Menjermankan Kerupuk Blek, Gurilem, Hingga Rengginang
10 Juli 2021Sebuah pesan masuk di WhatsApp Dewi, seorang pedagang bahan makanan online yang tinggal di Hameln, Niedersachsen, Jerman. Isinya: "Kerupuk putih, kerupuk blek, ada?" Tak sampai sedetik Dewi membalas: "Ada.” Tak lama kemudian masuk lagi pesan dari pengirim yang sama menanyakan ketersediaan kerupuk kulit. "Ada. Jangankan kerupuknya, kalengnya pun ada. Mau juga? 45 Euro kaleng kerupuk beserta isinya penuh," tulis Dewi yang berasal dari Kuningan.
Sejak tahun 2014 perempuan yang memakai nama beken Ceu Dewi bermukim di Jerman bersama suaminya yang bekewarganegaraan Jerman. Ia mengaku mulai rajin berdagang lewat online sejak wabah corona dan makin lama makin serius menekuni profesi ini. "Ceu Dewi sampai dijuluki pengusaha 'micin'(vetsin). Karena jualan Ceu Dewi cemilan, kerupuk-kerupuk, macam-macam 'ciki', yang susah didapat di Jerman ataupun Belanda," ujarnya tertawa.
Kelihaiannya memasarkan dagangan menurutnya didapat sejak dulu tinggal di Kuningan, Jawa Barat, sebelum pindah ke Jerman. Namun barang-barang tersebut kini ia pasarkan di Jerman. "Sebetulnya Ceu Dewi banyak jualan makanan-makanan pedagang-pedagang usaha kecil menengah (UKM) di kampung. Sambil membantu perekonomian saudara-saudara di kampung, Ceu Dewi suruh mereka jualan apa yang mereka bisa. Nah seperti kakak Ceu Dewi sendiri bikin keripik bakso goreng, makaroni balado, makaroni pedas dan original. Sepupu Ceu Dewi bisa bikin keripik sukun, kentang mustafa, bawang goreng pedas, keripik ubi manis, keripik pisang, rengginang. Dan selain itu Ceu Dewi juga membeli dari kota-kota lain, dari Bandung beli kerupuk kulit matang, gurilem, keripik tempe dan makanan khas Bandung lainnya yang menurut Ceu Dewi bakal laris di Jerman," paparnya menjelaskan keunikan dagangannya.
Sebagaimana pedagang bahan makanan Indonesia lainnya di Jerman ia juga mengambil beberapa barang dari Belanda, di mana banyak distributor besar yang menyediakan bahan makanan Indonesia.
Ada beragam pedagang online asal Indonesia yang berlokasi di Jerman. Demikian pula yang membuka toko yang bisa disambangi oleh pelanggan.
Sampai tidur di parkiran jalan tol
Dewi Josodirdjo di Stuttgart juga awalnya bermula dari jualan online. Perempuan Jawa yang menikah dengan pria Jerman ini menceritakan awalnya terjun ke bisnis makanan: "Pertamanya, saya suka ‘nyemil'. Terutama camilan Indonesia. Di kota saya, di Stuttgart itu ternyata tidak ada toko Indonesia. Jadi sebelum-sebelumnya, kita selalu ke luar kota untuk beli barang-barang tersebut. Akhirnya lama-lama kita pikir, kenapa tidak buat toko saja sendiri di sini? Kan belum ada juga dan pastinya orang-orang Indonesia di sini juga yang suka mengemil, suka makan atau masak pasti juga mencari barang Indonesia,” tuturnya.
Bersama suami, ia mengurus kelengkapan dokumennya dan tak segan berbagi informasi tata cara pengurusannya: "Pertama-tama, kita harus cari pengacara dan notaris, karena mereka yang nantinya akan membantu kita untuk registrasi ke kantor perdagangan tata usaha di sini. Nanti mereka yang siapkan semua surat-surat pendirian toko. Nah, setelah semua diajukan nanti beberapa minggu kita akan terima surat yang disertakan nomor registrasi. Jadi dengan nomor itu, kita sudah bisa untuk buka toko. Dan juga kita mendapat sertifikat barang karena kita menjual produk barang. Jadi semuanya sudah ada di dalam sertifikasinya,” demikian Dewi menjelaskan.
Ia juga mengikuti seminar untuk mendapatkan informasi semua peraturan dalam proses impor ekspor ini. "Dan juga setelah kita ikut seminar, kita juga harus mencari orang yang bisa membantu kita dalam pajak, karena setiap bulannya kita harus memberikan (informasi) pendapatan toko dan ini harus benar-benar mengikuti peraturan ya, kalau tidak kita bisa bermasalah dengan kantor pajak,” katanya lebih lanjut.
Sudah lebih dari dua tahun ia berkecimpung dalam perdagangan online di Jerman. Tantangannya adalah dalam hal mencari pemasok: "Tidak gampang dan semua pemasok yang kita pakai (jasanya) itu masih dari Belanda. Kita juga harus tahu permintaan orang Indonesia itu apa. Bahan-bahan apa yang orang-orang di sini cari. Kalau saya kan hanya tahu makanan cemilan tapi yang untuk masak. Jadi kita harus tahu semua kita catat, apa-apa saja yang dibutuhkan. Nah, itu kita harus cari dan tidak hanya satu pemasok dengan yang kita mau. Itu berbagai macam pemasok. Jadi pemasok sambal, minuman, camilan. Jadi cukup (sulit) untuk mendapatkan mana yang cocok,” imbuh Dewi.
Apa yang paling diminati oleh pelanggan Indonesia yang tinggal di Jerman? Dewi menceritakan: "Kecap itu nomor satu. Lalu sambal dengan semua rasa dan yang selalu ada adalah mie instan. Itu selalu. Setiap paket yang saya siapkan, itu selalu ada tiga produk itu. Minyak telon, minyak kayu putih itu susah dicari dan kita ada. Pembeli senang. Untuk yang sudah punya anak atau sekarang dengan adanya pandemi, minyak kayu putih yang banyak dicari orang. Paling unik, saya rasa jengkol ya, jengkol dengan petai," ungkapnya sambil tertawa.
Pada masa-masa awal sebelum pandemi, ia dan suami setiap bulan harus ke Belanda untuk bertemu pemasok, mengambil barang. "Kita untungnya masih sedikit, belum bisa untuk tinggal di hotel. Jadi berangkat pagi, pulang malam dan kalau malam kita sudah lelah ya sudah, istirahat di tempat peristirahatan. Tidur sebentar di dalam mobil yang kanan kirinya truk-truk," demikian ia mengingat beratnya masa awal berbisnis. Saat pandemi, jumlah permintaan semakin meningkat dan kini ia mulai bisa merasakan keuntungan dari bisnisnya.
Makanan jadi pun ada
Bukan hanya bahan makanan, masakan matang ala Indonesia pun menjamur di masa pandemi di Jerman. Ada yang menjual khusus masakan Palembang seperti mpek-mpek, ada juga masakan Padang dan penganan lainnya yang ditawarkan lewat media sosial.
Novi Rottmann asal Jakarta hampir setiap minggu menawarkan menu katering. Lewat grup atau pesan personal WhatsApp, Novi menjajakan masakannya bagi warga di Jerman yang berminat mencicipi makanan Indonesia. Mulai dari lontong sayur, nasi uduk, risoles, pastel hingga serabi, menjadi menu andalan yang ia tawarkan. "Memasak adalah tugasku waktu masih tinggal dengan orang tuaku dan kini suami, serta memang sudah jadi hobiku,” tutur ibu rumah tangga asal Indonesia yang bermukim di Bonn, Jerman ini.
Tahun 2009, mendampingi suaminya yang warga negara Jerman, Novi pindah ke pindah ke Jerman. 10 bulan pertama di Jerman ia mengalami anemia. Pada masa adaptasi hidup di Jerman, ia memang hampir tidak pernah lagi memasak dan makan masakan Indonesia. "Untung saat itu suami harus ke Indonesia lagi, saya ikut dan saya kembali makan makanan Indonesia, dan akhirnya sembuh.”
Tak berapa lama kemudian ia kembali tinggal di Jerman dan berpikir untuk membuat makanan Indonesia dan menjajakannya. "Namun bahan bahan masakan Indonesia kadang kala susah didapat jadi harus menunggu. Tapi pada dasarnya hampir semua bahan masakan bisa ditemukan di Jerman dan Belanda. Kadang memang masih ada yang terpaksa harus pesan dari Indonesia,” ujar Novi.
Pembatasan COVID-19 meningkatkan omset dagangannya. "Selalu ada saja teman-teman memesan makanan, apalagi saat banyak restoran tutup. Banyak orang juga memesan untuk merayakan ulang tahun jadi pada dasarnya pesanan meningkat masa corona,” pungkas Novi.