16 mahasiswa etnologi Freiburg didampingi Profesor Judith Schlehe memulai program penelitian pertukaran di Yogyakarta. Sesaat setelah program dimulai tampak sejumlah mahasiswa UGM mengalami masalah dengan konsep penelitian sejajar tersebut. Dr. Pande Made Kutanegara yang memimpin Jurusan Antropologi UGM saat itu mengungkapkan

„Rasa minder masih ada. Kesulitan kami di Indonesia pada waktu itu adalah untuk menyatakan kepada mahasiswa bahwa ini adalah tandem partner. Tandem partner ada posisi sama. Karena Mahasiswa masih menganggap dirinya sebagai guide.”

Pengalaman di Yogya juga menunjukkan, bahwa dalam melakukan penelitian kepribadian masing-masing mahasiswa sering memainkan peran lebih besar daripada perbedaan budaya kedua negara.

Prof. Judith Schlehe: “Contoh favorit saya selalu komunitas hardcore punk di Yogyakarta, bagaimana sikap mereka dalam masalah jender dan status perempuan dalam komunitasnya. Itu contoh yang baik dimana mahasiswa Jerman yang meneliti tema ini dapat lebih mendekati komunitas tersebut ketimbang mahasiswi Yogya yang menjadi mitra penelitiannya, yang hingga saat itu tidak melibatkan diri di dalamnya. Sejauh itu terlihat pemilahan antara para etnolog asing dan mitranya di Yogya."

Culture shock juga dialami para mahasiswa Jerman di Indonesia maupun para mahasiswa Jogya di Jerman. Bagi mahasiswa UGM culture shock ini dimulai sejak tiba di Freiburg. Dr. Pande Made Kutanegara menceritakan

“Professor Judith Schlehe ini datang dengan naik sepeda, dan mahasiswa kaget sekali, kok, seorang professor, professor yang besar, seperti Ibu Judith ini terkenal tetapi naik sepeda. Bagaimana ini – ini satu hal yang kemudian mulai ini – oh ini lain sekali, karena bayangan mereka orang jerman ini pasti naik BMW, naik Mercedes, seperti itu, dengan gaya yang sangat ini... Tidak ada yang naik sepeda, tidak ada yang naik trem, karena ini bayangan kemakmuran orang Indonesia."

Bagi Profesor Judith Schlehe sendiri kejadian seperti itulah yang membuat program pertukaran penelitian budaya ini istimewa

“Pandangan orang asing, pandangan dari luar inilah yang juga semakin memberi kejelasan bagi kami, nilai apa yang bagi kami normal atau sudah sewajarnya. Dan itulah yang masih selalu menjadi ciri khas etnologi dan hubungan pertukaran cara pandang dari mata orang asing dengan pandangan sendiri yang membuat keduanya menjadi matang.”

Cara memandang dari luar inilah yang menjadi tema penelitian mahasiswa Indonesia di Freiburg. Pandangan tentang budaya Jerman yang sudah mulai mereka geluti sejak di Yogyakarta

Dr. Pande Made Kutanegara: “Di Indonesia kita sudah diskusikan kemungkinan-kemungkinan thema yang menarik terutama dalam perspektif kita. Thema-thema yang dalam perspektif kita memang aneh. Dalam perspektif Jerman mungkin tidak“

Program kerjasama ilmiah Jerman-Indonesia tahun 2005 antara lain meneliti tema „Sepeda sebagai gaya hidup masyarakat Freiburg“, „Makna bir bagi mahasiswa“, atau juga „Pertanian organik di Freiburg“. Hasil penelitian akan dipublikasikan dalam Bahasa Indonesia lewat sebuah buku yang berjudul Budaya barat dalam kacamata Timur. Yang akan menjadi buku pertama tentang budaya Jerman hasil karya tulis etnolog Indonesia.

Tahun ini mahasiswa UGM meneliti budaya kehidupan akademis di Jerman. Alasan pemilihan tema tersebut menurut Dr. Lono Simatupang, ketua jurusan antropologi UGM saat ini

“Kenapa muncul tema 'Academic Culture'. Sering sekali ada kerjasama yang tidak bisa berjalan bukan karena infrastruktur, bukan karena kualitas dari kedua tempat yang jauh berbeda. Pada level yang sama sering mengalami problem, karena persoalan-persoalan budaya. Persoalan-persoalan budaya kita lihat dalam dataran akademis. Karena academic culture di timur sering berbeda dengan academic culture di barat.”

Aan Kurniawan meneliti hubungan antara mahasiswa dan dosen di Freiburg. Keadaan saling tidak mengenal dalam situasi kampus di Freiburg sangat mengherankan mahasiswa UGM ini

Aan: “Saya merasa sedikit asing disini. Sama seperti dirasakan teman-teman yang baru datang ke Indonesia. Mereka merasa seperti – aah – ada di negeri orang lain. Dan saya merasakan apa yang mereka merasakan. Saya jadi bule disini. Salah satu contoh. Yang saya belum paham sampai sekarang adalah kenapa orang disini tidak kenal dengan orang lain. Salah satu contoh kecilnya: Saya belajar di fakultas ilmu budaya, dan saya kenal sama hampir semua orang di fakultas ilmu budaya. Tapi waktu saya tanya disini, dari segi mahasiswa saja saya tanya: Apakah kamu kenal dengan teman sekelas kamu di satu angkatan -tidak! – Tidak semua yang saya kenal. Aku kenal hanya seberapa saja. Ya ini sangat susah dipahami. Ya, bagaimana orang bisa berteman disini?”

Nina Kaiser adalah mitra penelitian Aan.Justru karena perbedaan budaya inilah mahasiswi Jerman itu merasa penelitian bersama Aan sangat memperluas pengalamannya. Terutama aspek budaya Jerman yang bagi Nina selama ini tidak terlalu diperhatikan karena sudah dianggap wajar.

Program kerjasama penelitian bersama di Freiburg sudah berakhir dan mahasiswa Universitas Gajah Mada sudah kembali ke Yogya. Dengan membawa pengalaman berharga tanpa harus mengeluarkan biaya, karena ongkos perjalanan dan biaya hidup selama melakukan penelitian ditanggung Yayasan Jerman Mercator dan Deutsche Akademischer Auslandsdienst, DAAD.