Kesalahan Tak Lenyap Walau Waktu Bergulir
14 Agustus 2015 Shinzo Abe lama mengelak, tetapi perdana menteri yang nasionalis-konservatif itu akhirnya mengucapkan beberapa kata yang kritis, yang terutama ditunggu negara-negara tetangga Jepang. Ia menyebut "penyesalan mendalam“ juga "maaf yang mendalam“. Ia mengaku, Jepang menyebabkan penderitaan besar. Ia juga memperingati penderitaan korban yang berjumlah besar, yang disebabkan agresi Jepang. Itulah kata-kata kunci dan pernyataan utama, yang harus diberikan Abe. Itu penting, karena Abe tidak bisa menghindar lagi Ia harus mengakui kesalahan Jepang di masa lalu.
Tapi itu hanya tampilan pertamanya saja. Pidato ini bukan pidato tentang saling berdamai, yang sudah lama ditunggu negara-negara tetangga, melainkan pidato pragmatis, yang mengarahkan pandangan ke depan, karena Abe tidak memberikan pernyataan tegas bagi beberapa tema pelik. Tidak ada permintaan maaf bagi tindakan Jepang yang menjadikan puluhan ribu perempuan Korea budak seks, yang disebut "perempuan penghibur“. Sebaliknya, Abe secara umum berbicara tentang penderitaan ribuan perempuan di belakang front pertempuran. Tetapi dengan pernyataan yang tidak jelas, orang tidak bisa menciptakan kepercayaan. Pidato itu pasti tidak dianggap memuaskan oleh Korea dan Cina, walaupun Abe mendambakan hubungan damai dan membuahkan hasil dengan negara-negara tetangganya.
Walaupun tidak akan memenuhi harapan negara tetangga, kata-kata Abe disusun dengan cerdas. Dalam pidato, agresi Jepang ditempatkan dalam konteks sejarah, dan mengingatkan orang pada politik kolonial negara-negara barat yang tidak bisa dibanggakan. Intinya: lihatlah, bukan Jepang saja yang seperti itu. Negara-negara lain juga punya politik yang agresif. Ia menyinggung penderitaan yang diakibatkan Jepang, tetapi juga mengingatkan orang pada jumlah kematian yang tinggi di Jepang, dan bahwa Jepang jadi satu-satunya negara yang menderita serangan bom atom. Jadi Jepang memang pelaku, tetapi juga korban.
Ia mengingat dengan penuh rasa terima kasih, bahwa Jepang berhasil bangkit dari puing-puing dengan bantuan negara-negara lain. Sejarahnya sendiri tetap diingat, tetapi sekarang yang penting adalah membentuk masa depan yang lebih baik, di mana Jepang akan punya peran penting. Baik dalam perjuangan melawan penghapusan senjata nuklir, maupun sebagai kekuatan regional di Asia. Kemudian pandangannya kembali diarahkan ke masa depan. Ia tahu, bahwa bayangan masa lalu tidak bisa dihilangkan. Penderitaan tidak dilupakan, dan rasa percaya tidak ada. Tetapi ia maju dengan janji, untuk membawa Jepang ke kejayaan seperti masa lalu. Terutama dari segi ekonomi, tetapi juga dari segi politik keamanan. Ia ingin sedikit emansipasi dengan menjauhkan diri dari AS, dan melawan saingan beratnya Cina. Untuk itu ia harus memperbaiki ekonomi, dan mengubah konstitusi bersifat pasif yang didiktekan AS, walaupun sebagian besar warga tidak akan mendukungnya.
Bisa saja, Shinzo Abe melalaikan kesempatan untuk berdamai. Namun demikian situasi saat ini tidak mendukung untuk berdamai. Karena nada-nada nasionalis tidak hanya terdengar dari Jepang, melainkan juga dari Korea dan Cina. Di Korea Selatan, Presiden Park jelas berusaha memisahkan diri dari Japan. Sedangkan Korea Utara hanya berdiri karena nasionalisme yang ekstrem dari warganya, dan jadi musuh AS serta Jepang.
Di Cina saat ini juga tumbuh nasionalisme baru, yang memanifestasikan diri dalam bentuk agresif. Ini tidak hanya tampak dalam sengketa wilayah Laut Cina Selatan. Bisa saja, Beijing akan menambah keras nasionalismenya, terutama jika perekonomian terus melemah, karena hanya perkembangan ekonomi dan nasionalismelah yang melegitimasi pimpinan politik. Dengan sikap agresif ke luar negeri, krisis dalam negeri bisa diselubungi.
Krisis seperti itu sebenarnya juga bisa diselesaikan. Tapi agar bisa saling percaya harus ada perdamaian. Dalam hal inilah Jepang melewatkan peluang berharga. Sekarang kata-kata harus diikuti dengan tindakan. Perdamaian bisa membantu menutup luka lama. Tapi bekasnya akan tetap ada, karena hanya waktulah yang berlalu.