1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kerusuhan di Paris

4 November 2005

Seminggu setelah kerusuhan yang merebak di kawasan pinggiran kota Paris, pemerintah Perancis berjani akan menurunkan berbagai kebijakan untuk menghindari terulangnya hal serupa.

Foto: AP

Kritik dan kecaman pun dilontarkan, pemerintah Perancis dianggap sangat terlambat dalam menyikapi krisis sosial politik yang akhirnya memicu kerusuhan tersebut. Tema ini menjadi sorotan berbagai media cetak internasional.

Harian Roma La Repubblica berkomentar:

Bagi para pemuda pengangguran yang merasa tak punya harapan untuk masa depan yang lebih baik, menghancurkan kaca etalase toko atau membakar mobil adalah sebuah gaya hidup. Mereka seolah berpikir, mereka akhirnya menemukan kegiatan untuk mengisi waktu luang, yaitu bermain petak umpet dengan polisi. Tidak ada isu politik yang mendorong kelakuan mereka, hanya rasa ingin berontak yang didorong kepahitan mendalam. Mereka merasa ditolak oleh masyarakat, hanya karena kewarganegaraan atau warna kulit mereka.”

Sementara harian Derniéres Nouvelles d’Alsace yang terbit di Straßburg mengkritik sikap pemerintah Perancis dalam menghadapi kerusuhan di daerah pinggiran kota Paris.

Tampaknya di Perancis berbicara lebih penting daripada bertindak. Saat mengunjungi ‘kawasan rentan kerusuhan’ di daerah pinggiran kota, para politisi hanya mengumbar janji atau melontarkan ancaman. Apalagi kalau ada kamera televisi yang mengabadikan seluruh kejadian itu. Kata-kata seperti ’sweeping’ atau ’gerombolan’ terlontar. Namun, apa guna kata-kata bila tidak disusul tindakan nyata? Tapi tenang saja Saudara, Perdana Menteri Dominique de Villepin berjanji akan mengajukan agenda aksi selambat-lambatnya akhir bulan ini! Tapi, bagaimana dengan sekian banyak agenda aksi yang sampai saat ini belum direalisasi?

Surat kabar Perancis France Soir menilai kerusuhan yang terjadi adalah ancaman langsung terhadap stabilitas negara.

Mengingat krisis sosial politik dan moral yang sedang dihadapi Perancis, hanyalah soal waktu kapan kelas politik Perancis bereaksi. Sayangnya, mereka hanya menunjukan permainan taktis yang memalukan. Sementara separatis dan ekstremis dari berbagai kubu diam-diam menunai hasil pekerjaan mereka. Di masa mendatang, pemandangan mobil-mobil yang terbakar akan selalu teringat bila menghitung suara partai radikal kanan Front Nasional. Dan kubu berhaluan keras Islam akan menggunakan kejadian ini untuk membumbui kisah-kisah mereka tentang penindasan dan perasaan terpinggirkan yang mendalam.“

Sementara harian Italia Corriere della Sera mengomentari:

Ketegangan makin meningkat. PM Perancis Dominique de Villepin menetapkan sidang darurat pemerintah dan membatalkan kunjungan kenegaraan ke Kanada. Menteri Dalam Negeri Nicolas Sarkozy pun mengundur layatan ke luar negeri. Sama seperti 20 tahun yang lalu, rencana program penataan ulang kota dan program untuk mengatasi angka pengangguran diluncurkan. Kini, para rival politik Sarkozy dan de Villepin mengusahakan pertemuan dengan delegasi pemuda dan orang tua para korban. Upaya sia-sia membuka dialog antar dua pihak yang memilih untuk bungkam.

Komentar terakhir dari harian Pernacis Liberté de l’Est:

Suasana perang gerilya di tengah-tengah Republik. Saat ini tidak ada orang yang heran melihat merebaknya kekerasan. Gerombolan liar yang bagai dipacu demam menantang aparat keamanan, menciptakan kekacauan di Paris dan mengubah beberapa bagian kota menjadi zona tanpa hukum. Setelah melalui proses perdebatan yang panjang, pemerintah akhirnya menyadari ruang lingkup dan dampak kejadian itu. Ternyata, dampaknya cukup parah. Setelah kerusuhan berlangsung enam hari, Presiden Jacques Chirac mengeluarkan seruan untuk mematuhi undang-undang, kesediaan untuk berdialog dan saling menghargai. Pemerintah Villepin akan mengajukan agenda aksi sebelum akhir November. Tapi haruskah kita menunggu situasi krisis sebelum kita mulai mencari penyelesaian suatu masalah?