1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Kesehatan

Kerugian Ekonomi Karena Migrain Pusingkan Singapura

19 September 2019

Pada 2018 migrain sebabkan kerugian hingga sekitar Rp 10,6 triliun, demikian ungkap sebuah studi. Kerugian akibat hilangnya produktivitas kerja mencapai 80 persen, dan 20 persen disebabkan oleh biaya perawatan kesehatan.

Symbolbild - Migräne
Foto: Colourbox/Phovoir

Orang yang menderita sakit kepala kronis ini juga kehilangan rata-rata 9,8 hari kerja dalam satu tahun. Sementara bagi mereka yang memutuskan untuk terus bekerja, gejala ini sangat mengurangi kemampuan untuk menyelesaikan tugas, ini berarti hilangnya produktivitas kerja sebanyak 7,4 hari dalam setahun.

Migrain berkembang melalui beberapa tahap. Gejalanya termasuk sembelit, lekas marah dan gangguan visual, sebelum benar-benar mengalami sakit kepala.

Gejala ini berlangsung antara empat hingga 72 jam, sebagian besar mempengaruhi mereka yang berada pada kelompok usia 30 hingga 40 tahun. Migrain juga lebih sering terjadi pada perempuan dewasa ketimbang laki-laki karena adanya faktor perubahan hormon.

Lebih dari 600 pekerja penuh waktu Singapura yang menderita migrain disurvei secara online untuk penelitian dengan judul Beban Ekonomi Akibat Migrain Di Singapura, yang dilakukan oleh Duke-NUS Medical School dan perusahaan farmasi Novartis.

Jumlah penderita terus bertambah

Para responden rata-rata berusia 38 tahun, kebanyakan berlatar belakang etnis Cina, berstatus menikah dan setidaknya berpendidikan tinggi. Sebagian besar berada di posisi manajerial (60 persen), dan sisanya di pekerjaan administrasi, dengan keterampilan menengah, maupun wiraswasta.

Para peneliti menemukan bahwa mereka yang mengalami migrain pada empat hingga 14 hari setiap bulan menyebabkan kerugian hingga sebesar 14.860 dolar Singapura atau sebesar Rp 151 juta per kapita per tahun. Sedangkan mereka yang menderita migrain hanya dalam tiga hari atau lebih sedikit setiap bulannya, menyebabkan kerugian sebesar 5.040 dolar Singapura (Rp 51,4 juta) per kapita pada 2018. 

Penduduk Singapura tidak asing dengan jam kerja yang panjang dan tingkat stres tinggi yang dapat menjadi pemicu migrain.Foto: picture-alliance/blickwinkel/E. Teister

Dr Jonathan Ong dari National University Hospital (NUH) mengatakan ada sekitar 100 pasien baru datang setiap bulannya ke klinik untuk gangguan sakit kepala di sejumlah rumah sakit dan Rumah Sakit Umum Ng Teng Fong. Jumlah ini meningkat sekitar 10 persen setiap tahun.

"Tidak mengherankan karena kita hidup dalam lingkungan yang semakin penuh tekanan, sebagai negara Asia - kita sangat berorientasi pada pekerjaan, berorientasi pada tujuan, menghabiskan waktu berjam-jam di tempat kerja, dan stres adalah pemicu utama migrain," katanya.

Pengaruhi karir dan kehidupan pribadi

Migrain seringnya berhubungan dengan kondisi medis tertentu seperti depresi dan kecemasan, penyakit kardiovaskular, peradangan hidung atau sinus. Namun penyakit ini juga dapat dipicu oleh lingkungan, emosi dan makanan.

"Yang mengkhawatirkan adalah penelitian kami menemukan bahwa sekitar satu dari empat pasien di Singapura tidak berusaha mencari perawatan medis untuk migrain yang mereka derita," ujar Dr Ong, yang juga adalah konsultan di Divisi Neurologi NUH dan presiden Headache Society of Singapore.

Dr Eric Finkelstein dari Duke-NUS Medical School mengatakan migrain memiliki efek jangka panjang yang merugikan pada pekerjaan, seperti mempengaruhi perkembangan karir seseorang dan kehidupan pribadi mereka.

Tes medis memakan sekitar 41 persen besaran biaya perawatan kesehatan akibat migrain, diikuti oleh obat-obatan alternatif (18 persen), konsultasi (16 persen), rawat inap (13 persen) dan obat-obatan (11 persen).

Para peneliti berharap hasil riset ini dapat meningkatkan kesadaran tentang migrain, sehingga lebih banyak orang dapat didiagnosis dengan benar dan tempat mereka bekerja akan lebih memahami para penderita.

ae/hp (Strait Times)