1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikIndia

Kerusuhan di Bangladesh, Mengapa India Memilih Diam?

Murali Krishnan
31 Juli 2024

India menganggap kerusuhan mematikan di Bangladesh adalah “masalah internal” yang harus ditangani Dhaka. India lebih memilih untuk fokus pada peran Bangladesh sebagai mitra dagang dan penyangga di wilayah timur.

PM Bangladesh Sheikh Hasina dan PM India Narendra Modi
'New Delhi masih menganggap Hasina sebagai seseorang yang akan mencegah Bangladesh berubah menjadi antek Beijing'Foto: Naveen Sharma/ZUMA/IMAGO

Kelompok mahasiswa di Bangladesh menyerukan protes jalanan baru setelah pemerintah Perdana Menteri Sheikh Hasina gagal memenuhi tuntutan mereka untuk membebaskan pemimpin yang ditahan dan meminta maaf atas kekerasan yang terjadi baru-baru ini.

Pemerintah menyatakan jumlah korban tewas mencapai 150 orang pada minggu ini, sementara media menyebutkan lebih dari 200 kematian dalam bentrokan yang menunjukkan ketidakpuasan terhadap pemerintahan Hasina yang sudah berjalan selama 16 tahun.

India terus memantau dengan seksama kerusuhan di Bangladesh, yang merupakan negara tetangga sekaligus salah satu sekutu terdekat New Delhi. Bangladesh juga menjadi tempat tinggal sementara bagi ribuan pelajar India.

Namun, New Delhi berhati-hati untuk tidak memperburuk situasi.

"India menganggap situasi yang sedang berlangsung di negara tersebut sebagai masalah internal Bangladesh. Dengan dukungan dan kerjasama dari pemerintah Bangladesh, kami berhasil mengatur kepulangan aman para pelajar kami," kata juru bicara kantor luar negeri Randhir Jaiswal dalam konferensi pers mingguan.

Sekitar 6.700 pelajar India telah kembali dari Bangladesh di tengah bentrokan kekerasan di negara tersebut.

"Sebagai tetangga dekat yang memiliki hubungan hangat dan bersahabat, kami berharap situasi di negara tersebut akan segera kembali normal," tambah Jaiswal.

Bangladesh penting untuk keamanan, perdagangan, dan diplomasi

Bagi India, kembali ke situasi normal berarti Hasina tetap berkuasa, sebagian karena alasan keamanan. Kedua negara berbagi perbatasan sepanjang 4.100 kilometer yang rentan dimanfaatkan oleh para penyelundup manusia dan kelompok teroris.

Selain itu, Bangladesh berbatasan dengan negara bagian India seperti West Bengal, Assam, Meghalaya, Tripura, dan Mizoram yang rentan terhadap pemberontakan hingga kekerasan.

Pinak Ranjan Chakravarty, mantan komisaris tinggi India untuk Bangladesh, mengatakan kepada DW bahwa India telah berinvestasi di negara tetangga tersebut untuk membangun dukungan publik dan niat baik.

"Posisi geografis Bangladesh menjadikannya pemangku kepentingan dalam pembangunan sub-wilayah yang terdiri dari Bangladesh, Bhutan, India, dan Nepal. Wilayah ini mencakup negara bagian India di utara dan timur Bangladesh. Negara bagian ini di timur laut India pernah terintegrasi dalam rantai pasokan di India yang belum terbagi," kata Chakravarty kepada DW.

Sekarang, Bangladesh dan India bekerja untuk meningkatkan hubungan transportasi dan "memulihkan apa yang ada di era pra-pemisahan," tambahnya.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Triliunan Investasi India di Bangladesh

India mengakui Bangladesh sebagai penyangga timur yang vital, dan memberikan dukungan penting melalui akses pelabuhan dan jaringan listriknya. Sejauh ini, New Delhi telah memberikan hampir $8 miliar (sekitar Rp128 tirilun) dalam bentuk pinjaman ke Dhaka yang digunakan untuk proyek pembangunan, pembangunan infrastruktur, dan konstruksi pipa untuk memasok diesel.

Perusahaan besar India yang telah berinvestasi di negara tersebut termasuk Marico, Emami, Dabur, Asian Paints, dan Tata Motors. Eskalasi protes mahasiswa dapat secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi perusahaan-perusahaan ini.

"Hubungan antara India dan Bangladesh tertanam dalam sejarah bersama mereka, ketergantungan sosial-ekonomi yang kompleks, dan posisi geopolitik mereka. Politik konfrontasional dan ketidakstabilan politik di wilayah tersebut mengundang masalah terorisme, fundamentalisme, pemberontakan, dan migrasi," kata Sanjay Bhardwaj dari Pusat Studi Asia Selatan Universitas Jawaharlal Nehru kepada DW.

"Protes kekerasan dan ketidakstabilan politik akan menyebabkan lingkaran kekerasan dan migrasi penduduk ke India," katanya.

Demonstrasi soal kuota kerja mengguncang Bangladesh dan pemerintahan PM Sheikh HasinaFoto: Bikas Das/AP/picture alliance

Terjepit antara India dan Cina

Dalam beberapa tahun terakhir, baik India maupun Cina telah memperluas kepentingan ekonomi mereka di Bangladesh, yang sedang dimasukkan ke dalam persaingan geopolitik yang semakin berkembang antara kedua negara.

Meskipun memiliki hubungan dekat dengan Bangladesh, beberapa analis percaya bahwa pembuat kebijakan India kesulitan memahami sentimen anti-India yang ada di antara sebagian populasi Bangladesh. Beberapa di antaranya dapat dijelaskan oleh dukungan New Delhi terhadap Liga Awami yang berkuasa.

"Kesunyian 'tidak nyaman' adalah dukungan diam-diam India untuk pemerintahan Hasina dan kebijakannya dalam menangani kerusuhan yang sedang berlangsung. Selama beberapa dekade terakhir, India telah banyak berinvestasi dengan Liga Awami sebagai entitas pro-India di Bangladesh," kata Shanthie Mariet D'Souza, pendiri forum penelitian independen Mantraya, kepada DW.

Kritikus rezim di Bangladesh menuduh Hasina berusaha mengubah Bangladesh menjadi negara satu partai dan dan memicu kemarahan dengan tindakan kerasnya terhadap lawan politik dan kelompok masyarakat sipil.

"Pemerintah India telah melindungi pemerintahannya dari tekanan Amerika untuk memenuhi tuntutan oposisi untuk membuat pemilu lebih demokratis dan transparan. Kesunyian saat ini adalah kelanjutan dari kebijakan tersebut," tambah D'Souza.

Perang Air di Himalaya

06:54

This browser does not support the video element.

India melihat gambaran yang lebih besar

Menurut D'Souza, India melihat Bangladesh sebagai kunci untuk beberapa alasan strategis, termasuk pengembangan timur laut, menekan migrasi ke India, dan menangani radikalisasi Islam.

"Meskipun ada investasi besar dari Cina di negara tersebut, New Delhi masih menganggap Hasina sebagai seseorang yang akan mencegah Bangladesh berubah menjadi boneka Beijing. Sebagai hasilnya, mendukungnya menjadi satu-satunya opsi strategis New Delhi, bahkan ketika kebijakannya sering kali mendekati otokrasi," katanya.

Dilihat dari sudut pandang itu, kegagalan terbaru pemerintahan Hasina dan penguatan Partai Nasionalis Bangladesh (BNP) sebagai oposisi, serta partai-partai Islam lokal, bukanlah kabar baik bagi India.

Meski begitu, profesor Sreeradha Datta dari Sekolah Urusan Internasional Jindal yang berbasis di India percaya bahwa respons ekstrem pemerintahan Hasina terhadap protes mahasiswa tidak dapat dibenarkan.

Dia mengkritik pejabat Bangladesh atas upaya mereka untuk menyalahkan kekerasan sepenuhnya pada partai oposisi dan mahasiswa Islam. Protes berubah menjadi kekerasan sebagai reaksi terhadap "tidak adanya tanggapan dan komentar yang agak merendahkan" dari pemerintah, kata Datta.

"Kekerasan dan kematian tanpa pandang bulu tidak dapat diabaikan atau dimaafkan. Pemerintah mengubah protes damai menjadi fase tergelap dalam sejarah terbaru Bangladesh," katanya kepada DW.

(rs/hp)