Kerusuhan 22 Mei Sebagai Akhir Demo Berjilid-jilid
Nadya Karima Melati
Opini penulis tamu
22 Juni 2019
Kerusuhan Mei 2019 masih menyisakan banyak tanda tanya, tentang bagaimana pengusutan kasus korban tewas dan siapa dalang dari kejadian berdarah di pusat pemerintahan ini. Ikuti opini Nadya Karima Melati.
Iklan
Seperti yang lalu-lalu, pemerintah negara Republik Indonesia enggan untuk menuntaskan kejadian pelanggaran HAM masa lalu mulai dari peristiwa 65, peristiwa kerusuhan 98, penembakan di Semanggi dan peristiwa kerusuhan ini akan menjadi babak baru digantungnya penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia oleh negara.
Dengan terus menggali keadilan bagi korban, sejatinya kita bisa melihat bagaimana peristiwa kerusuhan ini berdampak secara politik. Khususnya dengan menyelidiki pola perpolitikan Indonesia sebelumnya dan memetakan siapa-siapa saja yang diuntungkan atas terjadinya utang baru pelanggaran HAM di republik ini.
Akhir dari Aksi "Super Damai"
Keluarga saya adalah keluarga kelas menengah muslim yang tinggal di pinggir ibu kota. Ibu saya, adalah seorang muslimah yang taat. Beliau mempunyai pengajian rutin setiap minggu dan rutin pula mengikuti demonstrasi "Bela Islam" khususnya semenjak demonstrasi besar 212 untuk menumbangkan Ahok pada tahun 2016 silam.
Saya dan ayah mempunyai pandangan politik yang sangat berseberangan dengan ibu namun saling menghargai. Saya dan ayah tidak pernah sekalipun melarang ibu ikut pergi demonstrasi bersama kelompoknya.
Tapi malam tanggal 21 Mei setelah penentuan hasil pemilihan umum oleh KPU dan Bawaslu, kami sekeluarga, berdasarkan informasi dari media daring, melarang ibu untuk ikut demonstrasi yang sudah beliau siapkan sejak tiga hari yang lalu, sebab khawatir akan terjadi kericuhan.
Kisruh Berdarah Protes Hasil Pilpres
Eskalasi kekerasan memuncak 21 Mei malam dan menyisakan sejumlah korban tewas. Presiden Joko Widodo mengatakan tidak akan menolerir para perusuh dan memerintahkan penangkapan atas mereka yang terlibat pelanggaran hukum.
Foto: AFP/B. Ismoyo
Eskalasi Berawal Dari Lemparan Batu
Sedikitnya enam orang meninggal dunia dan ratusan luka-luka saat massa pendukung Prabowo Subianto bentrok dengan aparat keamanan saat memrotes hasil penghitungan suara di depan gedung Bawaslu, Jakarta. Kisruh diklaim berawal ketika pendemo melempar batu ke arah barisan kepolisian.
Foto: AFP/B. Ismoyo
Api di Jalan Raya
Para pendemo mengamuk saat hendak dibubarkan polisi. Sebagian lalu merusak asrama Brigade Mobil Kepolisian dan membakar sejumlah kendaraan. Polisi menangkap sejumlah orang yang diduga sebagai provokator kerusuhan. Kabarnya sebuah mobil ambulans milik partai Gerindra juga ikut diamankan setelah kedapatan membawa batu untuk demonstran.
Foto: AFP/D. Krisnadhi
Arus Balik di Media Sosial
Sebelum aksi protes, Prabowo Subianto sempat meminta massa pendukungnya agar tetap berlaku damai dan tenang. Namun himbauan itu tidak digubris sebagian pendemo. Akibatnya tagar #TangkapPrabowo menggema di Twitter dengan lebih dari 220 ribu cuitan. Netizen juga menyoroti pidato Amien Rais yang menyamakan aksi polisi layaknya PKI dengan menyerukan penangkapan tokoh Partai Amanat Nasiona (PAN) itu.
Foto: AFP/B. Ismoyo
Mempermasalahkan Angka, Menggoyang Negara
Massa yang tergabung dalam Gerakan Nasional Kedaulatan Rakyat (GNKR) menuntut agar penghitungan suara diulang lantaran mencurigai kecurangan sistematis. Prabowo Subianto sendiri berniat mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Namun gugatan sebelumnya ke Bawaslu ditolak lantaran BPN hanya mengirimkan tautan berita online sebagai barang bukti.
Foto: Reuters/W. Kurniawan
Manuver SBY dari Singapura
Koalisi Prabowo-Sandiaga Uno mulai mengalami keretakan. Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono yang sebelumnya mendukung capres 02 berbalik badan mengakui hasil penghitungan suara dan memberikan ucapan selamat atas kemenangan Joko Widodo dan Ma'ruf Amin. Ucapan serupa sebelumnya sudah dilayangkan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan kepada Joko Widodo.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Tudingan Miring Kepolisian
Polisi mengklaim demonstrasi di Jakarta bukan aksi spontan, melainkan telah direncanakan. Sejumlah demonstran diklaim mengaku mendapat bayaran untuk ikut bergabung dalam aksi protes. Pemerintah sebelumnya berusaha meredam demonstrasi dengan menebar isu makar kepada kubu oposisi.
Foto: DW/R.A. Putra
Pukulan Balik Pemerintah
Menteri Koordinasi Politik, Hukum dan Keamanan, Wiranto, mengaku pemerintah memblokir akses media sosial demi menghadang penyebaran kabar palsu. Hal ini dipicu oleh maraknya fitnah kepada kepolisian yang diposisikan berhadapan dengan "umat Islam." Wiranto juga mengklaim telah mengantongi daftar berisikan nama-nama terduga provokator kerusuhan.
Foto: DW/R.A. Putra
Manuver Hukum Jelang Pelantikan
BPN Prabowo-Sandiaga memiliki waktu hingga 11 Juni untuk mengajukan gugatan terkait hasil penghitungan suara kepada Mahkamah Konstitusi. Seusai jadwal yang telah ditetapkan KPU, proses hukum tersebut akan berakhir pada 24 Juni saat pembacaan keputusan. Sementara presiden dan wakil presiden terpilih akan dilantik pada bulan Oktober 2019. (rzn/rap/hp: dari berbagai sumber)
Foto: DW/R.A. Putra
8 foto1 | 8
Benar saja ketika kami sekeluarga makan sahur, berita tentang kerusuhan yang terjadi di pusat kota Jakarta telah menewaskan satu orang. Beberapa hari kemudian, jumlah korban tewas bertambah lagi mencapai sembilan orang.
Saya mencurigai bahwa korban tewas dan kekerasan berdampak pada berkurangnya simpati terhadap demonstrasi umat Islam. Banyak keluarga menengah muslim yang kini meminta anggotanya tidak terlibat secara langsung lagi setelah kerusuhan berdarah dan para "umat Islam" sedikit demi sedikit mulai menarik diri dari pusaran demonstrasi, sebab tidak aman.
Ibu saya adalah satu dari mungkin sekian banyak umat muslim yang mulai pada awal selalu dikatakan "super damai" sejak 212 pada tahun 2016. Berjilid-jilid demonstrasi aman dan bebas kekerasan, sekarang mulai berhenti karena adanya korban tewas pada demo terakhir, 22 Mei 2019.
Ada beberapa alasan mengapa orang bersimpati pada gerakan demonstrasi Islam dengan angka cantik ini. Pertama karena hubungannya dengan pengakuan kesalehan di ruang publik, adanya rasa kebersamaan sesama komunitas muslim dan diarahkan oleh politik elite. Tapi hal yang terpenting dalam okupasi ruang publik adalah jaminan rasa aman bagi para simpatisannya. Itu sebabnya setiap kali demonstrasi angka cantik selalu disisipi label "damai" atau "super damai".
Kedamaian dan keamanan ditekankan supaya orang merasa tidak membahayakan nyawanya jika bersimpati dan mau bergabung. Begitu juga istilah "People Power" yang memiliki syarat nir-kekerasan karena sesungguhnya arsitek gerakan ini tahu bahwa kekerasan akan menghentikan simpatisan untuk datang ke gerakan massa dan penguasaan ruang publik.
Lini Masa Drama Pilpres 2019
Pesta demokrasi di tahun 2019 ini menyisakan banyak sekali kisah tak terlupakan. DW sajikan kronologi momen penting Pemilu 2019 kepada Anda.
Foto: Reuters/W. Kurniawan
Dua kandidat di Pilpres 2019
Pada 20 September 2018, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan nama pasangan calon presiden dan wakil presiden untuk Pemilu 2019. "Hasil rapat menetapkan bahwa 2 calon yang mendaftarkan ke KPU, Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, dinyatakan memenuhi syarat," ujar Ketua KPU Arief Budiman dalam jumpa pers di kantor KPU, seperti dikutip dari Detik.
Foto: picture-alliance/AP Photo/T. Syuflana
Kampanye akbar Prabowo-Sandi
Masa kampanye untuk Pemilu 2019 berlangsung dari 23 September 2018 hingga 13 April 2019. Pasangan 02 melaksanakan kampanye terakhirnya di Stadion Gelora Bung Karno (GBK) pada Minggu, 7 April 2019. Prabowo menyebutkan bahwa satu juta pendukungnya hadir dalam kampanye itu. Badan Pemenangan Nasional (BPN) mengklaim kampanye akbar pasangan 02 adalah kampanye terbesar di Pilpres 2019.
Foto: Getty Images/E. Wray
Kampanye akbar Jokowi-Ma'ruf
Kampanye terbesar pasangan 01, yang diselenggarakan di GBK pada 13 April 2019, diberi tajuk "Konser Putih Bersatu". Acara tersebut didukung oleh ratusan artis kondang tanah air, seperti Slank, Glenn Fredly dan Ruth Sahanaya. Ketua TKN Jokowi-Ma'ruf, Erick Thohir meyakini jumlah peserta yang hadir lima kali lipat lebih banyak dari massa kampanye akbar Prabowo-Sandi.
Foto: DW/R. Akbar Putra
TPS unik meriahkan pemilu
Setelah masa tenang pada 14-16 April 2019, masyarakat pun merayakan pesta demokrasi terbesar di Indonesia pada 17 April. Banyak panitia pemilu memanfaatkan momentum ini untuk menyalurkan kreatifitas mereka. Di foto tampak tempat pemungutan suara (TPS) dihiasi dengan gambar pahlawan super dari Marvel. TPS ini berlokasi di Kelurahan Sempidi, Kabupaten Badung, Bali.
Foto: DW/K. Surya Sanjaya
Pemilu yang kompleks
Pemilihan presiden yang dibarengi dengan pemilihan anggota legislatif menyisakan duka untuk para pejuang demokrasi. Lebih dari 500 petugas pemilu meninggal dunia dan ribuan dirawat di rumah sakit. Dalam keterangan resminya, Kementerian Kesehatan menyatakan beragam penyakit dalam, seperti gagal jantung, hipertensi dan stroke, menjadi penyebab utama meninggalnya para petugas.
Foto: Reuters/W. Kurniawan
Jokowi menang
KPU mengumumkan hasil pemilu pada Selasa (21/05) dini hari. KPU menyatakan pemenang Pilpres 2019 adalah pasangan 01, Jokowi-Ma'ruf dengan perolehan suara sekitar 55,5 persen (85.607.362 suara). Sementara Prabowo-Sandi berhasil mendulang sekitar 44,5 persen suara (68.650.239 suara). Jokowi menyampaikan pidato kemenangannya di depan warga Kampung Deret, Johar Baru, Jakarta Pusat.
Foto: Rusman - Biro Pers Sekretariat Presiden
Massa rusuh
Prabowo-Sandi menyatakan menolak hasil Pilpres 2019 dan berniat mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Para pendukung pasangan 02 menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung Bawaslu, Jakarta Pusat. Bentrok antara massa dengan aparat keamanan pecah pada Selasa (21/05) malam hingga Rabu (22/05) dini hari. Delapan orang meninggal dan ratusan luka dalam kerusuhan ini.
Foto: AFP/B. Ismoyo
Jokowi tanggapi kericuhan
Pada konferensi pers 22 Mei di Istana Merdeka, Presiden Jokowi menegaskan bahwa ia tidak akan memberikan toleransi pada siapa pun yang mengganggu keamanan dan persatuan negara. Dalam keterangannya, Presiden Joko Widodo menjamin bahwa situasi dapat dikendalikan dan masyarakat tidak perlu merasa khawatir. Jokowi juga mengajak semua pihak untuk kembali menjaga kerukunan bersama.
Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden/Kris
Ratusan perusuh ditangkap
Saat terjadi bentrok 21-22 Mei, aparat gabungan TNI-Polri berhasil menangkap ratusan pendemo yang menjadi provokator aksi. Ditemukan bahwa kebanyakan perusuh yang ditangkap berasal dari luar Jakarta dan adalah massa bayaran karena polisi juga menemukan puluhan amplop berisi uang sejumlah 200 ribu hingga 500 ribu rupiah. Bersama mereka juga didapati senjata tajam, bom molotov dan busur panah.
Foto: Reuters/W. Kurniawan
Demo selesai, pasukan oranye beraksi
Kamis (23/05) kondisi di sekitar Gedung Bawaslu, Jakarta, telah steril dari massa unjuk rasa. Tidak ada kerumunan orang yang berkumpul di sana seperti hari-hari sebelumnya. Pasukan oranye dari Dinas Kebersihan DKI Jakarta pun turun ke jalan membersihkan sampah dan sisa-sisa benda yang dibakar dalam demonstrasi dua hari itu.(Teks: Zakia Ahmad/hp)
Foto: Reuters/W. Kurniawan
10 foto1 | 10
Jokowi yang Diuntungkan
Sesungguhnya melalui skema ini saya justru mencurigai bahwa aksi kekerasan dan kerusuhan justru mungkin dibuat oleh pihak yang menginginkan tidak ada lagi aksi demo berjilid-jilid.
Benar adanya kelompok umat Islam yang dimotori oleh Prabowo senang sekali memamerkan kekuatan mengumpulkan simpatisan Islam ke ruang publik dan Jakarta sebagai pusat Indonesia. Tapi mereka juga sadar satu hal, dengan mengumpulkan banyak orang berarti juga memberikan jaminan keamanan kepada mereka.
Pecahnya kekerasan dalam aksi demo terakhir menjadi pukulan telak dalam aksi mengumpulkan massa di ruang publik ini. Terlebih lagi, sebuah surat kabar investigasi sedang menggiring opini publik dengan mengaitkan kerusuhan 2019 dengan 1998 yang mana Prabowo dan kawan militernya terlibat.
Berbagai fakta yang dikumpulkan oleh surat kabar tersebut sangat tersirat untuk menyudutkan secara politik. Misalnya saja, penemuan ambulans dengan logo partai oposisi yang membawa batu dan amplop dan rencana pembunuhan empat petinggi militer di tengah pusaran kekuasaan Jokowi. Saya rasa itu sangat terang-terangan, menyudutkan dan menggiring opini publik dalam pusaran arus politik pemenang pemilu.
Dari semua fakta yang dikumpulkan dan disusun terkait kerusuhan, Jokowi terlihat berada jauh dalam perdebatan dan tidak terlibat sama sekali. Bukankah hal ini yang justru mencurigakan?
Negara yang Pernah Batasi Media Sosial Dalam Keadaan Darurat
Heboh WhatsApp, Facebook dan Twitter tidak bisa diakses pasca-kisruh 22 Mei ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia. Negara lain ternyata juga pernah melakukan hal serupa. Negara mana saja dan apa alasan pemblokiran?
Foto: Reuters/W. Kurniawan
Indonesia
61.000 akun Whatsapp, 640 akun Instragram, 848 akun Twitter, 551 akun facebook diblokir pascakerusuhan akibat penolakan hasil Pemilu 2019. Warganet juga terkena imbas karena akses sosial media dibatasi. Meski ada saja netizen yang coba mengakses internet melalui VPN. Menurut Menkominfo Rudiantara ini adalah cara agar berita hoaks dan gambar provokatif tidak beredar memperkeruh suasana.
Foto: Reuters/W. Kurniawan
Sri Lanka
Akibat banyaknya berita hoaks tersebar pasca-peristiwa bom bunuh diri Paskah (21/04), pemerintah Sri Lanka menutup jejaring sosial Facebook, Twitter, YouTube, Instagram dan WhatsApp selama 9 hari. Bom yang menewaskan 258 orang dan menyebabkan 500 orang terluka diduga didomplengi ISIS. Banyak yang mengaku menggunakan VPN dan TOR agar tetap bisa berkomunikasi dengan keluarga dan kerabat dekat.
Foto: Getty Images/L. Wanniarachchi
Bangladesh
Pemerintah menghentikan layanan internet 3G dan 4G sebelum pemilu untuk jaga keamanan negara dan mencegah penyebaran desas-desus, menurut Asisten Direktur Senior BTRC, Zakir Hossain Khan Desember 2018 lalu. Bangladesh bahkan menutup akses terhadap portal berita populer, Poriborton.com Selasa (21/05) karena laporannya menyebabkan kemarahan badan intelijen militer Bangladesh
Foto: DW/A. Islam
Sudan
Awal Januari 2019, pemerintah Sudan juga menutup akses media sosial populer setelah kerusuhan berlangsung selama dua minggu. Saat itu, warga protes agar Presiden Omar Al-Bashir turun dari jabatannya setelah berkuasa 20 tahun. Menurut Kepala Badan Intelijen dan Keamanan Nasional Sudan, Salah Abdallah, pemblokiran sosial media sudah jadi bahan perbincangan sejak kisruh terjadi 21 Desember 2018.
Foto: Reuters/M. Nureldin Abdallah
Iran
Sejak 2018, aplikasi Telegram diblokir pemerintah karena dianggap telah digunakan sejumlah pihak anti-pembangunan di Iran. 40 dari 46 juta pengguna media sosial di Iran menggunakan Telegram untuk banyak hal, mulai dari berjualan pakaian hingga mencari dokter. Media sosial seperti Facebook dan Twitter sudah ditutup sejak tahun 2009.
Foto: picture alliance/dpa/D. Feoktistov/TASS
Rusia
Pertengahan tahun 2018, pemerintah Rusia juga menutup akses Telegram, aplikasi pesan instan yang dianggap aman dan terenkripsi baik. Bahkan pemerintah mengancam pemblokiran akses VPN untuk mengakses situs terlarang. Badan sensor Rusia telah mengirim notifikasi pemblokiran oleh 10 penyedia VPN di Rusia, di antaranya seperti KNordVPN, Hide My Ass! dan Kaspersky Secure Connection sejak April 2018.
Foto: picture alliance/dpa/V. Prokofyev
Cina
Cina memiliki platform media sosial sendiri yang dikelola oleh negara, seperti WeChat, Weibo, QQ dan YouKu. Media sosial besar seperti Facebook, YouTube dan WhatsApp tidak bisa diakses. Lewat sistem poin (scoring system), kebebasan berekspresi baik melalui media sosial maupun telepon kini dimonitor penuh oleh pemerintah. Ed: ss/ts (Reuters, AFP)
Foto: picture-alliance/dpa
7 foto1 | 7
Bagaimana pun, Jokowi adalah penguasa dan terpilih kembali, dia adalah pucuk kekuasaan di negara Indonesia dan bertanggungjawab atas tragedi kemanusiaan yang terjadi di bawah pemerintahannya.
Sementara itu, kerusuhan 22 Mei menjadi tragedi kemanusiaan baru bagi bangsa ini. Pelanggaran HAM oleh negara yang lalu-lalu saja tidak diselesaikan dan pemerintah mengulang kembali kejahatannya dengan tuduhan korban sebagai perusuh.
Sejarah terulang adalah ketika rakyat sipil selalu jadi korban dan keadilan bagi mereka tidak ditegakkan. Peristiwa pembantaian 65, kerusuhan dan perkosaan massal 98, penembakan Semanggi dan lain-lain masih belum selesai dan kita sudah mengulang masalah baru.
Pemerintah terlihat ogah-ogahan dalam membentuk tim pencari fakta, identitas korban dan hasil autopsi justru dikemukakan kepada publik pertama-tama oleh lembaga independen seperti KontraS dan Komnas HAM, sementara polisi, dalam konferensi pers yang mereka lakukan pada 11 Juni kemarin, alih-alih mencari pelaku penembakan justru melakukan tuduhan yang menyatakan sembilan korban tewas adalah perusuh.
Bisa jadi ini menjadi indikasi bahwa Jokowi akan semakin menguat dan mungkin (tetap) mengabaikan tragedi kemanusiaan seperti pemerintahannya di periode pertama. Sementara Jokowi dan kekuasaannya menguat, semangat rakyat sipil untuk mobilisasi dan menguasai ruang publik, mungkin akan semakin mengendur.
Penulis @Nadyazura adalah essais dan pengamat masalah sosial.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis
*Bagaimana komentar Anda atas opini di atas? Silakan tulis dalam kolom komentar di bawah ini
Apakah Anda bersedia mati bagi negara?
DW bertanya pada beberapa orang di jalanan kota Berlin, apakah mereka bersedia mati bagi negara. Jika tidak, apakah ada alasan lain untuk berkorban bagi negara?
Foto: DW/S. Kirby
Fuat (32 thn, Jerman)
“Saya tidak mau mati bagi negara, karena saya tidak bisa bilang bahwa sanya punya satu negara. Orangtua saya dari Turki dan saya besar di Jerman. Saya merasa tidak punya negara.” Kebanyakan warga Eropa Barat enggan untuk berperang bagi negara mereka. Hanya 25 persen yang mengatakan bersedia. Di Turki, 75 persen warga siap panggul senjata bagi bangsa mereka.
Foto: DW/S. Kirby
Iulia (26 thn, Rumania)
“Tidak mau mati. Mungkin saya akan ikut ambil bagian dalam aksi protes, tidak lebih dari itu. Sejarah negara saya tidak membuat saya menginginkan sesuatu yang lebih. Saya tidak berpikir bisa mengubah sesuatu, walau seandainya saya menyatakan pendapat saya. “ Jajak pendapat pada tahun 2014 menunjukkan, 38 persen warga Rumania bersedia berperang bagi negara, sementara 41 persen menolaknya.
Foto: DW/S. Kirby
James (27 thn, pengungsi dari Kamerun)
"Saya siap mati untuk negara saya. Saya mencintai negara saya. Namun situasi politik, tidak memungkinkan berjuang sendirian. Masalahnya adalah terdapat banyak kepentingan. Saya ingin membuat perubahan, tapi diperlukan banyak orang dengan gagasan, ideologi yang sama untuk memulainya. Saya menolak kekerasan. Kita harus tegas menunjukkan bahwa kekerasan tidak pernah bisa pecahkan masalah..
Foto: picture-alliance/dpa/N. Chimtom
Anonim (Jerman)
"Saya anti-perang. Saya turun berdemonstrasi untuk menentang perang di Ukraina. Saya menolak bergabung dengan militer Jerman, ketika saya dipanggil wajib militer saat Perang Kosovo." Di Jerman, hanya 18 persen warga yang menyatakan bersedia berjuang bagi negara.
Foto: DW/S. Kirby
Soraya (15 thn, Perancis dan Jerman)
"Saya siap membela nilai-nilai tertentu. Tapi saya pikir, kekerasan bukanlah solusi. Saya tidak berpikir akan berjuang untuk negara saya. Tidak ada negara yang bisa saya sebut sebagai negara saya. Dan juga ada berbagai keputusan yang saya tidak setujui. Kita tidak selalu didukung sebagaimana seharusnya. "
Foto: DW/S. Kirby
Emily (30, Kanada)
"Saya tidak tahu, apakah saya bersedia mati untuk negara saya. Ini satu pertanyaan besar dan saya tidak pernah benar-benar berpikir tentang hal ini. Saya orang Kanada, jadinya saya tidak pernah berada dalam posisi seperti itu. Saya pikir, perang adalah sesuatu yang konyol." Menurut jajak pendapat, 30 persen warga Kanada rela mati untuk negara mereka.